Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Pedoman Hakim dalam Mengadili Perkara yang Melibatkan Perempuan

Share
copy-paste Share Icon
Hak Asasi Manusia

Pedoman Hakim dalam Mengadili Perkara yang Melibatkan Perempuan

Pedoman Hakim dalam Mengadili Perkara yang Melibatkan Perempuan
Sigar Aji Poerana, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Pedoman Hakim dalam Mengadili Perkara yang Melibatkan Perempuan

PERTANYAAN

Oleh karena semakin banyak perempuan yang berani melaporkan kejahatan seksual, apakah dari pengadilan ada semacam pedoman dalam menangani perkara yang sensitif ini? Terutama agar para perempuan tidak merasa dipojokkan selama pemeriksaaan persidangan? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Berdasarkan pedoman mengadili perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum, hakim tidak boleh:
    1. menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan/atau mengintimidasi perempuan berhadapan dengan hukum;
    2. membenarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias gender;
    3. mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku; dan
    4. mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Ulasan:
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Perlindungan Saksi dan Korban
    Secara umum, saksi dan korban dilindungi oleh hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 13/2006”) dan perubahannya.
     
    Hak-hak saksi dan korban meliputi:[1]
    1. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
    2. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
    3. memberikan keterangan tanpa tekanan;
    4. mendapat penerjemah;
    5. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
    6. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
    7. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
    8. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
    9. dirahasiakan identitasnya;
    10. mendapat identitas baru;
    11. mendapat tempat kediaman sementara;
    12. mendapat tempat kediaman baru;
    13. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
    14. mendapat nasihat hukum;
    15. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir; dan/atau
    16. mendapat pendampingan.
    Hak-hak tersebut diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).[2]
     
    Selain kepada saksi dan/atau korban, hak-hak tersebut juga dapat diberikan kepada saksi pelaku, pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.[3]
     
    Maka, terkait pertanyaan Anda, perempuan yang menjadi pelapor atau pengadu atau saksi di persidangan berhak atas perlindungan hukum berdasarkan UU 13/2006 dan perubahannya.
     
    Hak dan perlindungan tersebut bertujuan agar ia diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya.[4]
     
    Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum
    Selain aturan umum tersebut, kami juga merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (“PERMA 3/2017”).
     
    Pasal 1 angka 1 PERMA 3/2017 mengartikan perempuan yang berhadapan dengan hukum sebagai perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi atau perempuan sebagai pihak.
     
    Tujuan dari adanya pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum adalah agar hakim:[5]
    1. memahami dan menerapkan asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminasi, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum;
    2. mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara sehingga mengakibatkan diskriminasi terhadap perempuan; dan
    3. menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam memperoleh keadilan.
     
    Dalam pemeriksaan perkara, hakim diminta untuk mempertimbangkan kesetaraan gender dan non-diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan sebagai berikut:[6]
    1. ketidaksetaraan status sosial antara para pihak yang berperkara;
    2. ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan;
    3. diskriminasi;
    4. dampak psikis yang dialami korban;
    5. ketidakberdayaan fisik dan psikis korban;
    6. relasi kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya; dan
    7. riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi.
     
    Pedoman dan Larangan
    Pasal 5 PERMA 3/2017 menegaskan bahwa dalam pemeriksaan perempuan berhadapan dengan hukum, hakim tidak boleh:
    1. menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan/atau mengintimidasi perempuan berhadapan dengan hukum;
    2. membenarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias gender;
    3. mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku; dan
    4. mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender.
     
    Lebih lanjut, dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum hakim harus memperhatikan hal-hal berikuti ini:[7]
    1. mempertimbangkan kesetaraan gender dan stereotip gender dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis;
    2. melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dan/atau hukum tidak tertulis yang dapat menjamin kesetaraan gender;
    3. menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokal dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat guna menjamin kesetaraan gender, perlindungan yang setara dan non diskriminasi; dan
    4. mempertimbangkan penerapan konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional terkait kesetaraan gender yang telah diratifikasi.
     
    Selain itu, PERMA 3/2017 juga mengamanatkan agar selama jalannya pemeriksaan persidangan, hakim mencegah dan/atau menegur para pihak, penasihat hukum, penuntut umum dan/atau kuasa hukum yang bersikap atau membuat pernyataan yang merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi dan/atau menggunakan pengalaman atau latar belakang seksualitas perempuan berhadapan dengan hukum.[8]
     
    Sebagai bentuk upaya perlindungan yang lebih kongkrit, Pasal 10 PERMA 3/2017 memberikan kewenangan hakim atas inisiatif sendiri dan/atau permohonan para pihak, penuntut umum, penasihat hukum dan/atau korban dapat memerintahkan perempuan berhadapan dengan hukum untuk didengar keterangannya melalui pemeriksaan dengan komunikasi audio visual jarak jauh di pengadilan setempat atau di tempat lain, apabila:
    1. kondisi mental/jiwa perempuan berhadapan dengan hukum tidak sehat diakibatkan oleh rasa takut/trauma psikis berdasarkan penilaian dokter atau psikolog;
    2. berdasarkan penilaian hakim, keselamatan perempuan berhadapan dengan hukum tidak terjamin apabila berada di tempat umum dan terbuka; atau
    3. berdasarkan keputusan LPSK, perempuan berhadapan dengan hukum dinyatakan berada dalam program perlindungan saksi dan/atau korban dan menurut penilaian LPSK tidak dapat hadir di persidangan untuk memberikan keterangan baik karena alasan keamanan maupun karena alasan hambatan fisik dan psikis.
     
    Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut dalam PERMA 3/2017, perlindungan untuk perempuan dalam proses perkara di pengadilan baik secara fisik maupun psikis menjadi lebih terjamin, dan bentuk ancaman terhadap perempuan hingga yang berbentuk verbal sekalipun dapat dihindari.  
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
     

    [1] Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 31/2014”)
    [2] Pasal 5 ayat (2) UU 31/2014
    [3] Pasal 5 ayat (3) UU 31/2014
    [4] Penjelasan Umum UU 13/2006
    [5] Pasal 2 dan Pasal 3 PERMA 3/2017
    [6] Pasal 4 PERMA 3/2017
    [7] Pasal 6 PERMA 3/2017
    [8] Pasal 7 PERMA 3/2017
     

    Tags

    acara peradilan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Cek Sertifikat Tanah Ganda dan Langkah Hukumnya

    26 Jul 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!