Belajar dari Kekalahan Merek-Merek Terkenal di Pengadilan Niaga

Belajar dari Kekalahan Merek-Merek Terkenal di Pengadilan Niaga

Kuncinya ada pada pembuktian iktikad baik dan pemenuhan kriteria merek terkenal sejak awal. Namun, penilaian akhir tetap bergantung penafsiran hakim.
Belajar dari Kekalahan Merek-Merek Terkenal di Pengadilan Niaga

Sejumlah merek terkenal berskala internasional tercatat pernah kalah dalam sengketa hak atas merek di pengadilan Indonesia. Mungkin, perkara paling mencengangkan adalah kalahnya Pierre Cardin hingga tingkat Peninjauan Kembali tahun 2018 di Mahkamah Agung. Gugatan Pierre Cardin kalah telak untuk kali kedua setelah tahun 1981 pun kalah hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Putusan pengadilan berpihak pada pengusaha lokal Indonesia yang telah mendaftarkan merek Pierre Cardin sebagai miliknya di Kementerian Hukum dan HAM pada tahun 1977.
 
Padahal ada perlindungan khusus soal merek terkenal dalam Konvensi Paris yang diratifikasi Indonesia pertama kali melalui Keputusan Presiden No.4 Tahun 1979 lalu diubah dengan Keputusan Presiden No.15 Tahun 1997. Indonesia juga terikat segala ketentuan soal merek dalam Trade-Related Aspects of Intelectual Property Rights Agreement (TRIPs) sebagai konsekuensi menjadi negara anggota World Trade Organization (WTO). 

Memang tidak semua ketentuan merek dalam TRIPs diratifikasi pada tahun 1997. Ratifikasi secara relatif komprehensif baru dilakukan pada tahun 2001 ke dalam rezim hukum merek yang dibuat saat itu. Tentu saja sudah ada penyempurnaan dengan pembaruan undang-undang terakhir dengan UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek dan IG). 

Penelusuran Hukumonline menemukan salah satu Putusan Mahkamah Agung yang pernah menyebut soal perlindungan merek terkenal di tahun 90an. Putusan No.3485 K/pdt/1992 bertanggal 20 September 1995 misalnya mengatakan, “Bahwa dalam Konvensi Paris juga telah diisyaratkan kepada seluruh peserta memberikan perlakuan yang sama dalam rangka melindungi merek terkenal dari manapun asalnya, karena Indonesia sendiri sebagai peserta dan ikut meratifisir hasil Konvensi Paris bahkan tanpa reserve dan oleh karena itu hasil Konvensi Paris itu harus ditaati”. Lantas, apakah artinya Mahkamah Agung tidak menganggap Pierre Cardin sebagai merek terkenal dari luar negeri yang berhak dilindungi di Indonesia? 

Perlu dicatat, Pierre Cardin adalah merek tekenal karya perancang busana kenamaan dalam bisnis mode. Merek itu diambil persis dari nama pendirinya, Pierre Cardin. Sejak tahun 50an ia telah merintis bisnisnya. Peluncuran merek Pierre Cardin secara lintas negara dilakukan sejak 1971 hingga mengantongi hak eksklusif merek di Prancis pada 1974. Pierre Cardin dianugerahi Board of Directors Legend Award dari Fashion Group International tahun 2010. Wajar jika kekalahan Pierre Cardin di pengadilan Indonesia menarik perhatian untuk dikaji serius. 

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional