SEMINAR HUKUMONLINE 2009

Perizinan Usaha Pertambangan Minerba dari Daerah Hingga Pusat & Tata Cara Divestasi Badan Usaha Pertambangan Asing

bagaimana pengaturan 4 (empat) Rancangan Peraturan Pemerintah yang diamanatkan UU Minerba?

Project

Bacaan 2 Menit

Suasana Seminar Hukumonline mengenai RPP Minerba. Foto: Sam.

 

Diberlakukannya Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) sejak 12 Januari 2009 lalu, disambut dengan sukacita oleh banyak pihak, khususnya para pemangku kepentingan sektor pertambangan mineral dan batubara. Karena UU Minerba baru yang telah lama ditunggu, akhirnya diberlakukan juga. Namun, belakangan ini sukacita itu berganti dengan keresahan dan kebingungan karena UU Minerba ternyata belum benar-benar dapat diimplementasikan. Secara khusus, keresahan dan kebingungan dirasakan pelaku usaha dan para kepala daerah antara lain menyangkut masalah Kuasa Pertambangan (KP).

 

Sejak UU Minerba terbit, polemik di kalangan pengusaha tambang pun—khususnya pemegang KP—menggeliat. Pasalnya, ketentuan KP tidak disentuh sama sekali dalam Undang-Undang itu. Padahal, selama ini KP bisa dianggap sebagai roh dari kegiatan pertambangan buat pengusaha tambang.

 

Nah, menjawab masalah itu, pada 30 Januari 2009, Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (Dirjen Minerbabum DESDM) Bambang Setiawan, menerbitkan Surat Edaran Nomor: 03.E/31/DJB/2009. Surat itu berjudul “Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai Pelaksananaan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009”.

 

Surat Edaran itu menegaskan, KP tetap berlaku hingga berakhir jangka waktunya. Namun, KP yang sudah diterbitkan harus disesuaikan menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) paling lambat 1 tahun sejak berlakunya UU Minerba. Lantas, Dirjen Minerbabum menerbitkan lagi surat Nomor 1053/30/DJB/2009 tertanggal 24 Maret 2009 yang memberikan format IUP. Surat yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia itu merupakan turunan dari Surat Edaran Nomor: 03.E/31/DJB/2009. Surat itu menjelaskan lebih lanjut seputar perpanjangan KP menjadi IUP sehingga memberikan kepastian kepada daerah.

 

Baik dalam SE No. 03.E maupun surat No. 1053 dinyatakan KP yang masih dapat berlaku hanyalah yang diterbitkan sebelum 12 Januari 2009. KP yang terlanjur diterbitkan pada tanggal itu dinyatakan batal dan tidak berlaku.

 

Pertanyaan yang muncul antara lain, (i) apa akibat hukum dari kedua Surat Edaran yang diterbitkan oleh Dirjen Minerbabum terhadap keberlakuan KP dan penerbitan IUP baru (bukan perpanjangan KP)? (ii) apakah imbauan Dirjen Minerbabum untuk menunda penerbitan IUP baru sampai diterbitkannya peraturan pemerintah mengikat para kepala daerah? (iii) bagaimana nantinya proses penerbitan IUP berdasarkan peraturan pemerintah pelaksana UU Minerba?

 

Masih soal perizinan, di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kegiatan Usaha Pertambangan diatur mengenai tata cara mendapatkan Wilayah Izin dan Usaha Pertambangan (WIUP) dengan mekanisme lelang. Pihak yang berhak mengikuti lelang atas WIUP dibatasi kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan. Menurut Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas (PT) berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia. Sehingga, investor asing yang hendak mengikuti lelang WIUP dibebani kewajiban membentuk PT di Indonesia. Padahal belum tentu PT itu menang lelang wilayah pertambangan. Kemudian, bagaimana dengan exit policy bagi PT yang tidak menang lelang? Apakah dapat dibiarkan atau dibubarkan? Kewajiban tersebut diakui beberapa kalangan memberatkan dan tidak investor friendly.

 

Selain itu, hal yang juga dikhawatirkan pelaku usaha adalah bagaimana dengan mekanisme lelangnya? Untuk menyelenggarakan lelang, Pemerintah setidaknya harus memetakan wilayah sebagai objek lelang. Pemerintah pun juga harus memberikan data–data sebagai informasi lelang kepada pelaku usaha. Pertanyaan yang timbul, apakah Pemerintah mempunyai data–data tersebut? Apalagi untuk melakukan suatu pemetaan terhadap wilayah–wilayah pertambangan perlu waktu yang cukup lama. Terlepas dari polemik itu, yang jelas gagasan Pemerintah mengenai ketentuan lelang ini punya sisi positif, yakni dapat menjadi suatu solusi yang ditunggu pelaku usaha terhadap persoalan klasik tumpang tindih lahan.

 

Dalam RPP juga diatur mengenai kewajiban divestasi saham. Perusahaan tambang yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham setelah lima tahun sejak berproduksi kepada peserta Indonesia (pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/D, atau badan usaha swasta Nasional secara bersamaan melalui pemilikan langsung). Jumlah saham yang didivestasikan sebesar 20 persen dari kepemilikan saham asing secara bertahap. Permasalahannya, bagaimana kontraktor asing mau mendivestasikan sahamnya, jika keuntungan belum mereka peroleh selama lima tahun sejak berproduksi? Apakah terdapat escape clause untuk kewajiban tersebut?

 

Ketentuan domestic market obligation (DMO) dalam pasal 5 UU Minerba juga merupakan isu yang mencuat dalam RPP Minerba. Pemerintah dalam hal ini akan menetapkan index pricing yang merupakan standardisasi dan patokan harga untuk komoditas tambang. Namun belum jelas, bagaimana penetapan index pricing tersebut. Selain itu dalam Pasal 103 UU Minerba terdapat kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri serta pelarangan mengeskpor mineral sebelum diolah dan/atau dimurnikan.

 

Mengenai kewajiban itu timbul pertanyaan, bagaimana dengan PT dan BUMN/D yang telah melakukan kegiatan pertambangan sebelum disahkannya UU Minerba yang belum dapat membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian? Apakah PT dan BUMN/D tersebut dapat diberikan sanksi? Lantas, bagaimana pula dengan perusahaan tambang dalam negeri yang sudah terlanjur menandatangani kontrak penjualan bahan minerba mentah dengan perusahaan asing untuk jangka waktu yang lama (long term) sebelum berlakunya UU Minerba ini?

 

Jelas bukan hal yang mudah jika perusahaan yang mengalami kondisi seperti itu harus merestrukturisasi kontraknya. Tapi yang jelas, kewajiban pengolahan di dalam negeri merupakan salah satu solusi Pemerintah untuk membangun industri pertambangan di Indonesia, termasuk industri penunjang lainnya di wilayah sekitar tambang. Nah, UU Minerba sebetulnya dibuat bukan hanya dibuat untuk kegiatan tambang saja, namun jauh dari itu, Undang-Undang ini disusun guna menghidupkan industri lain di sekitar wilayah tambang. Permasalahannya adalah apabila bahan minerba mentah yang bersifat non–renewable resources habis, bagaimana dengan industri penunjang didaerah itu? Hal inilah yang menjadikan ide pembangunan berkelanjutan (sustainable development) penting bagi masyarakat di daerah tambang. Ide tersebut sebenarnya sudah ada dalam UU Minerba namun apakah RPP juga akan mengaturnya?

                                                                                         

Masalah-masalah yang disebutkan tadi, hanya setitik air di tengah lautan Samudra. Tentu masih banyak persoalan lain yang perlu dibahas di dalam UU Minerba maupun peraturan pelaksanaannya. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan pemahaman yang benar dan menyeluruh mengenai masalah-masalah di atas, maka www.hukumonline.com telah mengadakan SEMINAR HUKUMONLINE 2009:PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN MINERBA DARI DAERAH HINGGA PUSAT & TATA CARA DIVESTASI BADAN USAHA PERTAMBANGAN ASING”, pada 22 Juli 2008 bertempat di Grand Ballroom, Hotel Nikko – Jakarta. Dihadiri oleh narasumber – narasumber sebagai berikut:

 

1.    Ir. Bambang Gatot Ariyono (Direktur Pembinaan Pengusahaan Minerba (ESDM)) - PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN MINERBA DARI DAERAH HINGGA PUSAT DAN TATA CARA DIVESTASI KEPEMILIKAN PERUSAHAAN TAMBANG ASING

2.    Yacub (Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Timur) - KESIAPAN DAERAH DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN UU MINERBA

3.    DR. Ryad A. Chairil (The Centre of Indonesian Energy and Resources Law) - PROSES PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN MINERBA PASCA DISAHKANNYA UU MINERBA

4.    Dr. S. Witoro Soelarno (Sekretaris Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral) - KONSEP DAN PRAKTIK PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

5.    Singgih Widagdo (Direktur Indonesian Coal Society) - PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN, TANGGUNG JAWAB SIAPA?

6.    Dr. Ir. Simon F. Sembiring (Staf Khusus Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM)) - DIVESTASI SAHAM PERUSAHAAN TAMBANG ASING DULU DAN KINI

7.    A. Supriyani Kardono (Partner, Soewito Suhardiman Eddymurthy Kardono) - ASPEK HUKUM DIVESTASI PERUSAHAAN TAMBANG ASING DAN ISU-ISU HUKUM LAIN PASCA DIUNDANGKANNYA UU MINERBA

 

Moderator:

  • Ahmad Fikri Assegaf (Partner, Assegaf Hamzah & Partners)
  • Rino Subagyo (Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law)
  • Daniel Ginting (Partner, Hadiputranto Hadinoto & Partners)

 

 

Notulensi diskusi ini tersedia gratis bagi para pelanggan hukumonline.com.* Silahkan hubungi kami via email talks(at)hukumonline(dot)com.

 

 

*syarat ketentuan berlaku