Talk! hukumonline - discussion

Kepemilikan Properti oleh WNA Akibat Perkawinan Campuran (Peluncuran Buku Tanya jawab Hukum Perkawinan dan Perceraian)

Masalah-masalah apakah yang akan timbul berkaitan dengan perempuan WNI yang melangsungkan perkawinan campuran? Bagaimana status kepemilikan properti dalam perkawinan campuran? Masalah apa saja yang timbul berkaitan dengan kepemilikan properti dalam perkawinan campuran?

Project

Bacaan 2 Menit

Diskusi dan Peluncuran Buku hukumonline. Foto : Sgp.

 

Pernikahan bersifat universal dan tidak dibatasi oleh warna kulit, ras dan kewarganegaraan. Tidak mengherankan jumlah perkawinan campuran terus bertambah, termasuk di Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan melakukan perkawinan campuran antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain.

Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 :

”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”

Pasal ini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan. Perkawinan campuran menurut pasal 57 UU No. I/1974 ini ruang lingkupnya lebih sempit dibandingkan dengan S. 1898/158, karena hanya mengenai berbeda kewarganegaraan dan salah satu pihaknya harus warga Negara Indonesia.

Perkawinan WNI yang dilangsungkan di luar negeri berlaku Pasal 56 UU No.1 Tahun 1974, yang mengatur untuk setiap perkawinan WNI di luar negeri berlaku asas lex loci celebrationis. Asas ini berarti perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan hukum Negara dimana perkawinan dilangsungkan dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan UU Perkawinan. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana bila terjadi pertentangan dalam hukum Negara yang satu dengan hukum Indonesia saat perkawinan akan dilakukan? Lantas haruskah perkawinan tersebut dicatatkan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 12 Tahun 2010 yang mulai berlaku sejak 26 Januari 2010? Bagaimana status hukum suatu perkawinan campuran yang tidak di catat di kantor pencatatan sipil? Apakah kerugian dan keuntungan jika mendaftarkan/tidak mendaftarkan perkawinan campuran di Catatan Sipil di Indonesia?

Di samping tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, juga terdapat fenomena lain dalam perkawinan campuran yang berkembang, yaitu perkawinan semu atau lazim disebut kawin kontrak di Indonesia. Lantas, bagaimana dengan isu berkaitan dengan upaya pemerintah untuk melakukan pengawasan dengan melarang perkawinan semu bahkan mengkriminalisasi pelakunya melalui ancaman pidana dan denda? Bagaimana dengan isu lainnya yaitu membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp. 500 juta bagi pelaku perkawinan campuran?

Masalah lain yang juga sering muncul dalam hal terjadinya perkawinan campuran adalah status kewarganegaraan anak dan kepemilikan properti bagi WNA. Menurut UU No 12 tahun 2006, anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran memiliki status kewarganegaraan ganda hingga dia berumur 18 tahun atau menikah. Kewarganegaraan ganda ini memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Lantas, bagaimana pengaturan status personal anak yang didasarkan pada asas nasionalitas, bila terdapat pertentangan antara hukum negara yang satu dengan negara yang lain? Bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain?

Di samping masalah anak, akibat perkawinan yang menimbulkan masalah pelik lainnya adalah masalah harta kekayaan atau kepemilikan properti, baik harta yang dimiliki sebelum perkawinan maupun harta yang diperoleh selama perkawinan serta harta yang wajib dibagi apabila terjadi perceraian. Perkawinan campuran yang terjadi antara WNI dengan WNA tidak sepenuhnya menyebabkan WNA memperoleh kepemilikan properti WNI yang dinikahinya. Menurut pasal 21 ayat (3) UU No 5 Tahun 1960 :

 

“Orang asing yang setelah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa waktu/percampuran harta karena perkawinan, demikian pula Warga Negara indonesia yang mempunyai Hak Milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 tahun sejak diperolehnya hak tersebut/hilang kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau, Hak Milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlaku ”

 

Dengan demikian, kepemilikan atas tanah dan bangunan, terbatas hanya tanah-tanah yang berstatus “Hak Pakai” dan “Hak Sewa”, terkecuali para pihak dalam perkawinan campuran tersebut membuat “perjanjian kawin” sebelum menikah. Dengan adanya “perjanjian kawin”, maka tidak terdapat percampuran harta sehingga harta yang dimiliki oleh para pihak menjadi milik masing-masing. Hal ini menimbulkan pertanyaan, hal apa saja yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan? Bagaimanakah proses pembuatannya? Sejauh mana kekuatan hukum perjanjian perkawinan tersebut? Apakah akibat hukum jika perjanjian perkawinan tersebut lupa diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Sipil?

Pembatasan kepemilikan tanah oleh WNA dalam UU No 5 Tahun 1960 dan PP No 41 tahun 1996, juga menyebabkan WNA melakukan penyelundupan hukum dalam melalui beberapa bentuk seperti melalui “Nominee”, Perjanjian Pemilikan (Land Agreement) dengan Surat Kuasa, Perjanjian Opsi, Perjanjian Sewa menyewa (Lease Agreement), disertai Kuasa Menjual (Power of Attorney to Sell), hibah wasiat dan surat pernyataan ahli waris. Bagaimana pmerintah menyikapi hal tersebut? Kemudian bagaimana tindak lanjut pemerintah mengenai usul Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) mengenai adanya batasan pembelian properti oleh orang asing minimal Rp1 miliar per unit?

Sehubungan dengan hal-hal tersebut maka www.hukumonline.com telah menyelenggarakan Talk!hukumonline – Discussion: “Kepemilikan Properti oleh WNA Perkawinan Campuran”

 

Hari

:

Kamis 3 Juni 2010

Waktu

:

14.00 - 17.00 WIB

Tempat

:

Ruang Arinze, Gedung G, Lt.2, Fakultas Hukum Atmajaya, Jl.Jend. Sudirman 51, Jakarta 12930


dengan dihadiri oleh narasumber :

  • Dra. Lidwina Maria T  S.H., Sp.N [Akademisi]
  • Maharani [Kepala Pusat hukum dan Hubungan Masyarakat BPN] 
  • Retno S. Darussalam [Partner, Suria Nataadmadja & Associates]

 

Seluruh materi tersedia gratis bagi para pelanggan hukumonline.com. Silahkan hubungi kami via email talks(at)hukumonline(dot)com. *

 *syarat dan ketentuan berlaku

Segera dapatkan buku "Tanya Jawab Hukum Perkawinan dan Perceraian" serta buku "Tanya Jawab Hukum Waris dan Anak". Hubungi (021) 8370 1827 up. Nunu.