SEMINAR HUKUMONLINE 2010

Memahami Parameter dan Kasus-Kasus Pelanggaran Kartel di Indonesia

Apa parameter yang digunakan KPPU untuk menilai perilaku pelaku usaha yang terindikasi kartel?

Project

Bacaan 2 Menit

Para Pembicara dan Moderator Seminar hukumonline.

 

 

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menuntaskan penyusunan draf pedoman pelarangan kartel. Pedoman ini bertujuan untuk mewaspadai potensi terbentuknya perilaku kartel. Namun demikian, draft pedoman tentang pelarangan kartel yang rencananya akan disahkan oleh KPPU pada sekitar bulan April, mengalami pengunduran hingga saat ini. Hal tersebut memunculkan pertanyaan, sebenarnya hal apa saja yang menjadi alasan diundurnya pemberlakuan pedoman tersebut? Padahal sejauh ini telah terdapat berbagai kasus mengenai kartel seperti kartel sms, kartel fuel surcharge, kartel garam, kartel semen dan kartel minyak goreng.

Pengertian kartel adalah kerjasama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengkoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan yang wajar. Peraturan tentang kartel tersebar dalam berbagai pasal di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5 Tahun 1999), seperti pasal 5 tentang kartel harga (price fixing), pasal 9 tentang kartel wilayah dan Pasal 11 tentang kartel produksi dan pemasaran. Menurut pasal 35 huruf a UU No. 5 Tahun 1999, jika pelaku usaha melanggar pasal 4 sampai dengan pasal 16 maka KPPU akan melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan pasal tersebut maka jika pelaku usaha terindikasi melakukan kartel maka yang harus dinilai oleh KPPU adalah perjanjiannya. Perjanjian inilah yang akan menjadi alat bukti adanya kartel. Masalahnya, pembuktian dengan menggunakan perjanjian atau kesepakatan tertulis sangat sulit dilakukan. Oleh karena itulah pembuktian kartel berkembang menggunakan indirect evidence yaitu bukti-bukti secara tidak langsung dimana terdapat hasil-hasil analisis ekonomi yang menggunakan tool-tools ekonomi yang memang secara ilmiah diakui dan bisa menunjukkan korelasi antara satu fakta dengan fakta lain bahwa memang telah terjadi pengaturan di dalamnya.

 

Selain itu, kartel seringkali berjalan simultan dengan pelanggaran lain yang berpotensi berseberangan dengan aturan dalam UU No. 5/1999. Yakni, Pasal 5 (penetapan harga)¸ Pasal 9 (pembagian pasar), Pasal 10 (pemboikotan), Pasal 12 (trust), Pasal 22 (persekongkolan tender), Pasal 24 (persekongkolan menghambat produksi dan atau pemasaran).  Nah, menurut pasal 35 huruf b UU No. 5 Tahun 1999, jika pelaku usaha melakukan pelanggaran pasal 17 sampai dengan pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999 mengenai kegiatan terlarang maka KPPU akan melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Jadi, yang dinilai oleh KPPU dalam hal ini adalah tindakan atau perilaku pelaku usaha yang bersangkutan. Lantas timbul pertanyaan. Jika perilaku pelaku usaha telah memenuhi ketentuan pasal-pasal tersebut, apakah pelaku usaha yang bersangkutan dapat diindikasikan kartel walaupun tidak terdapat perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999? Apa parameter yang digunakan KPPU untuk menilai perilaku pelaku usaha yang dapat diindikasikan kartel? 

 

Memang, dalam draft pedoman kartel dapat ditemukan ketentuan mengenai indikator awal terjadinya kartel yakni melalui faktor struktural dan faktor perilaku. Faktor struktural antara lain tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan, ukuran perusahaan, homogenitas produk, kontak multi pasar, persediaan dan kapasitas produksi, keterkaitan kepemilikan, kemudahan masuk pasar, karakter permintaan dan kekuatan tawar pembeli. Sedangkan faktor perilaku, antara lain transparansi dan pertukaran informasi serta peraturan harga dan kontak. Namun permasalahannya, parameter atau ukuran yang jelas mengenai indikator awal tersebut tidak juga ditemukan dalam draft pedoman kartel. Inilah yang dikeluhkan oleh para pelaku usaha. Berbagai macam penafsiran mengenai indikator awal akan timbul, dan hanya KPPU–lah yang dapat menilai apakah tindakan atau perilaku pelaku usaha tersebut telah terindikasi kartel.

Lebih lanjut, salah satu faktor terjadinya kartel adalah melalui asosiasi pengusaha yang merupakan pertemuan rutin antara para pengusaha. Biasanya setiap sector usaha memiliki asosiasi masing-masing. “Paguyuban” tersebut bertujuan sebagai wadah pertemuan antara para pengusaha yang saling berbagi pengalaman. Nah, apakah rapat atau pertemuan dalam rangka berbagi pengalaman tersebut dapat diindikasikan sebagai kartel?

Terlepas dari hal-hal tersebut diatas, pengaturan kartel oleh KPPU bertujuan untuk menjamin hak berkompetisi sehat bagi pelaku usaha dan peluang kesejahteraan konsumen. Kita pun sebagai konsumen telah menikmati keuntungan dari keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh KPPU. Misalnya dalam kasus kartel SMS, konsumen akhirnya dapat merasakan harga SMS yang ditawarkan para pelaku telekomunikasi selular yang kompetitif. Sebagai informasi, dalam penanganan kartel di beberapa negara, kartel telah berkembang ke arah per se illegal karena adanya konsekuensi ekonomi negatif yang sudah pasti terjadi oleh karena adanya suatu tindakan. Bahkan, di beberapa negara di dunia, kartel sudah mengarah pada tindakan kriminal karena dianggap merugikan masyarakat. Namun memang di Indonesia, kartel masih bersifat rule of reason.

 

Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, maka hukumonline.com telah mengadakan Seminar Hukumonline 2010 “Memahami Parameter dan Kasus-Kasus Pelanggaran Kartel di Indonesia”. Seminar tersebut telah diselenggarakan pada:

Hari/Tanggal     : Rabu, 28 Juli 2010

Pukul                : 08.30 – 13.30

Tempat             : Kridangga Ballroom, Lt.1, Hotel Atlet Century Park

 

Seminar ini telah menghadirkan beberapa narasumber yakni:

  • Mokhamad Syuhadak (Sekretaris Jenderal Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU))
  • Ir.Taufik Ahmad M.M (Komisi Pengawas Persaingan Usaha)
  • Djimanto (Ketua Dewan Perwakilan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO)
  • Dr. Pande Raja Silalahi (Pengamat Ekonomi)
  • Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.LI. (Akademisi)

 

Acara ini didukung oleh Harian Bisnis Indonesia.

Jika anda tertarik dengan notulensi seminar ini, silahkan  hubungi kami via email ke talks(at)hukumonline(dot)com. Notulensi seminar ini tersedia gratis bagi pelanggan hukumonline.com*.

*syarat dan ketentuan berlaku