LEGAL ROADSHOW PERADI-HUKUMONLINE

Kriteria Baku Pemeriksa Dalam Menilai Suatu Merek dan Persiapan Menyongsong Protokol Madrid

Bagaimana sebenarnya kriteria baku pemeriksa dalam menilai suatu merek? bagaimana persiapan Indonesia dalam menyongsong Protokol Madrid?

Project

Bacaan 2 Menit

Legal Roadshow PERADI-hukumonline DPC Bandung.
Legal Roadshow PERADI DPC Bandung-hukumonline.
Legal Roadshow PERADI DPC Bandung-hukumonline.

 

 

Merek merupakan salah satu hak kekayaan intelektual yang memainkan peran penting dalam industri. Merek memiliki unsur utama yaitu memiliki daya pembeda. Unsur memiliki daya pembeda ini menyebabkan permohonan pendaftaran merek wajib ditolak apabila memiliki persamaan pada pokoknya.

 

Namun demikian, dalam praktiknya, masalah persamaan pada pokoknya ini memiliki hambatan karena sifatnya yang sangat subjektif dan bergantung pada penilaian pribadi pemeriksa. Berbagai kasus sengketa merek telah terjadi di Indonesia, contohnya di bandung terdapat sengeketa antara Tupperware vs Tulipware.

 

Berbagai kasus yang telah terjadi memiliki perbedaan pandangan dalam hal persamaan pada pokoknya. Subjektifitas ini menyangkut ada tidaknya persamaan pendaftaran merek yang satu dengan yang lain atau dengan merek yang terdaftar lebih dulu, baik itu sama secara utuh atau sebagian.

 

Persamaan itu hanya sebatas menimbulkan ‘kesan’ kemiripan yang dilihat baik itu secara visual, konseptual, dan fonetik. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah sebenarnya kriteria baku persamaan pada pokoknya atau persamaan secara keseluruhan? Bagaimana dengan merek yang tidak sama secara keseluruhan tetapi identik?

 

Masalah lain adalah mengenai kelas barang dan/atau jasa serta uraian jenis barang dan/atau jasanya. Selama ini, ketentuan mengenai kelas barang sejenis/tidak sejenis bersifat subjektif dan tergantung masing-masing individu pemeriksa. Pemeriksa melihat kelas barang  dihubungkan dengan tujuan pemakaian, cara pembuatan dan sifat barang suatu merek.

 

Ketenaran merek juga bermasalah lantaran tidak ada kriteria baku untuk menentukan ketenaran itu. Sejauh ini, ketenaran hanya bisa dilihat dari tingkat publisitas baik itu, reputasi, kualitas, tingkat penjualan yang stabil, memiliki pendaftaran di beberapa Negara atau diketahui masyarakat akibat promosi gencar-gencaran.

 

Di samping itu, dalam RUU merek, terdapat sedikit perluasan mengenai definisi merek. Merek didefinisikan lebih luas dalam bentuk 2 (dua) dimensi ataupun 3 (tiga) dimensi. Di beberapa Negara maju, merek berkembang tidak hanya sebatas tanda berbentuk visual tetapi juga melalui jasa audio (soundsmark), hologram, bahkan aroma. Lantas timbul pertanyaan, apakah sistem hukum Indonesia, terutama perihal pendaftaran merek, sudah siap menghadapi perluasan definisi merek ini? Apakah sudah terdapat kriteria baku untuk menentukan hal ini? Apakah perluasan definisi merek ini tidak mengganggu batasan definisi desain industri dan hak kekayaan intelektual lainnya?

 

Berkaitan dengan RUU Merek, pemerintah berencana meratifikasi Protokol Madrid untuk mempermudah pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) produk Indonesia di luar negeri. Dalam amandemen UU Merek yang sedang dibahas oleh pemerintah saat ini sudah mencantumkan soal pendaftaran merek secara internasional melalui Protokol Madrid. Protokol Madrid bukan hal baru bagi negara di dunia, seperti Jerman, Swiss, Jepang, India dan sebagian negara ASEAN (Singapura dan Vietnam). Konsep dasar Protokol Madrid adalah satu aplikasi merek untuk mendapatkan perlindungan hukum di banyak negara. Sehingga, kalangan industri cukup mendaftar di negaranya mengenai sistem informasi berbasis teknologi informasi.

 

Hal ini memberikan kemudahan bagi kantor merek dikarenakan mereka tidak perlu lagi memeriksa keberatan dengan syarat formal atau mengklasifikasikan barang/jasa dan mengumumkan merek terdaftar. Biaya pendaftaran yang diterima Biro Internasional dibagi dan ditransfer ke masing-masing kantor merek negara yang dituju.

 

Bila dilihat dari sisi pengusaha, jelas Protokol Madrid akan menguntungkan mereka. Sudah bisa dipastikan bahwa mereka akan mendukung Indonesia bergabung ke Protokol Madrid karena memberikan kemudahan bagi mereka untuk mendaftarkan merek ke luar negeri. Dari sisi pemilik merek, konvensi itu memberikan harapan akan memacu pengusaha lokal mendaftarkan merek dagang ke mancanegara karena prosedurnya sangat sederhana, mudah dan biaya relatif murah.

 

Namun demikian, di samping sejumlah keuntungan yang akan diperoleh, Protokol Madrid ternyata menyimpan segudang bahaya tersembunyi apabila tidak ditelisik lebih jauh. Pertama, registrasinya bukan "pendaftaran" sejati, melainkan cuma kumpulan permohonan yang baru diakui di masing-masing kantor merek negara yang dituju. Apabila ada penolakan kantor merek di beberapa Negara, maka penanganannya harus simultan, sehingga biaya mahal.

 

Kedua, pendaftaran elektronik belum merata di semua negara, sehingga terdapat keterbatasan waktu untuk memberikan tanggapan di setiap negara. Ketiga, pendaftaran bergantung pada permohonan di negara asal, sehingga bila basic registration batal, maka international registration pun batal. Perlindungan internasional dikorbankan jika deskripsi sejak di negara asal sudah spesifik (sempit).

 

Selanjutnya, merek diharuskan sama persis dengan pendaftaran awal. Padahal, kalangan industri membutuhkan tampilan merek yang terus berevolusi. Kemudian terjadinya Central attack, yakni serangan terpusat kompetitor dalam 5 tahun untuk membatalkan merek di negara asal, sehingga merek di semua negara lain otomatis batal. Pendaftaran hanya berlaku di negara anggota saja, sehingga terbatas pada jumlah 80 negara saja.

 

Bagi kantor merek, beban pekerjaan semakin menumpuk karena korespondensi langsung harus dilakukan lebih cepat daripada biasanya. Padahal, jumlah dana yang diterima dari pendaftaran internasional tidak beda dengan pendaftaran secara konvensional. Apabila jumlah permohonan internasional menurun, akan berakibat anjloknya pemasukan negara melalui kantor merek.

 

Dari sisi kepentingan konsultan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), bagian terbesar pendapatannya pasti menghilang, karena pendaftaran internasional tidak lagi wajib memakai jasa mereka. Apabila Indonesia bergabung ke Protokol Madrid, semua permohonan merek dari luar negeri ke Indonesia akan menggunakan sistem Madrid tersebut, sehingga akan menghilangkan peranan konsultan HaKI di dalam negeri. Bagi negara, karena penghasilan konsultan hilang, maka pendapatan negara melalui pajak pun lenyap. Pemberlakuan protokol ini menyebabkan negara gagal meraup pajak penghasilan (PPh) setiap tahunnya.

 

Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, maka PERADI bekerjasama dengan hukumonline.com  telah mengadakan Legal Road Show PERADI-hukumonline : “Kriteria Baku Pemeriksa Dalam Menilai  Suatu Merek dan Persiapan Menyongsong Protokol Madrid”. Seminar tersebut telah diselenggarakan pada:

Hari/Tanggal     : Rabu, 4 Agustus 2010

Pukul                : 14.00 – 16.00

Tempat             : FH Universitas Pasundan (UNPAS), Jl.Lengkong Besar No.68, Bandung.

 

Seminar ini telah menghadirkan beberapa narasumber yakni:

  • Ig. Mangantar T.Silalahi (Staf Pelayanan Hukum, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual)
  • Eko Harkowo (Pemeriksa Pada Direktorat Merek, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual)
  • Doddy Noormansyah S.H., M.Hum (Advokat PERADI/Akademisi)

  

Moderator : Drs. Makki Yuliawan S.h., M.Si (Sekretaris DPC PERADI Bandung)

 

Jika anda tertarik dengan notulensi seminar ini, silahkan  hubungi kami via email ke talks(at)hukumonline(dot)com. Notulensi seminar ini tersedia gratis bagi pelanggan hukumonline.com*.

*syarat dan ketentuan berlaku