Diskusi Hukum 2016

Arah Kebijakan Penyelenggaraan Teknologi Informasi di Indonesia Pasca Revisi UU ITE

Pembahasan beberapa perubahan penting dalam Revisi UU ITE

AW/AM

Bacaan 2 Menit

Ahmad Maulana (paling kiri), Zacky Zainal Husein (kedua dari kiri) dan Teguh Arifiyadi (paling kanan). Foto: ALV
 

Hukumonline.com
 
 
Pada tanggal 27 Oktober 2016, Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 (UU No. 11/2008) tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. RUU tersebut pada pokoknya bertujuan untuk mengakomodasi perkembangan terkini mengenai informasi dan transaksi elektronik yang telah berkembang pesat sejak Undang-Undang ITE tahun 2008 berlaku secara resmi.

Revisi UU ITE, yang berdasarkan informasi dari Kementerian Sekretariat Negara telah diberikan nomor menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No 19/2016), diharapkan dapat menjawab beberapa permasalahan yang muncul pasca UU No 11/2008. Sejalan dengan harapan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI agar regulasi ini dapat tersosialisasi dengan baik, Assegaf Hamzah & Partners bekerja sama dengan hukumonline.com menyelenggarakan diskusi dengan topik “Arah Kebijakan Penyelenggaraan Teknologi Informasi di Indonesia Pasca Revisi UU ITE” yang ditujukan untuk para pelaku hukum yang bergerak di bidang Teknologi Informasi.

Dalam diskusi ini dibahas terkait Revisi UU ITE ini dari dua aspek, yaitu aspek regulasi dan praktik hukum. Sebagai contoh, dari aspek regulasi yang disampaikan oleh Teguh Arifiyadi sebagai Kasubdit Penyidikan dan Penindakan – Direktorat Keamanan Informasi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, tujuan utama dari revisi UU ITE adalah penguatan peran pemerintah dan memperbaiki kesalahan dalam penerapan pasal 27 ayat (3) yang mengatur tentang pencemaran nama baik. Sementara itu dari sisi hukum, Zacky Zainal Husein yang merupakan Partner dari Assegaf Hamzah and Partners menyampaikan beberapa poin positif terkait Revisi UU ITE ini, termasuk di antaranya terkait diperjelasnya pengertian 'Penyelenggara Sistem Elektronik' dan juga keikutsertaan negara sebagai penyelenggara sistem elektronik. Namun, sebagai catatan, perlu diperjelas terkait sejauh mana peran pemerintah dalam Revisi UU ITE ini dan juga perlu diperjelas terkait implementasi Right to be Forgotten. Sudut pandang lain dari sisi penegakan hukum disampaikan oleh Ahmad Maulana yang juga merupakan Partner dari Assegaf Hamzah and Partners. Menurut Maulana, terdapat beberapa catatan yang perlu diperhatikan khususnya terkait perluasan alat bukti dan juga perubahan atas ketentuan pidana dalam beberapa tindak pidana elektronik.

Secara umum, diskusi yang dimoderatori oleh Yanuar Pribadhie yang merupakan Member dari Indonesia Cyber Law Community (ICLC) ini berjalan dengan lancar. Seluruh peserta sangat antusias berdiskusi terkait dengan persoalan-persoalan yang mungkin muncul pasca Revisi UU ITE ini di perusahaan mereka masing-masing. Diskusi ini dilaksanakan di Fraser Place Setiabudi pada 5 Desember 2016 yang lalu.