'Penjelasan Pasal' Tidak Boleh Menambah Norma Baru
Berita

'Penjelasan Pasal' Tidak Boleh Menambah Norma Baru

Penjelasan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang HAM yang mengecualikan aborsi dan hukuman mati dari hak hidup, dianggap tidak sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.

Oleh:
CRA
Bacaan 2 Menit
'Penjelasan Pasal' Tidak Boleh Menambah Norma Baru
Hukumonline

 

Sebagai catatan, sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah memutus penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 tidak mempunyai kekuatan mengikat. Karena penjelasan Pasal tersebut ditafsirkan telah memperluas atau menambah norma yang tedapat dalam batang tubuhnya.

 

Mantan anggota PAH I BP MPR Lukman Hakim Saefuddin berpendapat berbeda. Lukman mengaku tidak bisa mengkomentari pendapat Alexander mengenai ketentuan Penjelasan Pasal 9 ayat (1) itu di dalam sidang MK. Namun saat dihubungi hukumonline, politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini memberikan sedikit berkomentar. Menurut dia, pasal-pasal atau batang tubuh dengan penjelasan pasal merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Kalau misalnya Penjelasan Pasal 9 ayat (1) itu kemudian mengatur norma, sesungguhnya masih debatable juga, ujarnya.

 

Lukman menjelaskan bahwa ada yang berpendapat Penjelasan Pasal 9 ayat (1) telah menambah norma. 'Namun ada juga yang berpandangan bahwa sebenarnya Penjelasan Pasal 9 ayat (1) tersebut bukan merupakan norma baru. Penjelasan Pasal 9 ayat (1) itu adalah menjelaskan atau memberikan keterangan dari batang tubuhnya yang berbicara tentang hak hidup, ujarnya.

 

Staf pengajar Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum UI, Sonny Maulana Sikumbang mengakui bahwa persoalan antara menambah norma atau hanya benar-benar menjelaskan pasal memang masih debatable. Menurut Sonny, dalam penjelasan Pasal 9 ayat (1) telah terjadi penambahan norma. Pengeculian hak hidup (aborsi dan hukuman mati,-red) yang terdapat dalam penjelasan, seharusnya diletakkan di batang tubuh, ujarnya. Cukup batang tubuh yang mempunyai impliksi atau akibat hukum. Penjelasan sesungguhnya hanya menjelaskan implikasi hukum itu, tetapi kalau penjelasan kemudian juga mengandung ketentuan yang mempunyai implikasi hukum, seperti pengecualian penjelasan Pasal 9 ayat (1), sebaiknya dimasukan ke dalam batang tubuh, jelasnya lagi.

 

Seharusnya para perancang UU harus mengupayakan aturan-aturan pasal yang dirancangnya menjadi sejelas mungkin. Sehingga perancang UU tidak membutuhkan atau bergantung pada penjelasan untuk menjadikan orang mengerti isi pasalnya. Itu prinsip dasar, ujarnya.

 

Terlalu mengandalkan penjelasan membuat perancang undang-undang malas untuk membuat pasal yang sejelas-jelasnya. Jadi lebih baik hindari penjelasan, kecuali sama sekali tidak bisa menyusun kalimat yang jelas dalam pasal-pasal, ujarnya.

 

Daya ikat bagian penjelasan

Terkait pertanyaan apakah penjelasan itu merupakan sesuatu yang mengikat, Sonny mengaku masih perlu diperdebatkan. Menurut lampiran UU No 10 Tahun 2004, disebutkan struktur peraturan terdiri dari dua bagian, yang terakhir adalah bagian penjelasan dan bagian lampiran. Permasalahannya selanjutnya adalah dalam kedua bagian tersebut, disebutkan apabila diperlukan, ujarnya.

 

Ia menambahkan arti dari apabila diperlukan tersebut adalah keberadaannya tidak mesti ada atau pilihan. Kalau keberadaannya menjadi pilihan, apakah kemudian ketika penjelasan itu ada maka menjadi mengikat? Kalau memang mengikat, mengapa penjelasan dibolehkan untuk tidak ada. Berarti sesungguhnya keberadaan penjelasan tidak terlalu penting benar, jelasnya.

 

Lalu bila penjelasan tidak penting benar, bahkan bisa ditiadakan sama sekali, apakah bisa mengikut? Saya tidak bisa menjawabnya, perlu ada penegasan dari pemerintah soal ini, ujarnya menutup pembicaraan dengan hukumonline.  

 

Salah seorang kuasa hukum pemohon uji materi UU Narkotika mengenai hukuman mati, Alexander Lay mempersoalkan Penjelasan Pasal 9 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memperbolehkan adanya hukuman mati. Menurutnya, Penjelasan Pasal tersebut telah memperluas dan menambah norma yang ada dalam batang tubuhnya (Pasal 9 ayat (1)).

 

Ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU HAM adalah Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Penjelasan pasal ini menyebutkan: Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang baru lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi.

 

Alexander berpendapat,  penjelasan Pasal 9 ayat (1) itu memberikan pengecualian, tentang aborsi dan hukuman mati dari hak untuk hidup. Menurut dia, pengecualian seperti itu bertentangan dnegan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Sistematika Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Butir 159. 

 

Butir 159 menyebutkan bahwa Dalam menyusun penjelasan pasal demi pasal harus diperhatikan agar rumusannya : a. Tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh; b. Tidak memperluas atau menambah norma yang ada dalam batang tubuh; c. Tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh; d. Tidak mengulangi uraian kata, istilah, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum.

 

Ketentuan Butir 159 huruf b ini dilanggar dengan berlakunya Penjelasan Pasal 9 ayat (1). Alexander menyatakan bahwa tidak bisa suatu penjelasan suatu Pasal tidak boleh menambah norma hukum baru atau membatasi norma hukum yang diatur dalam batang tubuhnya. Penjelasan Pasal 9 ayat (1) ini jelas menambah norma. Di batang tubuh (Pasal 9 ayat (1),-red) dikatakan hak untuk hidup, sedangkan penjelasannya memberi pengecualian terhadap hak untuk hidup tersebut, jelasnya.

Tags: