'Salah Adili' di Gorontalo, Polisi Tak Bisa Ikut Campur
Berita

'Salah Adili' di Gorontalo, Polisi Tak Bisa Ikut Campur

Berbeda dengan drama Sengkon-Karta yang salah menghukum orang dalam sebuah peristiwa pembunuhan. Dalam kasus Risman-Rostin, peristiwa pidananya bahkan sama sekali tidak terjadi.

Oleh:
CRP
Bacaan 2 Menit
'Salah Adili' di Gorontalo, Polisi Tak Bisa Ikut Campur
Hukumonline

 

Sayang, kepolisian Limboto bekerja sama dengan kuasa hukum Alta Lakoro  menghalang-halangi Risman menemui anaknya yang bak mayat bangun dari kubur itu. Dengan naif, kuasa hukum Alta bahkan menyatakan warga telah salah mengira bahwa kliennya bernama Alta, padahal sebenarnya bernama Asta.

 

Polisi mestinya tak turut campur

Dimintai pendapatnya, ahli hukum acara pidana M. Yahya Harahap menilai langkah kuasa hukum Risman menolak tes DNA yang akan dilakukan tim dari Kepolisian sudah tepat. Menurutnya, wajar saja jika kuasa hukum skeptis dengan kepolisian. Mestinya dalam hal ini pengetesan DNA dilakukan oleh tim independen. Pihak kepolisian tidak perlu turut campur lagi. Polisi kan tidak terlibat dalam upaya hukum PK ini, ujarnya.

 

Yahya justru tak habis pikir kenapa polisi turut mengamankan Alta dan menghalang-halangi Risman bertemu Alta. Padahal untuk mencari bukti untuk menguatkan dalil telah munculnya keadaan berbeda sebagai syarat pengajuan PK, salah satunya dengan pembuktian DNA. Sebaiknya memang penguji DNA yang netral, kata Yahya. Kalau kepolisian memaksa ngetes, itu aneh sekali. Mereka (polisi) kan sudah tidak sedang dalam tugas penyidikan. Terhukum juga sudah menjalani hukuman, sudah bebas.

 

Yahya menambahkan, kalau rehabilitasi nanti sudah diputuskan, baru gugatan ganti rugi bisa diajukan. Alasan yang bisa didalilkan adalah 'Abuse of legal procedure' yang dilakukan penyidik. Ganti rugi itu sebaiknya berbekal putusan PK agar lebih mudah mengajukannya,  ujar Yahya.

 

Kasus salah mengadili di Gorontalo masih berlanjut menjadi persoalan baru. Tim Kuasa Hukum Risman-Rostin menolak Tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) yang semula akan dilakukan oleh Tim Forensik Mabes Polri. Alasan utama penolakan mereka adalah ketidaknetralan pihak kepolisian dalam kasus ini. Sejumlah kalangan menilai korps penyidik hendak lempar batu sembunyi tangan atas kejadian salah adili ini. Sebelumnya, kuasa hukum Alta meminta pasangan Risman-Rosmin membuktikan bahwa Alta benar-benar anak mereka.

 

Kisah ini adalah jalan panjang rencana pengajuan Peninjauan Kembali yang mesti ditempuh pasangan malang  itu.  Peninjauan kembali menurut Artidjo Alkotsar dalam hal ini adalah meminta rehabilitasi. Sebab,  pasangan itu sudah menjalani masa hukuman mereka dalam bui. Itu yang paling mungkin. Tentu dengan melihat apakah keadaan baru itu bisa terbukti dengan meyakinkan, ujar salah satu hakim agung di Mahkamah Agung (MA) itu.

 

Pekan lalu, Ketua MA Bagir Manan mengatakan, kesalahan utama dalam pengadilan sesat di Gorontalo itu bermula pada penyidikan dan penuntutan. Bagir berpendapat, kalau sejak awal  proses penyidikan dan penuntutan kedua lembaga itu sudah melakukan tindakan tak cermat,  hakim yang mengadili perkara tidak bisa dipersalahkan. Ucapan Bagir yang mengatakan, Jangan dibuat heboh, peristiwa ini memang sangat mungkin terjadi, telah memerahkan kuping warga Limboto karena seperti dianggap hal lumrah saja.

 

Sementara Artidjo mengatakan, selain mengajukan rehabilitasi yang hanya akan mengembalikan nama baik, pasangan malang itu juga bisa menggugat ganti rugi pada negara. Artidjo mengaku, sewaktu dirinya masih menjadi pengacara di LBH ia pernah mengajukan gugatan ganti rugi  dalam kasus yang mirip. Kalau dirasa cukup bahan untuk mengajukan gugatan ganti rugi, maju dulu gugatan ganti ruginya, kata Artidjo.

 

Menarik untuk dicermati, kasus ini sedikit berbeda dengan Sengkon-Karta meski pada intinya sama,--kesalahan mengadili. Dalam kasus Sengkon-Karta, pembunuhan memang  terjadi, ada orang mati ada yang membunuh, meski pengadilan salah menghukum orang. Dalam kasus Risman, pembunuhan tidak terjadi. Risman-Rostin dihukum karena perbuatan yang justru tidak pernah terjadi. Dalam kasus ini, tindak pidana yang didakwakan ternyata tidak ada, ujar ahli hukum acara pidana M Yahya Harahap ketika dihubungi hukumonline pada Kamis (26/7).

Tags: