Film dan Musik, Karya Cipta yang Paling Banyak Dibajak
Utama

Film dan Musik, Karya Cipta yang Paling Banyak Dibajak

Negara rugi triliunan rupiah akibat ulah pembajak. Di Jakarta saja kerugian akibat pembajakan bisa mencapai Rp1 triliun.

Oleh:
Sut
Bacaan 2 Menit
Film dan Musik, Karya Cipta yang Paling Banyak Dibajak
Hukumonline

 

Mustahil jika polisi tidak mengetahui ada transaksi jual beli CD, VCD dan DVD bajakan di tempat itu. Soalnya, hanya beberapa langkah dari tempat perdagangan tersebut, berdiri pos polisi yang sejak lama dibangun oleh pengembang di kawasan itu. Tindakan law enforcement terhadap pembajak memang masih kurang, tegas Togar di sela seminar HKI bertajuk 'Nasib Hak Cipta di Bidang Industri Musik dan Film Nasional' yang diadakan di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta, Kamis (24/4).

 

Masalah pembajakan ini makin runyam tatkala masyarakat tidak peduli terhadap hasil karya cipta orang lain. Benar kemampuan ekonomi masyarakat di negara ini belum terlalu mumpuni untuk membeli hal-hal yang berbau hiburan. Untuk membeli kebutuhan sehari-hari saja sulit, apalagi membeli kaset, CD, VCD hingga DVD asli yang harganya mahal, sebut saja Amin, salah seorang pembeli CD bajakan.

 

Maka dari itu, wajar jika dalam kondisi ekonomi yang kepepet masyarakat lebih memilih yang murah tanpa memperhatikan kualitas barang yang dibeli. Akibatnya, hal itu dimanfaatkan para pembajak dengan dalih kegiatan sosial, yakni melayani masyarakat yang tidak mampu membeli barang asli.

 

Sejumlah produsen rekaman sudah mulai mensiasatinya. Salah satunya dengan menjual barang dagangannya dengan harga murah, sehingga harga yang asli dengan bajakan tidak jauh berbeda. Tapi, kata Togar, upaya itu juga belum menampakan hasil. Tetap saja orang masih banyak memilih yang bajakan, sesalnya. Kendala-kendala seperti itu, sambung Togar, yang membuat pembajakan hak cipta masih marak di di Tanah Air.

 

Tapi, masyarakat mungkin lupa, kalau ada efek lain yang ditimbulkan dari hasil pembajakan tersebut. Selain yang dikatakan Togar tadi, yaitu orang jadi malas berkreativitas, pembajakan sudah pasti merugikan sejumlah pihak. Negara sudah tentu dirugikan karena tidak mendapat pemasukan dari pajak (PPN). Lalu kalau di dunia musik, kerugian bakal dialami mulai dari si pencipta lagu, arranger, produser hingga penyanyi lagu tersebut.

 

Data yang dilansir Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran HKI cukup mencengangkan. Hingga akhir Februari 2008, total kerugian negara akibat pelanggaran hak cipta di Propinsi DKI Jakarta saja mencapai Rp1 triliun (berupa sitaan 2,1 juta keping cakram film dan musik bajakan). Dari jumlah itu, baru 705 kasus yang diserahkan kepada kepolisian dan 346 diantaranya masih dalam proses hukum. Lebih dari setengah pelanggaran HKI tersebut terjadi di bidang hak cipta, yaitu 598 kasus. Hak cipta yang paling banyak dibajak adalah film dan musik.

 

Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekamanan Indoensia (PAPPRI) juga punya catatan sendiri. Menurut mereka, karya cipta berupa musik yang dibajak selama 2007 mencapai 500 juta keping baik untuk CD, MP3 maupun kaset. Angka ini meningkat dibanding tahun 2006 yang jumlahnya 400 juta keping. Akibat pembajakan itu, kerugian artis dan produser ditaksir mencapai Rp2,5 triliun. Sungguh angka yang luar biasa, apalagi hanya terjadi dalam kurun waktu dua tahun.

 

Efek lainnya yakni banyak beredar stiker lunas PPN palsu. Dan yang lebih parah lagi adalah situasi apatis, dimana pihak produser atau artis membajak produk atau karya ciptaannya sendiri, demikian Hendra Tanu Atmadja, Direktur Pascasarjana Universitas Tujuh Belas Agustus.  

 

Awas, embargo perdagangan!

Ranah pembajakan hak cipta memang sudah meradang. Togar mengatakan saat ini para pembajak  bukan hanya membajak secara fisik, melainkan sudah non-fisik. Yang non fisik misalnya pembajakan ring back tone dan true tone. Untuk menanggulangi pembajakan yang fisik saja sulit, apalagi yang non fisik, cetus mantan Kapolda Sumatera Utara ini.

 

Lantas apa yang mesti dilakukan? Sikat habis pengganda barang bajakan, tegas Trimedya Panjaitan, Ketua Komisi III (Hukum dan Perundang-Undangan, HAM dan Keamanan) DPR. Saran klasik yang disampaikan anggota FPDIP itu mungkin bisa terwujud jika polisi mau rutin melakukan sweeping ke tempat-tempat penjualan kaset, CD, VCD atau DVD bajakan, minimal sebulan sekali. Dari situ, niscaya polisi bisa mengungkap siapa saja bandar dan produsen pembuat barang-barang haram tersebut.

 

Itu pun belum cukup, kata Trimedya. Para pengelola pusat perbelanjaan yang menyediakan tempat bagi penjual CD, VCD dan DVD bajakan juga harus ditindak. Menurutnya, manajemen pengelola pusat perbelanjaan dapat dikenai sanksi pidana atau ganti rugi perdata, jika tetap menyediakan tempat bagi penjual barang-barang bajakan.

 

Undang-undang No. 19/2002 tentang Hak Cipta memang tidak mengatur tentang sanksi pidana terhadap penyedia lapak barang bajakan. Tapi  lanjut Trimedya, mereka dapat dijerat dengan delik perbantuan dalam melakukan kejahatan, seperti yang diatur Pasal 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

 

Sementara Togar menyatakan LK-GAP siap memberikan info dan pendidikan bagi aparat penegak hukum terutama polisi tentang pengetahuan HKI. Alasannya, kata Togar, masih banyak aparat hukum di negeri ini yang belum mengerti masalah HKI. Kami juga akan mensosialisasikan kepada masyarakat untuk menghargai karya anak-anak muda, jelasnya.

 

Langkah lebih maju dilakukan oleh perusahaan rekaman PT Naga Swarasakti (Nagaswara). Untuk membasmi pembajakan, dapur rekaman ini rencananya akan memproduksi kaset, CD maupun VCD dengan harga murah, selain tetap menjual kaset dan VCD dengan harga normal. Jadi, misalnya CD grup musik Krispatih diedarkan dalam dua versi, yakni dijual dengan harga normal dan satunya lagi dijual murah, ungkap pengamat musik yang tak mau disebutkan namanya.

 

Ia melanjutkan, memang nantinya akan ada perbedaan antara CD yang dijual dengan harga normal dengan CD yang dijual dengan harga murah. Tapi, perbedaan itu hanya ada pada kemasan dan tempat CD-nya saja. Sedangkan isi dan materi lagunya tetap sama dengan harga yang normal.

 

Upaya lain yang tak kalah penting adalah pemerintah mesti memprioritaskan penegakan anti pembajakan. Walaupun Negeri ini sudah dalam posisi yang lebih baik yaitu masuk ke dalam daftar watch list, bukan berarti Indonesia sudah aman dari pantauan USTR. Bahkan, posisi Indonesia saat ini cukup riskan, karena terkait status Priority Foreign Country dan pemberian fasilitas GSP (Generalized System of Preference).

 

Apabila penegakan HKI kembali melemah, kemungkinan Indonesia akan menerima sanksi seperti embargo perdagangan atau bahkan penundaan dan pencabutan fasilitas, tandas Hendra Tanu Atmadja. Nah lho.

 

Bangsa yang mau berubah dan mau maju adalah yang di dalamnya punya kreativitas. Kalau kreativitasnya sudah dimatikan karena takut dibajak, maka bisa membahayakan kemajuan dari bangsa itu sendiri, tegas Togar Sianipar, Ketua Umum LK-GAP (Lembaga Koordinasi Gerakan Anti Pembajakan), lembaga yang sudah dua tahun ini menyuarakan anti pembajakan terutama di bidang musik dan film. 

 

Pernyataan mantan Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (Kalakhar BNN) ini ada benarnya. Soalnya siapa yang mau kalau hasil karyanya terus-terusan dibajak. Bukannya untung yang diraih, justru rugilah yang didapat. Togar sendiri mengaku hampir frustasi menghadapi maraknya pembajakan di dunia intertein tersebut.

 

Apalagi, kata dia, pemerintah belum memprioritaskan masalah pembajakan Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) di ranah penegakan hukum. Alasan pemerintah bisa jadi lantaran saat ini Indonesia sudah terbebas dari priority watch list (PWC) yang dikeluarkan oleh USTR (United States Trade Representative), lembaga perdagangan asal negeri Paman Sam.

 

Sekedar informasi, PWC adalah peringkat kedua dari empat peringkat dalam Special 301 Report yang dikeluarkan USTR. Negara yang masuk dalam kategori ini memiliki pelanggaran HKI yang tergolong berat sehingga akan diprioritaskan dalam hal pengawasan pelanggaran HKI di negara yang bersangkutan. Sejak dua tahun lalu Indonesia sudah keluar dari daftar hitam ini. Kini negeri ini masuk kategori watch list, yakni cukup diawasi karena pelanggaran HKI-nya belum terlalu berat.

 

Bukti tidak seriusnya pemerintah memberantas para pembajak bisa dilihat dari banyaknya penjual barang bajakan di sudut kota bahkan di tengah kota sekalipun. Kawasan yang tak asing lagi menjual barang-barang bajakan adalah pusat perdagangan elektronik Glodok, Jakarta. Di situ, orang bisa menemui hasil karya cipta berupa musik dan film bajakan yang dijual secara bebas dengan harga murah.

Halaman Selanjutnya:
Tags: