Salah Vonis, Akibat Kesalahan Berjamaah Para Penegak Hukum
Fokus

Salah Vonis, Akibat Kesalahan Berjamaah Para Penegak Hukum

Penyidik salah identifikasi. Penuntut umum hanya manut pada BAP yang disusun penyidik. Hakim mengabaikan ketidakyakinannya. Akumulasi kesalahan ini menyebabkan terjadinya salah vonis. Penyidik menjadi ujung tombak sehingga layak dimintai pertanggungjawaban.

Oleh:
Nov/Ali/CRF
Bacaan 2 Menit
Salah Vonis, Akibat Kesalahan Berjamaah Para Penegak Hukum
Hukumonline

 

Ryan mengaku telah membunuh sebelas orang dalam kurun waktu satu tahun terakhir, termasuk seseorang bernama M. Asrori. Pengakuan ini diperkuat tes DNA (Deoxiribo Nuclead Acid) oleh Laboratorium DNA Lembaga Kedokteran Kepolisian RI. Jenazah korban Ryan yang selama ini belum teridentifikasi –Mr X—ternyata memiliki kecocokan DNA dengan orang tua Asrori. Polisi pun memastikan Mr X dimaksud adalah Asrori. Dengan kata lain, pengakuan Ryan bisa jadi terbukti benar.  

 

Lalu, siapa mayat yang ditemukan di kawasan perkebunan yang mengantarkan Imam Hambali, David Eko Priyanto dan Maman Sugianto duduk di kursi pesakitan? Itulah kini yang menjadi pekerjaan rumah bagi polisi. Patut diduga polisi telah melakukan kesalahan saat penyidikan kasus penemuan mayat terdahulu. Belum dipastikan apakah pengakuan Hambali, Eko dan Sugianto diperoleh lewat cara-cara kekerasan dan penyiksaan. Polda Jawa Timur sudah membentuk tim beranggotakan unsur Reskrim, Propam, dan Binkum. Mabes Polri pun mengirimkan tim dari Jakarta diketuai Kombes (Pol) Machmud Abduh.

 

Jelas ada yang janggal. Dua pembunuhan, dua jenazah, tapi satu korban. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jombang memutus Hambali dan David Eko terbukti bersalah membunuh Asrori alias Aldo. Padahal jelas sekali, berdasarkan hasil tes DNA, Asrori yang asli menjadi salah satu jenazah korban pembunuhan oleh Ryan. Pihak kepolisian berdalih, saat mengidentifikasi mayat yang dianggap Asrori itu hanya berdasarkan pengakuan pihak keluarga. Saat itu tidak dilakukan tes DNA. Lagipula, wajahnya rusak. Tidak bisa dikenali, kata Abu Bakar Nataprawira, Kepala Divisi Humas Mabes Polri (28/8). 

 

Walau tim kepolisian belum mengumumkan secara resmi hasil investigasi, yang jelas telah ada tiga orang yang dituduh membunuh Asrori. Ironisnya, jaksa dan hakim pun meneruskan kealpaan polisi itu.  Semua saling terkait, memang. Kekeliruan hakim dalam memvonis tidak lepas dari dakwaan jaksa. Dakwaan jaksa disusun berdasarkan hasil penyidikan polisi. Untuk itu, kekeliruan vonis ini turut menyeret peran kepolisian selaku penyidik dan jaksa selaku penuntut umum.

 

Polisi, jaksa, dan hakim merupakan tiga pilar sistem peradilan pidana terpadu. Polisi melakukan penyidikan, kejaksaan (dalam hal ini penuntut umum) menyusun dakwaan dan penuntutan. Kemudian hakim menguji dan memutus perkara di persidangan.

 

Hanya Salah Penyidik?

Kalau dirunut, kekusutan perkara pembunuhan Asrori tak bisa dilepas dari penyidikan. Penyidikan oleh polisilah yang menjadi pangkal proses perkara pidana ini bergulir dengan tiga orang tersangka yang diseret ke pengadilan.

 

Namun polisi enggan disalahkan sendirian. Juru Bicara Mabes Polri, Abu Bakar Nataprawira, menegaskan, dalam konteks ini  ada tiga institusi yang terkait. Kalau polisi sampai salah mengidentifikasi korban, yang kemudian diteruskan dalam Berita Acara Pemeriksaan, penuntut umum kan memiliki wewenang untuk memeriksa berkas yang dilimpahkan pihak penyidik.

 

Apabila alat bukti lengkap secara formil dan materil, maka penuntut umum berhak  menyatakan P-21. Dengan menetapkan P-21 berarti jaksa juga punya keyakinan sama bahwa ketiga tersangka merupakan pelaku pembunuhan Asrori. Lalu, ketika perkara sudah maju ke pengadilan, hakim juga punya keyakinan serupa. Belakangan, terungkap, ketiga lembaga melakukan kesalahan membuat kesimpulan.

 

Karena itu pula, kepolisian merasa kejaksaan dan pengadilan punya andil atas kekeliruan proses hukum terhadap Hambali, David Eko dan Sugianto. Polisi berjanji segera melakukan koordinasi dengan institusi lain.  Untuk kasus Hambali, David Eko, dan Maman Sugianto, Kapolda Jawa Timur akan mengambil langkah berkoordinasi dengan Kejaksaan dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur, kata Abu Bakar.

 

Dituduh punya andil melakukan kesalahan, Kejaksaan angkat bicara. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Bonaventura Daulat Nainggolan, menegaskan bahwa  penuntut umum hanya berbicara dengan kertas. Jaksa nggak bisa nanya orang, ‘benar nggak seperti apa yang ada di Berita Acara ini?'. Jadi, boleh dikatakan yang dilakukan jaksa adalah pemeriksaan formil. Yang dijalankan jaksa sudah sesuai dengan KUHAP. Untuk mengujinya secara materil, ya di persidangan, tandas Nainggolan.

 

 

Pasal 14 KUHAP

Penuntut umum mempunyai wewenang:

a.   Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;

b.   Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan  memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk  dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

 

 

Pasal 14 huruf a KUHAP ini mengatur penuntut umum hanya memeriksa berkas yang disuguhkan penyidik. Karena hanya memeriksa berkas secara formil, penuntut umum tidak mengetahui metode seperti apa yang digunakan penyidik untuk mendapatkan keterangan. Memang seperti itulah tugas penuntut umum, ujarnya.

 

Pembelaan Nainggolan terhadap korps adyaksa diperkuat Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga. Muchtar mengatakan, pada tindak pidana umum wewenang melakukan penyidikan yang merupakan awal dari proses hukum, ada pada pihak kepolisian. Kejaksaan hanya sebatas menjadi penuntut umum. Jadi dasar dakwaan awal itu kan dibuat dari penyidik.

 

Pada saat pra-penuntutan, dilakukan penelitian berkas baik secara formil maupun materil. Apa yang tertuang dalam berkas, itu juga akan diajukan ke pengadilan. Lantaran hanya sebatas meneliti berkas, penuntut umum tidak bisa mencium aroma kekeliruan dalam berkas yang diajukan penyidik, apalagi mencium kemungkinan penyidikan dilakukan dengan kekerasan. Untuk itu, menurut Muchtar, penuntut umum tidak dapat dikatakan punya andil atas kekeliruan vonis yang dijatuhkan hakim. Kecuali jika ada datanya, ada konspirasi dari sejak awal antara penyidik dan penuntut umum dan hakim baru boleh kita tarik tiga-tiganya.

 

Pembelaan ternyata bukan hanya datang dari pihak kejaksaan, tapi juga dari hakim. Djoko Sarwoko, Juru Bicara Mahkamah Agung menjelaskan, awal dari pemeriksaan perkara pidana di pengadilan adalah berkas yang dilimpahkan penyidik ke penuntut umum. Suatu perkara bisa diajukan melalui proses penuntutan di persidangan kan harus ada berkas dulu. Kalau berjalan baik, mulus, dan benar maka di tahap selanjutnya akan baik juga. Jadi, walaupun nantinya ada kekeliruan yang dilakukan hakim. Itu gara-gara penyidik. Awalnya dari sana, tuturnya.

 

Djoko juga menolak pandangan bahwa hakim dikatakan tidak teliti dalam memutus suatu perkara. Harus dilihat bahwa kekeliruan sudah muncul sejak tahap penyidikan.

 

Soekotjo Suparto, anggota Komisi Yudisial, juga sempat mengatakan jika hakim adalah palang terakhir. Kalau bahan dari bawah sudah salah, ya susah jadinya.

 

Kesalahan tiga pilar?

Kejaksaan dan pengadilan terkesan cuci tangan dan tak mau disalahkan. Seolah-olah kesalahan proses hukum atas pembunuhan Asrori hanya layak dibebankan kepada penyidik. Padahal, dalam pandangan T. Nasrullah, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan merupakan tiga pilar sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).

 

Dosen hukum acara pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu coba menjelaskan dalilnya.  Sebelum suatu perkara dinyatakan P-21, penuntut umum seharusnya melakukan analisis terhadap bukti-bukti untuk memastikan kekuatannya, ataukah hanya berdasarkan asumsi penyidik. Penuntut umum harus jeli dalam menganalisis, tegas Nasrullah.

 

Walaupun penuntut umum hanya menganalisis BAP yang disusun penyidik, ketika persidangan, penuntut umum dapat melihat kebenaran materil. Jika sampai penuntut umum menjadi tidak yakin dengan bukti-bukti, maka jaksa dapat menuntut bebas terdakwa. Nasrullah mencontohkan, tuntutan bebas jaksa atas terdakwa pada kasus Udin, wartawan Bernas Yogyakarta.

 

Bisa saja jaksa enggan menuntut bebas karena takut dimarahi atasan. Tapi Nasrullah mempertanyakan mengapa jaksa menuntut sejak awal. Jaksa mestinya memperhatikan betul bukti pendukung yang disodorkan polisi. Jangan hanya melihat banyaknya bukti yang berhasil dikumpulkan, melainkan pada kekuatan bukti yang  mendukung dakwaan. Bisa saja bukti banyak tapi tidak kuat, sehingga penuntut umum dapat menolak atau menyuruh penyidik menambahkan, atau malah memberhentikan perkara tersebut, tandas anggota tim penyusun RUU KUHAP itu.

 

Lain penuntut umum, lain pula hakim. Nasrullah menilai hakim lebih melihat faktual. Maksudnya, fakta atau pembuktian yang ada di persidangan. Ada kecenderungan hakim menghukum terdakwa jika sang hakim benar-benar yakin bahwa terdakwa bersalah. Sebaliknya, jika si hakim rada kurang yakin alias ragu, kata Nasrullah, sebaiknya hakim jangan memaksakan untuk menjatuhkan vonis bersalah. Hakim lebih baik membebaskan daripada menghukum orang dengan keraguan, ujarnya.

 

Sikap seperti itu pula yang pernah ditunjukkan majelis hakim PN Bekasi dengan membebaskan Budi Harjono. Polisi yang menyidik yakin pelaku pembunuhan terhadap Ali Harta Winata, seorang pemilik toko material, adalah Budi. Budi tak lain adalah anak kandung korban. Jaksa pun meneruskan hasil penyidikan polisi. Namun di persidangan, keterangan saksi-saksi dan bukti menjungkirbalikkan BAP yang disusun polisi. Saksi-saksi mencabut BAP dengan dalih selama diperiksa, penyidik telah melakukan intimidasi. Hakim akhirnya meyakini pembuktian di persidangan dan membebaskan Budi.

 

Jika saksi-saksi dalam perkara Budi Harjono mencabut BAP, lain halnya pada persidangan Hambali dan David Eko. Sekalipun kedua terdakwa berkoar-koar telah terjadi penyiksaan selama penyidikan pasca jatuhnya vonis, jaksa tetap meneruskan tuntutan terhadap terdakwa lain.

 

Kapuspenkum Kejaksaan Agung BD Nainggolan menganggap saksi dan terdakwa juga turut ambil bagian dalam kekeliruan penuntutan dan vonis. Kalau memang fakta yang muncul di persidangan membuktikan terdakwa bersalah, sesuai BAP, wajar jika terdakwa dituntut bersalah. Masa kalau saksi dan terdakwa sudah bilang iya ketika di persidangan, jaksa malah bilang tidak. Bukan seperti itu kan?.

 

Managing Director Imparsial Rusdi Marpaung berpendapat ketiga institusi penegak hukum tersebut layak dimintai tanggung jawab dalam porsi masing-masing. Namun, ia tetap yakin pangkal permasalahan tetap berawal dari penyidik. Untuk itu, Rusdi menyarankan Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian mengoreksi keteledoran para penegak hukum ini. Ini bukan pertama kalinya dan masih banyak kasus lain yang belum terkuak kepada publik.

 

Sampai saat ini, kepolisian mengaku sudah melakukan upaya koreksi. Dalam kasus Hambali, David, dan Maman misalnya, sudah dibentuk dua tim investigasi. Kejaksaan mengaku akan melakukan eksaminasi setelah mendapat laporan dari Kejaksaan Negeri Jombang dan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Mungkin ada kekurang hati-hatian, ujar Nainggolan.

 

Upaya Hukum Korban Salah Vonis

Perdebatan di kalangan institusi penegak hukum ini tidak memberikan solusi bagi pihak korban mengalami salah vonis. Sebenarnya, korban yang dirugikan ini bisa melakukan da hal. Pertama, Peninjauan Kembali (PK) dan kedua tuntutan ganti kerugian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 95 KUHAP.

 

Djoko Sarwoko mengatakan, korban kekeliruan vonis tidak bisa seketika dibebaskan, melainkan harus melalui proses hukum, yaitu Peninjauan Kembali. Sengkon-Karta sudah terlebih dahulu bertahun-tahun menjalani hukuman, baru pelaku asli tertangkap. Pada waktu itu, yang berlaku masih HIR. Gara-gara kasus ini terbitlah Perma No. 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali Putusan yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap.

 

Dengan berlakunya KUHAP, maka Perma ini disempurnakan melalui Perma No. 1 Tahun 1982. Inilah upaya hukum PK yg harus dilalui kalau ada kekeliruan dalam suatu putusan. Putusan hanya bisa diperbaiki oleh putusan lagi,  oleh lembaga yang lebih tinggi. Dengan adanya bukti atau novum baru, terbuka bagi korban salah vonis untuk melakukan PK.

 

Selain PK, tuntutan ganti kerugian juga bisa menjadi alternatif. Dalam Pasal 95 KUHAP diatur hak korban salah tangkap, tahan, tuntut, dan vonis untuk meminta ganti kerugian. Tapi, jumlahnya sangat kecil karena paling besar hanya Rp3 Juta. Djoko beranggapan, lebih baik tuntutan diajukan secara perdata karena jumlahnya akan lebih besar, dan relatif tidak terbatas. Kalau satu tahun dipidana, artinya si korban tidak memiliki penghasilan untuk menghidupi keluarganya. Dari sini bisa dihitung kerugiannya. Misalnya, seseorang bergaji dua juta per bulan. Kalau mau menghitung kerugian setahun, maka tinggal dikalikan dua belas bulan saja. Kan bisa dihitung keugian riilnya. Tuntutan ganti rugi akan lebih luas. Ada perbuatan melawan hukum yg dilakukan pemerintah, melalui pasal 1365 BW, jelas Djoko.

 

Koordinasi Awal

Kasus salah vonis bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Umumnya berawal dari proses penyidikan. Penyidik diduga melakukan penyiksaan atau merekayasa alat bukti untuk mendapatkan pengakuan tersangka. Penyidik dan penuntut umum harusnya dapat berkoordinasi sejak awal dilakukannya penyidikan. Penuntut umum sebagai pihak yang menguasai strategi dan penyidik yang orang lapangan seharusnya dapat berkolaborasi, ujar Ketua LBH Masyarakat Taufik Basari dalam Lokakarya membahas rumusan Rancangan Undang-undang (RUU) KUHAP beberapa waktu lalu. Penuntut umum dapat turut mengarahkan penyidik (investigator) sejak awal dilakukan penyidikan, imbuhnya.

 

Sayang, konsep ideal seperti itu belum terwujud. KUHAP hanya mengatur penyidik untuk memberitahukan dimulainya penyidikan kepada pihak kejaksaan. Hanya itu saja. Koordinasi antar pihak selama proses penyidikan minim. Setelah berkas dinilai polisi lengkap, baru dilimpahkan ke penuntut umum. Kemudian, menjadi lahan penuntut umum untuk memeriksa kelengkapannya berkas tersebut. Lantaran yang diperiksa pada dasarnya hanya berkas, penuntut umum tidak mengetahui bagaimana polisi melakukan penyidikan.

 

Untuk itu, dalam RUU KUHAP, Nasrullah bersama tim perumus lain memasukan koordinasi penyidik dan penuntut umum sejak awal mula dilakukannya penyidikan. Bukan hanya memberitahukan, tetapi penuntut umum dituntut berperan aktif sesuai porsinya agar tidak lagi dicap sebagai tukang contreng.

Kasus salah hukum Sengkon-Karta di Bekasi (1974) dan Risman-Rostin di Gorontalo kembali terulang. Imam Hambali dan David Eko masing-masing divonis 17 dan 12 tahun penjara akibat dituduh membunuh sesosok mayat yang diklaim sebagai Asrori. Maman Sugianto, terdakwa lain, tengah menjalani masa persidangan untuk perkara yang sama.

 

Belakangan terungkap, mayat yang ditemukan polisi di kawasan perkebunan tebu dan mengantarkan Hambali, Eko dan Sugianto ke balik jeruji besi bukanlah Asrori. Mayat Asrori malah ditemukan di Jombang Jawa Timur sebagai bagian dari korban pembunuhan yang dilakukan Ferry Idham Henyaksah alias Ryan. Kasus ini mencuat setelah Ryan memberikan pengakuan telah membunuh Asrori.

Halaman Selanjutnya:
Tags: