Penegakan Hukum HaKI di Indonesia Belum Efektif
Berita

Penegakan Hukum HaKI di Indonesia Belum Efektif

Jakarta, Hukumonline. Penegakkan hukum Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) di Indonesia belum efektif, sehingga pembajakan, plagiat, dan pelanggaran HaKI terus marak. Selain sosialisasinya lemah, masih sedikit penegak hukum yang memahami masalah HaKI.

Oleh:
Fat/APr
Bacaan 2 Menit
Penegakan Hukum HaKI di Indonesia Belum Efektif
Hukumonline
Indonesia tidak mungkin mengelak dari kewajiban menegakkan hukum HaKI. Pasalnya, Indonesia ikut konvensi WTO (termasuk Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights atauTRIPs). Jika melangar HaKI, bisa-bisa Indonesia dikenakan sanksi oleh masyarakat internasional.

Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Luhut Panjaitan, melihat urgensi perlindungan HaKI berkaitan dengan akan mulai berlakunya era AFTA (ASEAN Free Trade Area) dan persetujuan TRIPs di Indonesia.

Luhut berpendapat, bila Indonesia sudah meratifikasi TRIPs dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994, berarti TRIPS sudah menjadi bagian dari aturan hukum di Indonesia. Tidak ada pilihan lain selain menjalankan sebaik-baiknya, katanya pada saat membuka seminar HaKI; Prospek dan Implementasinya di Jakarta pada 31 Juli-1 Agustus 2000..

Penegakan hukum HaKI yang efektif merupakan pengakuan sosial dan keuntungan ekonomis atas jerih payah penemu atau pemegang HaKI. Achmad Roestandi, Katua Fraksi TNI/Polri DPR berpendapat bahwa penegakkan hukum HaKI ditentukan oleh empat pilar: norma-norma hukum, aparat penegak hukum, sarana dan prasarana, serta budaya dan kesadaran hukum masyarakat.

Sejak 1997 pemerintah Indonesia telah menetapkan tiga UU di bidang HaKI. Pertama, UU No.12 tahun 1997 jo UU No.7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta. Kedua, UU No. 13 Tahun 1997 jo UU No.6 Tahun 1989 tentang Paten. Ketiga, UU No.14 jtahun 1997 jo UU NO.19 Tahun 1992 tentang Merek.

Saat ini, pemerintah juga tengah membahas tiga RUU yang berkaitan dengan HaKI, yaitu RUU tentang Desain Industri, Ruu tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan RUU tentang Rahasia Dagang, plus RUU tentang Perlindungan Varietas Tanaman.

Belum dikenal

Cita Prawinda Priapantja, Ketua Umum Masyarakat HaKI menyatakan, tiga RUU mengenai HaKI yang sedang dibahas di DPR masih memerlukan sosialisasi agar berlaku efektif. Pasalnya, banyak masyarakat yang belum tahu mengenai HaKI, khususnya tiga RUU itu. Sosialisasi ini penting untuk menumbuhkan sikap tanggap dan kesadaran akan pengaruh HaKI pada kehidupan sehari-hari.

Menurut Roestandi, pembahasan RUU yang berkaitan dengan HaKI itu DPR lebih menitikberatkan kepada masalah politik, terutama menyeimbangkan berbagai kepentingan yang terkait dalam penerapan UU tentang HaKI. Umumnya anggota DPR tidak memiliki pengetahuan teknis HaKI yang baik dan tidak memiliki pakar yang menguasai HaKI secara mendalam, ujarnya.

Bukan hanya anggota Dewan saja yang belum mengenal. Bahkan, aparat penegak hukum juga belum terlalu mengenal HaKI. Kadar pengetahuan dan jumlah aparat penegak hukum di bidang HaKI belum memadai, kata Roestandi. Ia juga menyatakan tidak banyak anggota Polri yang mempelajari HaKI.

Dengan keterbatasan pengetahuan, bisa saja terjadi aparat penegak hukum justru ‘main mata' dengan pelanggar HaKI, khususnya dari kalangan pengusaha

Roestandi berpendapat, penegakkan hukum bukan hanya pada tahap penindakan setelah terjadinya pelanggaran HaKI, melainkan juga kelancaran pelaksanaannya. Pelaksaan hukum HaKI akan lebih terasa manfaatnya jika tidak birokratis.

Menurut Roestandi penegakan hukum HaKI kurang efektif karena kultur masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Dalam masyarakat, seorang penemu telah merasa puas jika hasil karyanya digunakan untuk manfaat orang banyak. Namun di sisi lain, seorang peniru tidak merasa berdosa jika memanfaatkan hasil penemuan orang lain.

Namanya juga pencuri, siapa yang memiliki rasa malu. Bahkan, ada juga yang sudah mencuri, masih mengaku merek atau penemuan orang lain sebagai merek atau penemuannya. Jika penegakkan hukum HaKI berjalan efektif, memang semua pihak harus mendukungnya.
Tags: