Menjaga Tradisi Menghimpun Putusan Pengadilan
Edisi Lebaran 2011:

Menjaga Tradisi Menghimpun Putusan Pengadilan

Pada awalnya putusan-putusan pengadilan dibahas dan dimuat dalam jurnal hukum. Kemudian, putusan-putusan terpilih dibukukan. Era internet menjadi tantangan.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Menjaga tradisi menghimpun putusan pengadilan. Foto: SGP
Menjaga tradisi menghimpun putusan pengadilan. Foto: SGP

Kalau ada penerbit yang rajin menerbitkan putusan-putusan pengadilan, Tata Nusa layak disebut. Perusahaan yang berlokasi di Ciputat, Tangerang Selatan, ini sudah menghasilkan berjilid-jilid buku kumpulan putusan. Dari lingkungan Pengadilan Niaga saja, Tata Nusa sudah menerbitkan himpunan putusan dalam perkara kepailitan, merek, paten, dan hak kekayaan intelektual. Buku “Himpunan Putusan-Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara Kepailitan”, hingga 22 jilid.

 

Tata Nusa bukan satu-satunya perusahaan atau lembaga yang menerbitkan putusan pengadilan. Pada umumnya, buku yang ada merupakan kompilasi berdasarkan isu khusus. Bisa mengenai perburuhan, misalnya “Kompilasi Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Terseleksi 2006-2007” terbitan TURC Jakarta, atau bisa pula mengenai hak asasi manusia.

 

Upaya Tata Nusa dan penerbit lain telah meneruskan tradisi lama mendokumentasikan putusan-putusan pengadilan. Putusan pengadilan penting sebagai bahan perbandingan dan case-study bagi akademisi, praktisi, dan pemerhati hukum. Putusan pengadilan memperlihatkan kecocokan teori dengan kasus riil di masyarakat.

 

Tim Redaksi Tata Nusa baru memulai tradisi menerbitkan putusan pengadilan sejak 1992. Lalu, apakah upaya membukukan atau mendokumentasikan putusan pengadilan sudah ada sejak dulu? Mari kita telusuri dokumen-dokumen klasik, atau kunjungi perpustakaan hukum. Coba telusuri dokumen hukum yang terbit setelah Indonesia merdeka. Ternyata, mendokumentasikan putusan pengadilan sudah lazim dilakukan, meskipun dengan format berbeda dari apa yang dilakukan Tata Nusa. Bahkan sebelum merdeka, sudah dikenal sumber hukum primer berupa Tijdschrift van het recht voor Nederlandsch Indie, semacam kumpulan yurisprudensi.

 

Penelusuran bukan hanya mengenalkan kita pada dokumen, tetapi juga pada nama-nama mereka yang berpartisipasi dalam publikasi putusan tersebut. Mari kita mulai dari nama Sahardjo. Warga Jakarta yang sering melewati Pancoran menuju Manggarai akan melewati Jalan Sahardjo. Sahardjo adalah mantan Menteri Kehakiman yang namanya kini diabadikan menjadi nama sebuah jalan.

 

Nama Sahardjo pernah tercatat sebagai Sekretaris Redaksi Majalah Hukum yang diterbitkan Persatuan Ahli Hukum Indonesia. Pada edisi No 1 Tahun 1953, halaman depan majalah ini mencantumkan nama sederet ahli hukum yang mewarnai sejarah hukum Indonesia awal kemerdekaan. Mereka yang menjadi Panitia Redaksi adalah Mr Soepomo, Mr Hoesein Tirtaamidjaja, Prof Moeljatno, Mr Soenarjo Kolopaking, Prof Djokosoetono, Mr Koentjoro Poerbopranoto, dan Mr Djody Gondokoesoemo.

 

Majalah Hukum merupakan salah satu media tempat mendokumentasikan putusan pengadilan. Obituari, karangan lepas, atau agenda hukum adalah jenis konten lain. Desain majalahnya pun sangat sederhana.

 

Dalam perkembangannya, majalah ini berganti nama menjadi “Hukum dan Masyarakat”. Organisasi penerbitnya pun berubah menjadi Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi). Seperti tercantum pada bagian tengah bawah cover, majalah ini terbit atas izin dari Peperda SWIDR. Edisi No 2 Tahun 1960 misalnya memuat putusan Mahkamah Agung tentang perikatan demi kemanusiaan, dan pembuktian.

 

Seiring dengan perubahan komposisi pengurus, penerbit Hukum dan Masyarakat berpindah-pindah. Awalnya beralamat di Jalan Segara 17. Pernah pula berkantor di Jalan Cendana 19, dan pernah pindah alamat ke Jalan Jenggala II Jakarta.

 

Jika “Hukum dan Masyarakat” diterbitkan organisasi sarjana hukum Persahi, Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) menerbitkan Varia Pengadilan. Tebalnya hanya sekitar 30 halaman, Varia Peradilan terbitan pada dekade 1960-an belum memuat putusan, beda dengan Varia Peradilan yang terbit dekade 1990-an hingga sekarang. Varia Peradilan tetap jalan dan ditangani Mahkamah Agung. Untuk kumpulan putusan terpilih, Mahkamah Agung menerbitkan Yurisprudensi RI secara berkala, satu kali dalam setahun. Kementerian Kehakiman juga pernah menerbitkan Himpunan Putusan Pengadilan.

 

Selain dalam bentuk media ‘majalah’, kita juga bisa menemukan buku kumpulan putusan yang diterbitkan perseorangan, baik oleh hakim dan mantan hakim, jaksa, akaemisi atau advokat. Pada tahun 1967, L Suryadarmawan, seorang jaksa pada Kejaksaan Agung, mengumpulkan dan menerbitkan dua jilid “Himpunan Keputusan-Keputusan dari Mahkamah Agung”. Satu jilid mengenai hukum acara pidana, jilid lain tentang hukum pidana materiil.

 

Memasuki dekade 1980 hingga 1990-an, buku kumpulan putusan semakin banyak tersedia dan tema yang diangkat kian variatif. Kuneng Mulyadi, misalnya, menerbitkan “Himpunan Yurispudensi Hukum Waris” (Setio Acness, 1996).

 

Dokumen yang tidak bisa diabaikan adalah belasan jilid buku putusan-putusan terpilih yang ditulis Mr Soedargo Gautama. “Himpunan Jurisprudensi Indonesia yang Penting untuk Praktek Sehari-Hari (Landmark Decisions) Berikut Komentar” telah menjadi salah satu rujukan penting akademisi dan praktisi hukum. Diterbitkan Citra Aditya Bakti Bandung (1997), buku ini tak dibedakan atas bidang kajian. Tetapi sebagian besar merupakan putusan perkara perdata. Dari sisi substansi, banyak informasi penting yang bisa dipelajari dari kumpulan yurisprudensi. Misalnya, apakah kedutaan besar asing di Indonesia bisa digugat.

 

Tentu saja menerbitkan buku kumpulan putusan pada era internet dan keterbukaan informasi sekarang punya tantangan tersendiri. Dulu putusan pengadilan sulit diperoleh. Kini, Undang-Undang justru mewajibkan putusan pengadilan dibuka ke publik. Masyarakat dapat mengakses putusan-putusan Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya melalui laman resmi.

 

Subandi Martha, Presiden Direktur Tata Nusa, mengakui maraknya publikasi putusan melalui internet baik yang gratis maupun berbayar, turut mempengaruhi minat orang terhadap buku kumpulan putusan pengadilan. Selain karena faktor kecepatan akses, buku memiliki keterbasan konten putusan. Dalam satu buku tak mungkin dimuat ratusan putusan sekaligus. Membukukan dalam puluhan jilid membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

 

Tata Nusa pun, kata Subandi, tak tertarik untuk mencetak ulang buku kumpulan putusan yang pernah diterbitkan. Penerbit mungkin bisa menyiasati dengan putusan bertema sangat khusus. Tetapi ini juga tak menjamin buku tersebut laku keras. Publikasi putusan melalui internet tampaknya memang lebih menarik karena lebih praktis, cepat, dan murah.

 

Meskipun era internet telah berkembang, literatur klasik putusan pengadilan tak mungkin diabaikan. Sebab, literatur-literatur tersebut telah menjadi bagian dari dinamika hukum di Tanah Air. Sebagian memperlihatkan ‘keagungan’ hakim ketika memutuskan suatu perkara. Sebagian lagi menjadi yurisprudensi yang akan terus dikenang sebagai putusan yang berani atau melampaui masanya.

 

Tags: