RUU Penanganan Konflik Sosial Dinilai Bermasalah
Berita

RUU Penanganan Konflik Sosial Dinilai Bermasalah

Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor kemanan menolak pengesahan RUU ini.

Oleh:
Rfq
Bacaan 2 Menit
Direktur Program Imparsial Al A’raf (berbaju batik). Foto: Sgp
Direktur Program Imparsial Al A’raf (berbaju batik). Foto: Sgp

Rencana DPR dan Pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang  Penanganan Konflik Sosial (RUU PKS)  menjadi Undang-Undang dikecam. Sejumlah kalangan menilai RUU ini mengandung cacat dan masalah. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, misalnya, mengkritik klausul pemberian kewenangan  kepada kepala daerah untuk mengerahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam menangani konflik sosial.

Direktur Program Imparsial Al A’raf menilai  RUU PKS masih prematur dan terkesan terburu-buru untuk dibawa keparipurna. Menurut Aal, sapaan akrab Al Araf, pasal 34  RUU PKS bertentangan dengan konstitusi dan UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Kewenangan kepala daerah mengerahkan TNI bentuk pengambilalihan kewenangan presiden. Pasal 34 RUU PKS pada intinya menegaskan kepala daerah berwenang meminta pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI melalui forum koordinasi pimpinan daerah kabupaten/kota.

Menurut Aal, selain beberapa pasal bermasalah, penanganan konflik sosial dapat diselesaikan melalui peraturan atau perundang-undangan yang ada, UU Polri dan UU TNI.

Proses pembahasan RUU PKS juga dinilai belum sepenuhnya mendengar aspirasi masyarakat. Partisipasi masyarakat, Aal menduga, sangat minim. Ia menengarai proses pembahasan sering dilakukan diam-diam. “Tapi malah memanipulasi dan diam-diam dibahas,” ujarnya.

Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat DPR tidak perlu membentuk RUU PKS. DPR dan Pemerintah cukup merevisi UU Darurat No.23 Tahun 1959. Kalaupun harus dibentuk regulasi baru, sebaiknya regulasi yang berpihak pada korban. “Bukan RUU PKS yang justru menuai pasal-pasal bermasalah. Kami menolak RUU PKS dan mendesak agar tidak disahkan dan ditolak,” tandasnya.

Koordinator Kontras, Haris Azhar,menilai RUU PKS dinilai liberal. Menurut dia dengan disahkannya RUU PKS menjadi UU akan berbahaya. Penanganan konflik sosial melalui pendekatan militeristik. Dia khawatir pengesahan RUU PKS akan berdampak pada profesionalitas TNI yang seharusnya berfungsi melakukan pengamanan di luar. Sebaliknya pengamanan dalam negeri tetap ditangani oleh Polri. “Kalau dipaksakan, TNI membuka satu kubangan baru,” ujarnya.

Haris mengkritisi adanya penyelesaian konflik dengan cara di luar jalur hukum. Pembiaran konflik yang berkepanjangan masuk ke ranah  hukum, yakni tindak pidana. Haris khawatir jika semua isu dibawa ke ranah konflik akan mendorong TNI dan berujung ancaman terhadap demokrasi yang sudah tertata. “Saya menduga ada kongkalikong karena kegagalan RUU Kamnas yang belum disahkan. Kita minta untuk tidak disahkan RUU PKS dan menunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan,” katanya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: