Persalinan Gagal, Profesionalisme Dokter Dikritik
Berita

Persalinan Gagal, Profesionalisme Dokter Dikritik

Karena dokter menangani pasien lain dalam kesempatan yang sama. Peralatan rumah sakit juga dinilai tak memadai.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
ilustrasi foto anak. (Sgp)
ilustrasi foto anak. (Sgp)

Martini Nazif gagal menimbang buah hati pada 8 November 2011 lalu. Pasalnya, jabang bayi yang sudah dikandungnya berbulan-bulan tak selamat ketika dilahirkan. Ia menuding ketidakprofesionalan dokter dan rumah sakit yang menjadi penyebabnya.

Semua berawal ketika Martini yang merupakan pasien Rumah Sakit SamMarie, Jakarta Timur melakukan konsultasi rutin atas kandungannya kepada dokter T Otamar Samsudin. Selama proses konsultasi sang dokter tidak menemukan masalah dalam kandungan dan kesehatan Martini, sehingga masuk kategori normal.

Karena khawatir dengan rasa sakit dalam melahirkan, Martini memilih proses persalinannya nanti menggunakan mekanisme caesar. Namun sang dokter menyarankan agar Martini melahirkan dengan cara normal dan menggunakan metode water birth. Merasa mendapat anjuran dari sang ahli, Martini pun mengikutinya.

Untuk melakukan proses persalinan, Otamar memberi pilihan tempat kepada Martini apakah prosesi itu dilakukan di Rumah Sakit MMC Kuningan atau RS Asri di bilangan Duren Tiga, keduanya terletak di Jakarta Selatan. Awalnya Martini lebih memilih untuk menunaikan prosesi persalinan itu di rumah sakit Sam Marie, namun sang dokter menolaknya karena punya masalah internal dengan rumah sakit.

Kemudian Martini memilih RS Asri karena lebih dekat dengan tempat tinggalnya. Pada 5 November 2011, Martini masuk rumah sakit Asri untuk menjalani proses persalinan. Tiga hari kemudian Martini memasuki tahap pembukaan ketiga pada rahimnya dan proses kelahiran itu dilakukan di dalam kolam berisi air.

Ketika menjalani proses itu dokter Otamar belum datang ke RS Asri sehingga Martini hanya ditemani oleh seorang perawat. Dokter Otamar datang saat Martini sudah tidak kuat lagi mengejan untuk mengeluarkan bayi dalam kandungannya. Oleh karenanya, untuk memperlancar proses persalinan, dokter Otamar berinisiatif melakukan vakum.

Pada saat bersamaan, sang dokter sedang menangani pasien lain yang menjalani proses persalinan seperti Martini. Ketika di-vakum, Martini ditinggalkan oleh dokter Otamar untuk menangani pasien yang berada di ruangan lain. Setelah lima jam berlalu sejak tahap pembukaan penuh akhirnya Martini berhasil melahirkan bayinya. Tapi Martini heran, karena bayi yang baru dilahirkannya itu tidak menangis sebagaimana layaknya bayi ketika lahir.

Merasa terjadi masalah, dokter Otamar langsung melakukan tindakan pertolongan terhadap bayi bernama Mayumi Rose Dees itu. Saking sibuknya, sang dokter meninggalkan Martini di kolam tempat persalinan yang dipenuhi darah bekas proses persalinan selama satu setengah jam. Walau mengaku takut melihat darah, tapi Martini berjuang melawan rasa takut itu. Sayang, bayi Martini tak selamat.

Merasa dirugikan dengan peristiwa yang menimpa dirinya, Martini dengan dibantu tim kuasa hukum dari LBH Masyarakat dan LBH Jakarta berupaya mencari jalan untuk mendapatkan haknya sebagai pasien. “Saya tidak mau apa-apa, hanya mencari keadilan,” tuturnya kepada wartawan dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Kamis (24/5).

Pada kesempatan sama, anggota tim advokasi Martini, Nur Annissa Rizki, mengatakan terjadi ketidakberesan dalam proses pertolongan yang dilakukan terhadap sang bayi. Pasalnya, terdapat darah dalam selang yang digunakan untuk membantu proses pernafasan bayi lewat tenggorokan. Sayangnya, upaya yang telah dilakukan tidak dapat menyelamatkan nyawa sang bayi.

Di malam hari setelah proses persalinan, Rizki mengatakan pihak keluarga Martini menghubungi salah satu tim kuasa hukum. Pihak keluarga minta agar ada kuasa hukum yang mendampingi ketika bertemu dengan dokter dan pihak rumah sakit. Pada pertemuan itu pihak keluarga Martini minta agar rumah sakit memberi klarifikasi atas peristiwa yang terjadi. Kemudian pihak rumah sakit menjanjikan akan segera memberikan rekam medis dan keterangan secara tertulis.

Pasca pertemuan itu pihak keluarga menghubungi pihak rumah sakit untuk menagih apa yang telah dijanjikan. Namun, menurut Rizki, pihak rumah sakit tidak memberi tanggapan yang memuaskan bagi pihak keluarga. Rizki mengatakan pada bulan Februari–Maret 2012 pihak keluarga berupaya untuk menyelesaikan masalah ini secara musyawarah. Setelah itu pihak rumah sakit tidak mau menemui langsung keluarga Martini, hanya diwakili kuasa hukum.

Karena desakan yang terus-menerus dilakukan akhirnya pihak rumah sakit hanya mengeluarkan resume medis. Bagi Rizki tentu saja hal itu tidak menyelesaikan permasalahan yang ada. Pasalnya, resume medis itu tidak dapat dipahami oleh orang awam yang tidak mengerti seluk beluk kedokteran, termasuk Martini dan keluarga.

Taufik Basari, kuasa hukum lain Martini, mengatakan setidaknya ada dua keganjilan yang terdapat dalam proses persalinan. Yakni soal profesionalitas penanganan dokter dan rumah sakit. Taufik mengatakan berbagai keganjilan itu patut dipertanyakan karena sebelum melakukan proses persalinan, sang dokter menyatakan kondisi Martini dan bayi dalam kandungannya sehat.

Proses kejanggalan dalam proses persalinan, menurut Taufik, terlihat dari ketidaksiapan rumah sakit dalam menangani proses persalinan. Karena saat prosesi itu terjadi sang dokter seringkali meninggalkan Martini untuk menangani pasien lain. Selain itu, alat yang digunakan untuk persalinan dipakai secara bergantian dengan pasien lain. Bahkan pintu di ruangan tempat Martini melahirkan dibiarkan terbuka, sehingga orang dengan mudah dapat keluar masuk.

“Bahkan suami dari Martini diminta bantuan (oleh pihak rumah sakit,-red) untuk mengoperasikan sebuah alat,” ujar Taufik.

Sampai proses persalinan selesai dokter ataupun pihak rumah sakit tidak memberi penjelasan yang detail atas persoalan yang terjadi. Menurut Taufik berbagai peristiwa itu menunjukkan bahwa sang dokter dan rumah sakit tidak profesional. Sehingga membuat Martini sebagai pasien tidak nyaman dengan kondisi yang ada dan dirugikan.

Atas dasar itu, Taufik mengatakan dokter yang menangani dan rumah sakit Asri harus menjelaskan secara detail dan tertulis penyebab kematian bayi Martini. Selain itu pihak Martini menginginkan agar diberikan rekam medis, serta menuntut agar rumah sakit Asri membentuk tim internal untuk melakukan investigasi atas kejadian ini. Taufik juga berencana untuk melaporkan hal ini kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) secepatnya.

Sementara, anggota tim advokasi lainnya, Nurkholis Hidayat, mengatakan ada konsekuensi hukum dalam peristiwa ini. Jika terbukti melakukan pelanggaran maka dokter yang menangani persalinan Martini dapat dicabut izinnya. Kemudian mengacu Pasal 58 ayat (1) UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Nurkholis melanjutkan, ada ganti rugi yang dapat diperoleh pasien jika pihak yang memberi pelayanan kesehatan melakukan kelalaian.

Selain itu Nurkholis mengatakan ada ancaman pidana untuk pihak yang melakukan kelalaian sehingga menyebabkan korban meninggal dunia. Hal itu termaktub dalam Pasal 359 KUHP. “Ancaman maksimal 5 tahun penjara,” kata Direktur LBH Jakarta itu.

Terpisah, kuasa hukum rumah sakit Asri, Suratini, tak banyak komentar. Dia hanya mengatakan telah dilakukan sejumlah pertemuan di LBH Jakarta untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Serta menyebut bahwa rumah sakit Asri telah memberikan apa yang menjadi hak dari pasien. “Sudah diberikan resume medis,” pungkasnya kepada hukumonline lewat telepon, Jumat (25/5).

Tags: