4 Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Peradilan Anak
Hari Anak Nasional

4 Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Peradilan Anak

Penjara bukanlah tempat terbaik untuk anak.

Oleh:
HASYRY AGUSTIN
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Kejahatan tak hanya dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak, tapi ada juga kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak. Kasus kejahatan yang melibatkan anak seringkali berujung di pengadilan. Dan ternyata, ada beberapa perbedaan yang diberikan pengadilan apabila anak duduk sebagai terpidana. Ini empat hal yang perlu diketahui mengenai peradilan anak berdasarkan wawancara hukumonline dengan Dosen Peradilan Anak Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Heru Susetyo, Rabu (20/7).

Pertama, UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak mengandung prinsip restorative justice. Keadilan restorative semakin menekankan adanya diskresi dan penanganan kasus anak. “Istilah ini juga jauh berubah, sekarang ABH (Anak Berhadapan Dengan Hukum). Sedangkan dahulu anak pidana, anak negara. UU No.11 Tahun 2012 menegaskan istilah yang berubah anak negara, anak sipil, anak saksi, dan anak korban.

Kedua, anak dianggap bukan sebagai penjahat tetapi sebagai korban. Ketika anak berhadapan dengan hukum, walaupun dia terpidana maka si anak tetap dikatakan sebagai korban. Sehingga lebih ke arah pembinaan.

“Anak tidak kita anggap sebagai pelaku, tetapi korban sehingga harus direhabilitasi. Misalnya, mereka juga merupakan korban keluarga, kemiskinan, korban sistem, dan lain-lain. Dan dia dianggap tidak capable sehingga dianggap sebagai victim. Hal ini dapat dilihat, misalnya di ruangan sidang lebih funky, lebih lembut, lebih lunak. Selain itu, hakim untuk memeriksa dan memutus juga tidak menggunakan toga, tetapi menggunakan batik atau safari,” jelasnya.

Ketiga, Lapas berubah fungsi menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Lembaga sekarang bukan lembaga dengan paradigma pemidaan. Sejatinya, ada tiga jenis penghukuman yaitu pemidanaan, pembalasan, dan pencegahan. Sedangkan hukuman untuk anak adalah semangat rehabilitasi.

“Ketika anak dimasukkan ke penjara adalah semangat pembinaan (lembaga pembinaan khusus anak). Namun, sayangnya di lapangan tidak seperti teori, karena ternyata untuk merubah mindset, merubah bangunan fisik, dan merubah fasilitas juga merupakan hal yang sulit. Mindset orang yang bekerja di lapas masih penghukuman, selain itu kurikulum akademik di fakultas hukum juga masih kurikulum pemidanaan,” jelas Heru.

Heru sendiri mengaku pernah mewawancara salah satu Ketua Lapas di Jawa Barat yang hasilnya bukan hal yang mudah mengubah mindset. Selain itu, dari segi fasiltas juga belum mendukung. Sejauh ini baru ada 16 lapas anak di Indonesia, sedangkan kondisinya over crowded.

“Kalau lapas cuma ada 16 maka yang ada over crowded. Kalau kepenuhan maka akan dikirim ke lapas dewasa, yang perempuan ditaruh di rutan salemba karena anggaran yang terbatas,” katanya.

Menurut Heru, restorative justice bisa memudahkan negara dalam mengelola. Bila di penjara lebih lama, anak bukan menjadi lebih baik, tetapi sebaliknya. Oleh sebab itu, Lapas bukanlah tempat terbaik untuk anak.

“Perdamaian darinya jadi ke arah pemulihan, pidana akan menimbulkan penderitaan. Korban dan perilaku untuk bersama-sama untuk melakukan pemulihan. Dia tetap bertanggungjawab, tapi tidak berupa harus dihukum penjara, bisa dikasih diskresi menjadi kerja sosial ataupun pamasyarakatan. Tapi ada kejahatan yang tidak bisa didiskresi, misalnya pembunuhan atau pemerkosaan,” tutur Heru.

Keempat, anak yang sudah dijatuhi vonis tetap melanjutkan pendidikan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Heru menceritakan, setiap mengantar mahasiswa ke rutan anak di Tanggerang, anak-anak di Lapas tersebut masih melanjutkan sekolah. Ketika ujian maka anak tersebut akan dititipkan ke sekolah-sekolah negeri setempat.

“Intinya kalau dari segi pardigma sudah lumayan baik dan baik secara mindset, ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mengubah mindset membalas menjadi membina tidak bisa mudah seperti itu,” tuturnya.

Tags:

Berita Terkait