Empat Alasan Bab Tindak Pidana Khusus dalam RKUHP Minta Dicabut
Berita

Empat Alasan Bab Tindak Pidana Khusus dalam RKUHP Minta Dicabut

Banyak perubahan ketentuan yang harus dilakukan daripada sekedar menduplikasi tindak pidana dan mengubah pendekatan penanggulangan masalah yang sudah lebih kontekstual pengaturannya pada UU sektoral.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Konfrensi pers Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta pencabutan tindak pidana khusus dari RKUHP, Minggu (3/6) di Jakarta. Foto: RFQ
Konfrensi pers Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta pencabutan tindak pidana khusus dari RKUHP, Minggu (3/6) di Jakarta. Foto: RFQ

Panitia Kerja (Panja) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di DPR bersama pemerintah telah menyepakati bab tindak pidana khusus. Terdapat 14 jenis tindak pidana khusus yang ditarik ke dalam RKUHP. Mulai kejahatan narkotika, kejahatan siber, pencucian uang, korupsi, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, lingkungan hidup, hingga kejahatan terhadap anak.  

 

Namun, sejak awal kesepakatan mengundang ketidaksetujuan dari kalangan masyarakat sipil, khususnya Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Analis Gender Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Arinta Dea mengatakan ada empat alasan agar bab tindak pidana khusus dari RKUHP dicabut.  

 

Pertama, diskresi aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal pidana dikhawatirkan Semakin besar. Belum lagi, terdapat penyesuaian sanksi pidana di masing-masing tindak pidana utama dalam RKUHP dengan UU asal. Kedua, adanya inkonsistensi pembuat UU dalam menentukan 14 jenis tindak pidana khusus yang masuk dalam RKUHP. Padahal jenis tindak pidana khusus yang berada di luar KUHP berjumlah 22 jenis.

 

Ketiga, rumusan ketentuan tindak pidana khusus dalam RKUHP belum memperhatikan elemen gender. Padahal, seyogyanya hukum Indonesia dapat mengakui, melihat dan memahami keterlibatan perempuan dalam sebuah tindak pidana khusus. Keempat, masih terdapat penolakan dari berbagai lembaga terkait dimasukannya jenis tindak pidana khusus ke dalam RKUHP.

 

Misalnya penolakan dari KPK, Komnas HAM, dan BNN. Karena itu, pembahasan dan pengesahan RKUHP tidak dilakukan terburu-buru. Apalagi RKUHP “dikebut” bakal disahkan pada Agustus 2018 mendatang. “Penolakan tersebut hendaknya dibaca sebagai penyangkalan atas pernyataan DPR dan pemerintah bahwa RKUHP hampir rampung,” ujarnya di kantor ICW di Jakarta, Minggu (3/6/2018).

 

Koordinator advokasi Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) Alviana Qisti permasalahan narkotika bersifat kompleks dan dinamis. Karena itu pendekatannya pun tidak melulu berorientasi pada pemidanaan, tetapi lebih pada kesehatan masyarakat yakni rehabilitasi terhadap para penguna. Sedangkan RKUHP pendekatan yang digunakan lebih ke pemenjaraan. Seharusnya, pendekatan rehabilitasi yang digunakan dalam RKUHP juga sebagai penghukuman.

 

Menurutnya, RKUHP masih memuat pasal karet yang diadopsi langsung dari UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Padahal bila melihat UU 35/2009 masih banyak terdapat ketimpangan. Ironisnya, pengaturan narkotika dalam RKUHP bakal kembali pada pendekatan pemidanaan yang juga menghilangkan banyak pendekatan yang ‘dimasukan’ dalam pengaturan pidana.

Tags:

Berita Terkait