Saya pegawai di salah satu perusahaan dan beragama Islam. Bersama teman-teman muslim yang lain ingin mengajukan agar kantor saya membangun musala. Karena untuk menjalankan salat lima waktu saja harus di wilayah tangga darurat, padahal kantor saya terkenal dan revenue atau pendapatana perusahaan juga selalu tinggi, tapi ibadah saja susah. Apakah karena perusahaan tempat kami bekerja mayoritas nonmuslim? Adakah dasar hukum yang mendasari agar kantor menyediakan musala? Apa yang harus dilakukan jika atasan tidak menyediakan fasilitas tersebut? Apakah ada langkah hukum yang dapat diambil jika atasan melarang beribadah?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Hak untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing secara mendasar telah diatur di dalam Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 UUD 1945 serta Pasal 22 UU HAM.
Adapun, dalam konteks Anda sebagai karyawan, hak untuk beribadah dan mendapatkan fasilitas beribadah di kantor diatur di dalam UU Ketenagakerjaan. Apabila kantor melarang karyawan untuk beribadah ataupun tidak menyediakan tempat ibadah, maka dapat dikenai sanksi pidana.
Lantas, langkah hukum apa yang dapat dilakukan oleh karyawan untuk mendapatkan haknya tersebut?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul yang Dasar Hukum Penyediaan Tempat Ibadah di Kantor yang dibuat oleh Dimas Hutomo, S.H., dan pertama kali dipublikasikan pada 17 Juni 2019.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihatPernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung denganKonsultan Mitra Justika.
Hak untuk Menjalankan Ibadah bagi Karyawan
Menjalankan ibadah adalah kewajiban bagi individu yang memeluk agama atau keyakinan. Sehingga, menghormati dan memberikan hak orang lain untuk beragama dan beribadah merupakan hal dasar yang harus dilakukan.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Hak untuk beragama dan beribadah bagi setiap individu merupakan amanat konstitusi sebagaimana termaktub dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi
Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Selain itu, hak untuk beragama dan beribadah juga diatur di dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing dijamin pula di dalam Pasal 22 UU HAM.
Dalam konteks sebagai pekerja atau karyawan, Pasal 80 UU Ketenagakerjaan menjamin hak untuk beribadah bagi karyawannya yang berbunyi sebagai berikut:
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Atas dasar ketentuan tersebut, lantas, apakah setiap kantor atau perusahaan wajib menyediakan tempat beribadah bagi karyawannya?
Aturan untuk Menyediakan Tempat Ibadah di Kantor
Berdasarkan Pasal 80 UU Ketenagakerjaan sebagaimana disebutkan di atas, diatur bahwa pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada karyawan untuk beribadah yang diwajibkan agamanya.
Dalam Penjelasan Pasal 80 UU Ketenagakerjaan, diterangkan bahwa yang dimaksud dengan kesempatan secukupnya yaitu menyediakan tempat untuk melaksanakan ibadah yang memungkinkan pekerja/buruh dapat melaksanakan ibadahnya secara baik, sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan.
Lebih lanjut, dalam ketentuan Pasal 100 ayat (1) UU Ketenagakerjaan juga disinggung mengenai kewajiban pengusaha/perusahaan untuk menyediakan tempat ibadah, yaitu:
Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.
Fasilitas kesejahteraan yang dimaksud dalam ketentuan tersebut antara lain pelayanan keluarga berencana, tempat penitipan anak, perumahan pekerja/buruh, fasilitas beribadah, fasilitas olah raga, fasilitas kantin, fasilitas kesehatan, dan fasilitas rekreasi.[1]
Jika diamati dengan seksama, pasal tersebut dengan tegas mengatur bahwa pengusaha harus memastikan tersedianya tempat ibadah. Terlebih lagi, dengan pendapatan perusahaan Anda yang tinggi setiap tahunnya, menunjukkan bahwa secara finansial dan kapasitasnya, perusahaan seharusnya mampu menyediakan fasilitas tempat ibadah di kantor.
Sanksi Jika Kantor Tidak Menyediakan Tempat Ibadah
Apabila kantor Anda tidak menyediakan tempat ibadah seperti musala kepada para karyawannya, maka merupakan suatu bentuk tindak pidana kejahatan.[2] Sanksi ini juga mencakup jika ada tindakan atasan atau pihak perusahaan yang melarang karyawannya untuk beribadah.
Kantor atau pengusaha yang tidak menyediakan tempat ibadah bagi karyawan dan bahkan melarang karyawannya untuk beribadah sesuai dengan agama atau keyakinannya, akan dikenakan sanksi berupa pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta.[3]
Langkah Hukum yang Dapat Ditempuh Karyawan
Meskipun secara hukum, tindakan perusahaan Anda yang tidak menyediakan fasilitas tempat ibadah merupakan suatu tindak pidana, namun untuk kepentingan pembangunan tempat ibadah di kantor kami sarankan agar diselesaikan dengan cara kekeluargaan dengan cara musyawarah.
Jika dengan cara musyawarah tidak menemukan titik terang, karyawan dapat melibatkan pihak ketiga, yaitu Dinas Ketenagakerjaan untuk dilakukan mediasi. Hal ini karena dalam kasus Anda, tidak terpenuhinya hak-hak karyawan oleh perusahaan merupakan suatu perselisihan hak, yang dapat ditempuh dengan upaya mediasi.[4]
Selain itu, Anda juga dapat mengadukan masalah ini kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (“Komnas HAM”), karena larangan untuk beribadah dan tidak disediakannya fasilitas ibadah merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (“HAM”) Anda sebagai individu untuk beribadah dengan bebas.
Pelanggaran HAM merupakan perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin dalam UU HAM, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.[5]
Adapun, Komnas HAM merupakan lembaga mandiri yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia. Dalam hal terjadi pelanggaran HAM, setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran HAM kepada Komnas HAM.[6]
Lebih lanjut, jika benar terjadi pelanggaran HAM, maka salah satu fungsi Komnas HAM adalah untuk melakukan mediasi dengan tugas dan wewenang melakukan:[7]
perdamaian kedua belah pihak;
penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli;
pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan;
penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran HAM kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan
penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran HAM kepada DPR untuk ditindaklanjuti.