KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Langkah yang Bisa Dilakukan Karyawan Jika Tidak Mau Dimutasi

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Langkah yang Bisa Dilakukan Karyawan Jika Tidak Mau Dimutasi

Langkah yang Bisa Dilakukan Karyawan Jika Tidak Mau Dimutasi
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Langkah yang Bisa Dilakukan Karyawan Jika Tidak Mau Dimutasi

PERTANYAAN

Istri saya bekerja di sebuah PT di daerah Cikembar, dan sekarang akan dipindah ke PT yang sama di daerah Cimangkok. Karena domisili yang jauh, istri saya keberatan, dan untuk transportasi juga bertambah biaya. Apakah boleh istri saya menolak untuk dipindah, dan langkah apa yang harus ditempuh apabila perusahan melakukan pemindahan secara sepihak? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    KLINIK TERKAIT

    Berhakkah Karyawan BUMN Menolak Mutasi?

    Berhakkah Karyawan BUMN Menolak Mutasi?

    Ā 

    Intisari:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Ā 

    Ā 

    Istri Anda harus melihat kembali ketentuan dalam Peraturan Perusahaan ("PP") tempat ia bekerja atau perjanjian kerja ia dengan perusahaan. Jika memang menolak mutasi dikualifikasikan sebagai ā€œmenolak perintah kerjaā€, atau melanggar perintah kerja, konsekuensinya adalah istri Anda dianggap melanggar PP atau perjanjian kerja.

    Ā 

    Akan tetapi jika mengenai mutasi tidak diatur dalam PP atau perjanjian kerja, maka istri Anda dapat menolak untuk dimutasi. Demikian juga konsekuensi lainnya, istri Anda mempunyai hak memohon pengakhiran hubungan kerja (PHK) alasan telah diperintahkan untuk bekerja di luar dari pekerjaan yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja.

    Ā 

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

    Ā 

    Ā 

    Ā 

    Ulasan:

    Ā 

    Prinsip Penempatan Kerja (Mutasi) Menurut Undang-undang

    Mutasi atau penempatan pekerja ke tempat lain harus memperhatikan berlakunya Pasal 32 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (ā€œUU Ketenagakerjaanā€):

    Ā 

    (1)Ā  Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.

    (2)Ā  Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.

    (3)Ā  Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah.

    Ā 

    Serupa dengan apa yang pernah dijelaskan dalam artikel Bolehkah Karyawan Menolak Penempatan Kerja/Mutasi?, seandainya benar perusahaan akan melakukan mutasi dan istri Anda ingin menolak mutasi tersebut, istri Anda harus melihat kembali ketentuan dalam Peraturan Perusahaan ("PP") atau perjanjian kerja istri Anda dengan perusahaan. Jika memang menolak mutasi dikualifikasikan sebagai ā€œmenolak perintah kerjaā€, atau melanggar perjanjian kerja, konsekuensinya adalah istri Anda dianggap melanggar PP atau perjanjian kerja dan dapat digugat ke Pengadilan Hubungan Industrial (ā€œPHIā€).

    Ā 

    Langkah yang Dapat DilakukanĀ 

    Namun, sebelumnya istri Anda dapat mengupayakan cara kekeluargaan dengan menyampaikan latar belakang dari keberatan istri Anda untuk dimutasikan ke tempat lain karena alasan biaya transportasi yang besar. Upaya awal yang dapat Anda lakukan adalah melalui perundingan bipartit.

    Ā 

    Jika istri Anda keberatan dimutasi karena alasan bertambah besarnya biaya transportasi, istri Anda dapat mengajukan keberatan atau setidaknya meminta dipenuhinya hak istri Anda seperti penambahan uang transportasi. Hal ini karena sudah menjadi kewajiban pemberi kerja dalam penempatan kerja untuk memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.[1]

    Ā 

    Berkaitan dengan apa yang Anda sampaikan, di Hukumonline pernah ada berita berjudul Menolak Mutasi Berarti Menolak Perintah Kerja. Di dalam berita tersebut diceritakan soal seorang pekerja (Bambang Prakoso) yang diputus hubungan kerjanya (di-PHK) oleh Bank Mega karena menolak mutasi. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa Majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta mengabulkan gugatan PHK yang dilayangkan Bank Mega terhadap Bambang Prakoso gara-gara menolak mutasi. Hakim menganggap, menolak mutasi sama dengan menolak perintah kerja. Sehingga tindakan Bambang dapat dikualifikasi mengundurkan diri sesuai Pasal 168 UU Ketenagakerjaan.

    Ā 

    Jika melihat dari putusan hakim di atas, menurut hemat kami, konsekuensinya, tidak ada istilah dimutasi secara sepihak. Hal ini karena sifat mutasi itu yang merupakan perintah perusahaan dan hubungan kerja itu terdiri dari unsur pekerjaan, upah, dan perintah.[2] Jika istri Anda keberatan dimutasi karena alasan bertambah besarnya biaya transportasi, istri Anda dapat mengajukan keberatan atau setidaknya meminta dipenuhinya hak istri Anda seperti penambahan uang transportasi.

    Ā 

    Melakukan Pekerjaan di Luar yang Diperjanjikan

    Namun, pendapat berbeda disampaikan oleh Umar Kasim dalam artikel Bolehkah Pengusaha Merotasi Karyawan Secara Sepihak?. Menurut Umar, sah-sah saja penolakan mutasi asalkan memang sebelumnya tidak ada klausul penyimpangan dalam perjanjian kerja berkenaan mutasi itu. Bilamana pengusaha memaksa melakukan mutasi tanpa adanya persetujuan pihak lainnya (karyawan), maka menurut Umar, kemungkinan yang bisa terjadi, antara lain adalah bahwa pelaksanaan mutasi (tanpa kesepakatan) dapat diartikan sebagai pengusaha telah memerintahkan karyawan untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan, sementara karyawan hanya bersedia bekerja sesuai dengan isi perjanjian kerja.[3]

    Ā 

    Konsekuensinya, lebih lanjut menurut Umar, jika karyawan menolak, bisa menjadi perselisihan hak (norma) bilamana karyawan tetap bertahan pada pendiriannya. Demikian juga konsekuensi lainnya, karyawan mempunyai hak memohon pengakhiran hubungan kerja (PHK) sesuai dengan ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf e UU Ketenagakerjaan dengan alasan karyawan telah diperintahkan untuk bekerja di luar dari pekerjaan yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja.

    Ā 

    Jika istri Anda bekerja di luar yang diperjanjikan akibat mutasi, karena diatur di dalam PP, Perjanjian Kerja, atau Perjanjian Kerja Bersama, maka apabila ada perselisihan di antara buruh dan pengusaha mengenai mutasi sepihak, perselisihan tersebut termasuk dalam perselisihan hak.

    Ā 

    Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[4]

    Ā 

    Soal langkah hukum, Anda sebagai pekerja dapat menempuh upaya bipatrit, yaitu membicarakan secara musyawarah terlebih dahulu mengenai masalah ini antara pengusaha dan pekerja.[5]

    Ā 

    Penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus diselesaikan paling lambat 30 hari sejak tanggal dimulainya perundingan.[6] Apabila perundingan bipartit ini gagal atau pengusaha menolak berunding, maka penyelesaian kemudian ditempuh melalui jalur tripartit yaitu mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.[7]

    Ā 

    Nantinya, pekerja dan pengusaha ditawarkan upaya penyelesaian perselisihan. Untuk perselisihan hak, upaya penyelesaian perselisihan yang dapat dipilih salah satunya adalah Mediasi Hubungan Industrial.

    Ā 

    Mediasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.[8]

    Ā 

    Dalam hal penyelesaian melalui mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.[9] Namun kami tetap menekankan agar istri Anda dan pengusaha dapat mengedepankan upaya perdamaian.

    Ā 

    Oleh karena itu, istri Anda sebaiknya mencermati isi dari PP atau perjanjian kerja di kantornya untuk bisa menyimpulkan apakah mutasi itu memang perintah perusahaan yang wajib ia taati atau mutasi itu diputuskan di luar perjanjian sehingga istri Anda berhak menolak.

    Ā 

    Contoh Kasus

    Sebagai contoh kasus dapat kita lihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 698 K/Pdt.Sus/2012. Pemohon Kasasi/Penggugat di sini adalah seorang karyawan yang telah melaksanakan kewajibannya dengan baik selama bertahun-tahun pada perusahaan (Termohon Kasasi/Tergugat), namun timbul perselisihan antara keduanya karena adanya mutasi yang dilakukan secara sepihak tanpa adanya penilaian dan kriteria ada kesalahan penggugat apa.Ā  Tiba-tiba perusahaan melakukan mutasi karena pekerja sering tidak masuk kerja karena sakit yang dibuktikan surat keterangan.

    Ā 

    Pekerja dimutasi pada bagian kebersihan dengan menarik gerobak terbuat dari besi yang awalnya pekerjaan itu dilakukan biasanya dengan 5 orang dengan dibantu seorang tenaga kerja pria yang kemudian dikurangi oleh Tergugat hanya 3 orang karyawati saja. Kemudian tanpa diawali adanya teguran, pemberitahuan sama sekali karena Penggugat karena sering

    tidak masuk karena benar-benar sakit, ia dimutasi sepihak dan diskorsing.

    Ā 

    Atas hal-hal di atas, pekerja tidak keberatan untuk diputus hubungan kerjanya. Akhirnya, Hakim menyatakan bahwa Tergugat melanggar UU Ketenagakerjaan. Hakim juga menyatakan Hubungan Kerja antara Penggugat dan Tergugat putus, menghukum Tergugat membayar hak-hak Penggugat sebesar Rp 30.553.200,00 (tiga puluh juta lima ratus lima puluh tiga ribu dua ratus Rupiah), dan menghukum Tergugat membayar upah skorsing kepada Penggugat.

    Ā 

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Ā 

    Dasar Hukum:

    1.Ā Ā Ā  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

    2.Ā Ā Ā  Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.

    Ā 

    Putusan:

    Putusan Mahkamah Agung Nomor 698 K/Pdt.Sus/2012.



    [1] Pasal 35 ayat (3) UU Ketenagakerjaan

    [2] Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan

    [3] Pasal 169 ayat (1) huruf e jo. Pasal 93 ayat (2) huruf f jo. Pasal 54 ayat (1) huruf c dan d UU Ketenagakerjaan

    [4] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (ā€œUU PPHIā€)

    [5] Pasal 3 ayat (1) UU PPHI

    [6] Pasal 3 ayat (2) UU PPHI

    [7] Pasal 4 ayat (1) UU PPHI

    [8] Pasal 1 angka 11 UU PPHI

    [9] Pasal 5 UU PPHI

    Tags

    mutasi

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Hitung Pesangon Berdasarkan UU Cipta Kerja

    18 Agu 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!