5 Strategi Pra Arbitrase yang Harus Dipahami
Berita

5 Strategi Pra Arbitrase yang Harus Dipahami

Salah satunya adalah memperhatikan batas waktu atau daluarsa sesuai UU ataupun kontrak.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Webinar Hukumonline dengan tema Tata Cara Persidangan dalam Singapore International Arbitration Centre (SIAC) dan Praktik Pelaksanaan Putusannya di Indonesia, Selasa (27/10). Foto: RES
Webinar Hukumonline dengan tema Tata Cara Persidangan dalam Singapore International Arbitration Centre (SIAC) dan Praktik Pelaksanaan Putusannya di Indonesia, Selasa (27/10). Foto: RES

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Di Indonesia, penyelesaian sengketa secara arbitrase diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Bagi para pihak yang berperkara, sebelum memutuskan untuk membawa perkara ke tingkat arbitrase, ada baiknya mempersiapkan beberapa hal penting yang mungkin kerap terlupa. Menurut Kendista Wantah selaku Counsel dari SIAC, terdapat lima poin penting yang harus diperhatikan oleh pemohon sebelum membawa perkara ke arbitrase internasional.

Pertama, batas waktu pengajuan arbitrase menurut isi kontrak dan undang-undang yang berlaku. Kendista mengingatkan kepada pemohon arbitrase untuk melakukan pengecekan apakah ada batas waktu permohonan perkara ke arbitrase sesuai undang-undang/kontrak. Dengan mengetahui batas waktu, maka pemohon bisa mempersiapkan strategi dengan baik. (Baca Juga: Mengenal Keunggulan Proses Beracara di SIAC)

“Perlu cek apakah ada batas waktu, kita harus cek kontrak atau UU-nya apakah ada dalusarsa, apalagi kalau merujuk ke hukum asing, takutnya ada daluarsa, kira-kira persisnya berapa lama jangka waktunya, dengan demikian bisa menyusun strategi dengan baik. Misalnya ada batas waktu selama 60 hari, maka bisa dilakukan negosiasi dahulu, kalau 60 hari enggak ketemu (kesepakatan) baru bisa mempertimbangkan arbitrase,” katanya dalam Hukumonline Bootcamp 2020 dengan topik "Tata Cara Persidangan dalam Singapore International Arbitration Centre (SIAC) dan Praktik Pelaksanaan Putusannya di Indonesia", Selasa, (27/10).

Terkait hal ini, Senior Partner dari Assegaf Hamzah & Partners (AHP) dan Member dari SIAC Court of Arbitration, Eri Hertiawan, mengatakan bahwa persoalan formalitas seperti masa daluarsa tersebut tak bisa diabaikan. Pasalnya, banyak permohonan yang berakhir dengan NO karena formalitasnya tak terpenuhi, termasuk perkara yang diselesaikan di arbitrase.

“NO atau tidak dapat diterima, hanya memeriksa dan merujuk kepada hal-hal formalitas, tidak masuk pokok perkara, karena formal tidak terpenuhi maka permohonan arbitrase-nya NO atau dalam Bahasa pengadilan di Indonesia tidak dapat diterima,” tambahnya.

Kedua, memperhatikan persoalan surat menyurat sebelum arbitrase. Kendista menyebut bahwa perlu memperhatikan apakah perlu ada surat menyurat sebelum arbitrase dimulai. Ketiga, memahami prasayat sebelum permohonan arbitrase. Keempat, melakukan mediasi atau settlement, dan kelima adalah memperhatikan apakah ada perintah untuk menangani arbitrase.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait