Ada Kegelisahan Penegakan Hukum Perlindungan Anak
Berita

Ada Kegelisahan Penegakan Hukum Perlindungan Anak

Upaya korban menggugat pelaku kekerasan seksual terhadap anak perlu didorong.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Ketua KPAI, Asrorun Ni’am Sholeh (kiri) dan Kepala Divisi Pidana LBH Mawar Sharon, Primayvira Limbong (kanan) dalam acara diskusi
Ketua KPAI, Asrorun Ni’am Sholeh (kiri) dan Kepala Divisi Pidana LBH Mawar Sharon, Primayvira Limbong (kanan) dalam acara diskusi "Ngopi Bareng Kumi", Rabu (7/5). Foto: RES
Revisi Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA) menjadi salah satu ide di tengah maraknya kasus kekerasan seksual yang menimpa anak. Kepolisian menerima banyak laporan dari masyarakat yang anggota keluarganya menjadi korban pelecehan seksual. Setelah kasus di Jakarta International School (JIS) terungkap, kasus sejenis banyak terungkap. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menetapkan status darurat perlindungan anak.

Agar kasus serupa tak terulang, KPAI memandang perlu memikirkan langkah-langkah yang menimbulkan efek jera kepada pelaku atau kepada orang yang berpotensi menjadi pelaku.

Komisioner KPAI, Asrorun Ni’am Sholeh, melihat urgensi tanggap cepat pemerintah untuk mengatasi maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Terutama langkah aparat penegak hukum untuk memastikan penegakan hukum dalam kasus semacam ini bisa berjalan maksimal. Kepada pelaku harus ada efek jera. Ironisnya, meskipun ancaman hukuman sudah maksimal 15 tahun, aparat penegak hukum masih belum memaksimalkannya. Walhasil, ada kegelisahan penegakan hukum perlindungan anak.

“Ada kegelisahan dalam penegakan hukum, meskipun sudah ada hukuman maksimal 15 tahun penjara, tapi jarang diterapkan. Dan kalaupun diterapkan, tidak impas atas perbuatan yang dilakukan,” kata Asrron dalam diskusi yang diadakan di hukumonline, Rabu (07/5) lalu.

Presiden SBY juga sudah meminta agar aparat penegak hukum menjatuhkan sanksi berat kepada pelaku agar ada efek jera.  Salah satunya, melakukan revisi terhadap UU Perlindungan Anak.

Rencana revisi UU PA, kata Asrorun, sudah dibicarakan KPAI dengan Komisi VIII dan Badan Legislasi (Baleg) DPR. KPAI juga sudah menyusun draf revisinya. Revisi ini antara lain untuk memperkuat sanksi. “Hukuman yang berat kepada pelaku di ujung, namun juga harus disumbat di awal,” ungkapnya.

Ia menilai, maraknya kasus pelecehan seksual terhadap anak, dapat terjadi bukan karena faktor longgarnya hukum di Indonesia. Tetapi juga paparan pornografi dan cyber crime, longgarnya pengawasan keluarga dikarenakan kesibukan serta hubungan emosional antara ibu dan anak yang juga sangat longgar. “Yang perlu diperhatikan itu faktor awalnya. Problemnya sekarang, diserahkan ke penegak hukum, namun tidak ada langkah proaktif,” jelas Asruron.

Dengan adanya revisi UU PA, lanjutnya, bukan hanya persoalan proteksi yang nantinya akan diatur, tetapi juga lebih kepada mengisi dan pemenuhan hak dasar anak. Asruron juga menuturkan pentingnya perlindungan khusus serta perspektif pendidikan yang harus segera diperbaiki.

“Perspektif pendidikan juga harus dbongkar. Tidak sekadar kognitif saja atau fisik sekolah, tetapi harus ada value di sana. Value  di lingkungan sekolah penting untuk memberikan proteksi,” tuturnya.

Kepala Divisi Pidana LBH Mawar Sharon, Primayvira Limbong, menilai banyak hal yang luput saat menangani kasus pelecehan seksual terhadap anak. Sebagai salah satu lembaga bantuan hukum yang kerap memberikan dampingan kepada korban, ia mengatakan kepentingan hak anak menjadi bagian yang tidak dipenuhi dalam hal ini. Proses pengadilan hanya fokus kepada pelaku. “Yang luput selama ini adalah kepentingan hak anak. Bagaimana pemenuhannya?”

Vira –begitu Primavyra biasa disapa-- mendukung  revisi UU PA. Tetapi revisi juga harus dapat memberikan kepastian upaya rehabilitasi dan upaya pemenuhan perlindungan saksi dan korban. Saat ini, lanjutnya, UU PA masih mengambang. UU PA tidak memberikan ruang kepada korban tidak bisa melakukan gugatan kepada pelaku, seperti yang diterapkan di luar negeri. “UU kita belum berani. Kalau di luar, korban bisa melakukan gugatan kepada pelaku,” ungkapnya.

Vira berpendapat revisi UU PA harus menjamin adanya pemenuhan atas hak pendidikan, pemenuhan atas hak penempatan permanen, dan pemenuhan atas hak pemulihan psikologis. Vira sepakat dengan pemberian hukuman yang berat kepada pelaku. Namun ia mengingatkan, penentuan hukuman jangan diambil dalam situasi emosional. Untuk saat ini, ia berharap adanya reaksi yang cepat dari kepolisian untuk menangani masalah ini, mulai dari penyelamatan hingga proses hukum. “Sampai saat ini, tidak ditemui adanya reaksi cepat atas kasus pelecehan seksual anak oleh pihak kepolisian,” pungkasnya.
Tags: