Akhirnya… MK Larang Jaksa Ajukan PK
Utama

Akhirnya… MK Larang Jaksa Ajukan PK

Pemohon berharap putusan ini bisa mengakhiri beragam pendapat di kalangan akademisi dan praktisi hukum mengenai boleh atau tidaknya pengajuan PK oleh Jaksa.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul membacakan pendapat Mahkamah dalam sidang putusan Pengujian Undang-Undang tentang KUHAP, Kamis (11/5) di Ruang Sidang Pleno MK. Foto: Humas MK
Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul membacakan pendapat Mahkamah dalam sidang putusan Pengujian Undang-Undang tentang KUHAP, Kamis (11/5) di Ruang Sidang Pleno MK. Foto: Humas MK
Akhirnya, polemik boleh atau tidaknya jaksa mengajukan peninjauan kembali (PK) berakhir di ujung palu Mahkamah Konstitusi (MK). Lewat uji materi Pasal 263 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimohonkan Anna Boentaran, istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko S Tjandra senilai 904 miliar. MK menyatakan Jaksa Penuntut Umum tidak bisa mengajukan permohonan PK, kecuali terpidana atau ahli warisnya.    

“Mengabulkan permohonan Pemohon, Pasal 263 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit (tegas) tersurat dalam norma a quo,” ucap Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan bernomor No. 33/PUU-XIV/2016 di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Kamis (12/5).

Pasal 263 ayat (1) KUHAP berbunyi “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”

Anna Boentaran, lewat kuasa hukumnya, mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 263 ayat (1) KUHAP lantaran kasus yang dialami suaminya dinilai tidak adil. Awalnya, Djoko diputus bebas oleh PN Jakarta Selatan hingga tingkat kasasi pada tahun 2001. Alasannya, perbuatan yang didakwakan bukan tindak pidana, tetapi lingkup perbuatan perdata. Selang 8 tahun kemudian, Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan PK atas putusan kasasi yang membebaskan Djoko Tjandra ini pada 2008.

Pada 2009, majelis PK memvonis Djoko selama 2 tahun penjara karena dinilai turut serta melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu, Djoko harus membayar denda Rp15 juta dan merampas uang sebesar Rp45 miliar yang berada di Bank Bali untuk dikembalikan ke negara.Namun sebelum dijebloskan ke penjara (eksekusi), Djoko kabur meninggalkan Indonesia ke Papua Nugini pada 10 Juni 2009. Djoko dikabarkan menjadi warga negara Papua Nugini dan mengubah namanya menjadi Joe Chan.

Pemohon merasa dirugikan sebagai ahli waris Djoko Tjandra atas pengajuan PK diajukan Jaksa tersebut. Pemohon menganggap pasal 263 ayat (1) KUHAP seharusnya dimaknai hanya terpidana dan ahli warisnya yang diberikan hak mengajukan PK. Intinya, Pemohon meminta agar Pasal 263 ayat (1) KUHAP ditafsirkan bahwa permohonan PK hanya bisa diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.

Dalam putusannya, Mahkamah menegaskan rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHAP setidaknya memuat empat landasan pokok. Pertama, PK hanya diajukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, PK tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan. Ketiga, permohonan PK hanya dapat diajukan terpidana atau ahli warisnya. Keempat, PK hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan.

“Esensi landasan filosofis lembaga PK ini ditujukan untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya sebagai bentuk perlindungan HAM, bukan kepentingan negara atau korban. Kalau esensi ini dihapus tentu lembaga PK akan kehilangan maknanya dan tidak berarti,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto saat membacakan pertimbangan putusan.

Lagipula, putusan MK No. 16/PUU-VI/2008 terkait pengujian UU Kekuasaan Kehakiman sudah disinggung Pasal 263 ayat (1) KUHAP dianggap jelas bahwa pengajuan PK hak terpidana atau ahli warisnya, bukan hak jaksa penuntut umum dalam perkara pidana. “Jika Jaksa masih tetap diberikan hak mengajukan PK, padahal sudah diberi hak mengajukan upaya hukum biasa (banding dan kasasi), justru menimbulkan ketidakpastian hukum sekaligus tidak berkeadilan,” tegasnya.

Karena itu, dipandang penting menegaskan kembali Pasal 263 ayat (1) KUHAP konstitusional sepanjang tidak dimaknai lain selain dimaknai PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dan tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas atau lepas. Sebab, pemaknaan berbeda pasal itu justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang menjadikan inkonstitusional.

Praktiknya, lanjut Aswanto, MA masih menerima permohonan PK yang diajukan Jaksa terlepas dikabulkan atau ditolak. Kondisi ini telah menimbulkan silang pendapat di kalangan akademisi dan praktisi hukum apakah Jaksa berhak mengajukan PK atas putusan bebas atau lepas yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. “Demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah menegaskan kembali norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP menjadi inkonstitusional jika dimaknai lain.”

Kuasa hukum pemohon, Muhammad Ainul Syamsu mengapresiasi putusan MK ini. Dengan begitu, kata dia, putusan ini sekaligus mengakhiri perdebatan boleh atau tidaknya Jaksa mengajukan PK terhadap putusan inkracht. Sebab, secara filosofis pengajuan PK sedari awal ditujukan melindungi kepentingan terpidana atau ahli warisnya, bukan kepentingan negara yang diwakil lembaga kejaksaan, korban, atau pihak lain.

“Intinya, karena Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak menyebut Jaksa atau pihak lain yang berhak mengajukan PK, maka dipandang sebagai larangan pengajuan PK,” kata Ainul Syamsu di gedung MK.

Dia berharap putusan ini bisa mengakhiri beragam pendapat di kalangan akademisi dan praktisi hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat) mengenai boleh atau tidaknya pengajuan PK oleh Jaksa. Sebab, selama ini penerapan Pasal 263 ayat (1) KUHAP ditafsirkan berbeda-beda aparat penegak hukum. “Makanya, MK memandang perlu mengakhiri silang pendapat tersebut dengan menegaskan Jaksa Penuntut Umum tidak boleh mengajukan PK,” katanya.
Tags:

Berita Terkait