Arbitrase Diprediksi Tak Meningkat Tajam Selama MEA
Berita

Arbitrase Diprediksi Tak Meningkat Tajam Selama MEA

Singapura menjadi tempat favorit penyelesaian sengketa perdagangan internasional.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Associate Professor National University of Singapore, Prakash Pillai. Foto: RES
Associate Professor National University of Singapore, Prakash Pillai. Foto: RES

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) memang membuka keran perpindahan tenaga kerja, barang, dan jasa. Namun, kenyataannya pasar bebas kawasan Asia Tenggara itu tak akan memberi dampak signifikan terhadap pertumbuhan perdagangan. Sekalipun terjadi peningkatan, hanya sedikit. Hal itu diungkapkan Legal Director kantor hukum Clyde & Co asal Singapura, Sapna Jhangiani kepada hukumonline di sela-sela acara International Arbitration Conference di Jakarta, Selasa (8/3).

Sapna menuturkan, pada dasarnya memang sudah menjadi karakteristik sektor perdagangan bahwa pertumbuhan yang terjadi bersifat sedikit demi sedikit. Sapna mengakui, dimulainya MEA akan membuka peluang terjadinya perdagangan antar negara yang lebih masif di kawasan Asia Tenggara. Hanya saja, menurutnya pertumbuhan itu tak akan mengejutkan.

“Karena memang sektor perdagangan tidak pernah tiba-tiba melonjak drastis. Pasti peningkatan itu terjadi secara bertahap,” ungkap Sapna dalam acara yang diselenggarakan oleh Kantor Hukum Lubis Ganie Surowidjojo dan Clyde & Co itu.

Perempuan yang sebelumnya lama menetap di Dubai itu pun melanjutkan, perdagangan internasional selama MEA akan juga berpengaruh terhadap sektor hukum. Terutama, menurutnya berkaitan dengan alternatif penyelesaian sengketa. Sapna melihat, saat ini tren mediasi dan arbitrase sebagai upaya penyelesaian sengketa telah banyak dipilih oleh pelaku usaha.

Di kawasan Asia Tenggara, Sapna menilai peningkatan tren it uterus terjadi. Hal ini menurutnya akan semakin menguat seiring dengan pelaksanaan MEA. Terlebih lagi, kawasan Asia Tenggara menurut Sapna juga telah memiliki salah satu pusat arbitrase maupun mediasi internasional yang berkelas.

“Saya melihat Singapura bisa menjadi pilihan sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa perdagangan antar negara. Pusat mediasi internasional maupun arbitrase internasional di Singapura kelihatannya telah siap dengan meningkatkan sengketa selama MEA,” ujar Sapna.

Di sisi lain, Associate Professor National University of Singapore, Prakash Pillai, mengatakan bahwa selama ini kebanyakan sengketa yang dibawa ke pusat arbitrase Singapura (Singapore International Arbitration Center/ SIAC) bukan dari negara Asia Tenggara. Menurut Prakash, sengketa terbanyak berasal dari India. Kemudian, China, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Australia menempati urutan lima terbanyak. Barulah pada posisi ke enam Vietnam, Indonesia, dan Malaysia hadir sebagai negara asal para pihak.

Kendati demikian, Prakash yakin MEA akan membawa dampak tersendiri bagi tren penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan mediasi di Asia Tenggara. Ia optimis, MEA meningkatkan volume perdagangan antar negara di kawasan. Hal ini pun akan berdampak pada semakin banyak sengketa yang akan diselesaikan melalui mediasi maupun arbitrase.

“Kalau dilihat, selama ini memang presentase terbesar sengketa yang diselesaikan melalui arbitrase adalah perdagangan. Tentu adanya MEA akan mempengaruhi pertumbuhan perdagangan di Asia Tenggara. Hal ini sedikit banyak juga akan berdampak pada peningkatan kasus yang dibawa ke hadapan majelis arbitrase,” tuturnya.

Prakash mengingatkan, arbitrase dan mediasi merupakan pilihan yang sangat cocok dalam menyelesaikan sengketa perdagangan antar negara selama MEA berlangsung. Terlebih, ia mengataka keberadaan SIAC di tengah MEA menjadi daya tarik yang lain. Prakash mengatakan, SIAC merupakan salah satu tiga besar pusat arbitrase yang paling banyak dipilih oleh pihak yang bersengketa di seluruh dunia.

“Selama ini sengketa perdagangan banyak diselesaikan di London, Paris, Singapura, Hong Kong, dan Geneva. Artinya, keberadaan SIAC sebagai pusat arbitrase terpercaya yang kebetulan berkedudukan di kawasan Asia Tenggara punya nilai tersendiri,” papar Prakash.

Dia menjabarkan, mengapa Singapura merupakan salah satu tempat favorit untuk menyelesaikan sengketa perdagangan. Pertama, reputasi yang sangat kuat di tengah pelaku usaha di dunia. Ia meyakini bahwa sistem hukum Singapura sangat mendukung pelaksanaan arbitrase internasional. Kemudian, fasilitas yang tersedia di negara itu pun sangat representatif.

Tak kalah penting, menurut Prakash lokasi Singapura yang bisa disebut menempati sentral Asia Tenggara. Selain posisi geografis yang strategis, Prakash mengatakan pula bahwa Singapura terkenal dengan netralitasnya dalam penyelesaian sengketa. Sehingga, para pihak bisa yakin bahwa sengketanya akan diselesaikan dengan bersih dan efisien.

Tags:

Berita Terkait