Bahasa Hukum: ‘Fatwa’ dan ‘Hukum Positif’
Utama

Bahasa Hukum: ‘Fatwa’ dan ‘Hukum Positif’

Kata ‘fatwa’ tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sejumlah kamus hukum, dan thesaurus bidang hukum yang diterbitkan BPHN.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Apa sebenarnya fatwa? Foto ilustrasi: BAS
Apa sebenarnya fatwa? Foto ilustrasi: BAS
Kata ‘fatwa’ tiba-tiba menjadi pusat perhatian orang di pengujung tahun 2016 hingga awal 2017. Istilah ‘fatwa’ dibahas mulai tingkat bawah hingga para elit; diperdebatkan banyak kalangan dan dibahas dengan melibatkan para pakar hukum tata negara, penegak hukum serta ulama. Nyaris tidak pernah ada perhatian yang demikian besar pada fatwa pada tahun-tahun sebelumnya melebihi apa yang terjadi sekarang.

Besarnya perhatian itu tak lepas dari perkara penodaan agama yang kini disidangkan PN Jakarta Utara serta ucapan petinggi negara. Dalam sidang perkara penodaan agama, Penuntut Umum merujuk pada Sikap dan Pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menguatkan uraian surat dakwaan terhadap terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sebaliknya, tim pengacara Ahok menyebut Sikap dan Pandangan MUI bukan hukum positif.

Dalam ceramahnya di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), 19 Desember 2016, Kapolri Jenderal Tito Karnavian juga sempat menyebut Fatwa MUI bukan hukum positif yang bisa dijadikan rujukan oleh polisi untuk menjalankan fungsi penegakan hukum. Kapolri bicara dalam konteks fatwa tentang pakaian karyawan Muslim menjelang Natal. Kini, muncul lagi istilah ‘hukum positif’ yang berhubungan dengan fatwa.

Kalau ditelusuri sebenarnya ‘Sikap dan Pandangan’ MUI tidak sama persis dengan ‘Fatwa’ MUI. Fatwa hanya dikeluarkan oleh satu divisi dari organisasi MUI, yaitu oleh Komisi Fatwa. Sedangkan ‘Sikap dan Pandangan’ dikeluarkan oleh lembaga MUI. Karena itu, yang terakhir ini lebih luas pengertiannya dari fatwa. Dan, yang menjadi pokok perdebatan, adalah fatwa. (Baca juga: Kedudukan Fatwa MUI dalam Hukum Indonesia).

MUI bukan satu-satunya lembaga yang selama ini mengeluarkan produk hukum bernama fatwa. Mahkamah Agung juga bisa mengeluarkan fatwa atas permintaan lembaga negara. Pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (terakhir diubah dengan UU No. 3 Tahun 2009) menegaskan MA dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dengan UU tersebut. Fatwa MA berisi pendapat hukum MA atas sesuatu masalah, yang diberikan atas permintaan lembaga negara. (Baca juga: Kekuatan Hukum Produk-Produk Hukum MA (Perma, SEMA, Fatwa, SKMA).

Pertanyaan awal yang pasti mengemuka: apa sebenarnya arti ‘fatwa’? Dalam bahasa Arab, fatawa diartikan sebagai jawaban atau penjelasan. Dalam setiap fatwa ada  mustafti (peminta fatwa), dan mufti (pemberi fatwa). Dalam bahasa Arab dikenal fata, yaftu, dan fatwan yang berarti muda, baru, penjelasan atau penerangan. Kata mufti berarti orang yang memiliki kekuatan dalam memberikan penjelasan atau penerangan tentang suatu masalah yang dihadapi sebagaimana kekuatan yang dimiliki pemuda pada umumnya.

Lema ‘fatwa’ adalah salah satu contoh serapan dari bahasa Arab, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (versi 2015: 389) lantas diartikan sebagai (i) jawaban (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah; (ii) nasihat orang alim; pelajaran baik, petuah. Kalau disebut ‘memfatwakan’ berarti memberikan fatwa, menasihatkan, memberikan petuah.

Dalam ‘Kamus Hukum’ karya Sudarsono (2009: 127), fatwa diartikan sebagai pendapat atau keputusan dari alim ulama atau ahli hukum Islam. Buku Kamus Hukum karya Charlie Rudyat (tanpa tahun: 177), fatwa diartikan sebagai nasehat, petunjuk, atau keputusan yang disampaikan oleh ahli hukum Islam; jawaban terhadap satu pertanyaan yang diajukan pada seorang ahli di bidangnya yang tidak begitu jelas hukumnya. Dalam Kamus Hukum karya Yan Pramadya Puspa (2008: 241), fatwa disebut juga advice karena ia merupakan nasehat, petunjuk atau keputusan yang disampaikan oleh ahli hukum Islam.

Tesaurus Bidang Hukumyang terbitkan Badan Pembinaan Hukum Nasional (2008: 53) menjelaskan fatwa sebagai jawaban, keputusan, keterangan, nasihat, opini, pelajaran, pendapat, petunjuk. Konsep yang relevan adalah fatwa waris.

Ketua Umum MUI, KH Ma’ruf Amin, dalam makalahnya “Proses Pembentukan dan Dikeluarkannya Fatwa MUI” (2017), menuliskan fatwa merupakan jawaban terhadap problem dan permasalahan yang dihadapi oleh ummat Islam yang semakin hari semakin bertambah kompleks dan beragam. Fatwa merupakan ‘jalan keluar yang memberikan jawaban keagamaan terhadap permasalahan yang muncul’. (Baca juga: Polemik Status Fatwa, Begini Pandangan MUI).

Lema ‘fatwa’ dipakai dalam perundang-undangan Indonesia. Misalnya dalam istilah ‘fatwa peruntukan tanah’ dalam Pasal 30 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun. Penjelasan pasal ini menyebutkan ‘fatwa peruntukan tanah’ (advies planning) adalah suatu keterangan yang memuat lokasi yang dimaksud terhadap lingkungan sekitarnya beserta penjelasan peruntukan tanah dengan perincian  mengenai kepadatan dan garis sempadan bangunan.

Dengan demikian, istilah fatwa ada dalam hukum positif Indonesia sesuai dengan konteksnya. Bahkan fatwa dijadikan sebagai bagian dari konsiderans peraturan perundang-undangan nasional, seperti dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Hukum positif
Istilah hukum positif merujuk pada pengertian hukum yang berlaku saat ini (ius constitutum). Hukum dalam arti luas tak hanya peraturan perundang-undangan, tetapi juga dapat berupa kebiasaan. Bahkan dalam konteks kaidah sosial yang berlaku dalam masyarakat, dikenal kaidah hukum, kaidah agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan. (Baca juga: Arti Ius Constitutum dan Ius Constituendum).

Bagir Manan, dalam bukunya ‘Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik)’, edisi 2004, mengartikan hukum positif (Indonesia) sebagai ‘kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia (hal. 1).

Pengertian ini menekankan frasa ‘pada saat ini sedang berlaku’. Secara keilmuan (rechtwetenschap), pengertian hukum positif diperluas kepada hukum yang pernah berlaku di masa lalu. Secara keilmuan, hukum positif itu memasukkan unsur ‘berlaku pada waktu tertentu dan tempat tertentu’.

Dalam konteks yang lebih sempit Bagir Manan mengartikan hukum positif sebagai hukum yang sedang berlaku atau sedang berjalan, tidak termasuk hukum di masa lalu. Mantan Ketua Mahkamah Agung itu menyimpulkan unsur-unsur hukum positif Indonesia, yakni: (1) pada saat ini sedang berlaku; (2) mengikat secara umum atau khusus; (3) ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan; (4) berlaku dan ditegakkan di Indonesia.

Jika hukum keagamaan dianggap sebagai hukum positif artinya hukum dari agama yang diakui menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan suatu kebijakan Pemerintah yang mengakui semua sistem keyakinan atau sistem kepercayaan yang oleh pengikutnya dipandang sebagai agama.

Setidaknya, menurut Bagir Manan (2004: 32-33), ada tiga cara menyatakan hukum agama menjadi hukum positif. Pertama, mengakui bahwa hubungan atau peristiwa hukum tertentu berlaku hukum agama. Misalnya, pernyataan bahwa perkawinan sah jika dilakukan menurut agamanya masing-masing (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

Kedua, memasukkan atau mentransformasikan asas dan ketentuan agama tertentu ke dalam ketentuan undang-undang. Misalnya, dalam UU Kesejahteraan Anak disebutkan pengangkatan anak tidak memutuskan nasab (hubungan darah dari orang tuanya).

Ketiga, membiarkan hukum agama tertentu berlaku sebagai hukum positif. Misalnya, ketentuan dalam perbankan syariah (UU No. 21 Tahun 2008), atau pada tingkat lokal ada beragam qanun di Aceh. (Baca juga: Pluralisme Hukum di Aceh).

Bahkan menurut Bagir, positivisasi hukum agama bisa juga terjadi karena putusan hakim. Hakim Bismar Siregar, misalnya, dikenal sebagai hakim yang sering mengutip ajaran-ajaran agama para pihak yang bersengketa, dan memuatnya dalam putusan. (Baca juga: Mengenang Bismar: Putusan-Putusan Berona Hati Nurani).
Tags:

Berita Terkait