Beda Hak Keistimewaan Pejabat Diplomatik dan Konsuler
Terbaru

Beda Hak Keistimewaan Pejabat Diplomatik dan Konsuler

Pemberian hak kekebalan dan keistimewaan bagi pejabat diplomatik dan pejabat konsuler dalam Konvensi Wina 1961 dan 1963 hampir sama. Hanya terdapat sedikit perbedaan dalam hak keistimewaan sesuai tingkatan dan fungsi penempatannya.

Oleh:
CR-28
Bacaan 4 Menit
Dosen Luar Biasa FH Unair Triyono Wibowo. Foto: CR-28
Dosen Luar Biasa FH Unair Triyono Wibowo. Foto: CR-28

Ketentuan mengenai hak kekebalan dan hak istimewa seorang pejabat perwakilan negara asing telah disepakati secara Internasional oleh negara-negara di dunia. Tepatnya, telah dituangkan dalam Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik dan Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler.

Kedua konvensi tersebut menjamin akan imunitas dan keistimewaan pejabat perwakilan negara asing (pejabat diplomatik dan konsuler) dalam rangka kelancaran dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dalam hal ini, Indonesia telah meratifikasi konvensi-konvensi tersebut melalui UU Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik dan Konsuler.

“Sebetulnya isi keduanya perihal kekebalan dan keistimewaan bagi pejabat diplomatik dan pejabat konsuler hampir persis sama baik dalam Konvensi Wina 1961 dan 1963. Tidak ada bedanya. Hanya, sedikit perbedaannya di dalam perumusan dan pada gradasi tertentu,” ujar Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Airlangga sekaligus mantan Wakil Menteri Luar Negeri RI (Periode 2008-2011), Triyono Wibowo dalam Online Public Lecture: Diplomatic & Consular Law bertajuk "Kekebalan & Keistimewaan Perwakilan Konsuler: Perkembangan & Studi Kasus Terkini", Selasa (30/11/2021) lalu. (Baca Juga: Keistimewaan Diplomat dan Konsuler di Masa Pandemi)

Berbeda dengan Konvensi Wina 1961 yang hanya memuat 21 pasal mengenai privilege atas immunities, dia menerangkan pada Konvensi Wina 1963 sendiri terdapat kurang lebih 26 pasal. Dimana pasal-pasal itu dipisahkan ke dalam dua bagian utama. Pertama, yang menyangkut kekebalan atau fasilitas yang dimiliki oleh gedung atau kantor konsulat. Kedua, kekebalan dan hak istimewa yang diberikan kepada pejabat konsuler dan keluarganya. 

Dalam pemaparannya, Triyono menjabarkan pada section pertama mengenai kekebalan gedung atau wilayah memiliki batasan yang diberikan. Satu contoh dapat dilihat dalam Pasal 55 ayat (2) Konvensi Wina 1963 yang menyebutkan seluruh konsulat untuk menghormati hukum setempat. Dalam ayat selanjutnya disebutkan gedung konsuler tidak boleh digunakan untuk hal-hal atau kegiatan yang tidak sesuai dengan pelaksanaan tugas konsuler.

Hal ini juga diatur dalam Pasal 41 ayat (3) Konvensi Wina 1961 terkait gedung kedutaan. Suatu kedutaan tidak diperbolehkan untuk digunakan dengan cara apa pun yang tidak sesuai dengan fungsi misi sebagaimana yang telah ditetapkan. Baik dalam Konvensi atau aturan lain dalam hukum internasional, perjanjian khusus yang berlaku antar negara.

Dengan demikian, meski gedung perwakilan negara asing mendapat hak kekebalan, seperti tidak boleh dimasuki orang ataupun petugas keamanan. Tetapi, tidak boleh dipergunakan sebagai tempat untuk melakukan hal-hal yang bertentangan. Sebagaimana telah jelas disebutkan bahwa tetap harus menghormati aturan-aturan hukum atau peraturan lain di negara penerima selama menjalankan fungsinya.

“Tetap kita harus ingat bahwa fungsi dari perwakilan adalah representing, protecting, reporting, dan promoting. Nah di sini saya jelaskan, aspek promoting adalah salah satu tugas dari semua embassy (kedutaan) atau konsulat di seluruh dunia, negara mana saja, untuk mempromosikan hubungan baik, budaya, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan seperti itu bisa dihadirkan dengan kursus bahasa, tari-tarian, musik, semacamnya.”

Fungsi promosi yang disampaikan didasari oleh Pasal 3 huruf (e) Konvensi Wina 1961 dan Pasal 5 huruf (b) Konvensi Wina 1963. Keduanya memandatkan pejabat diplomatik untuk mempromosikan hubungan persahabatan baik antar negara pengirim dengan negara penerima. Sebagai tambahan, bagi pejabat diplomatik juga ditugaskan untuk melakukan promosi dalam rangka mengembangkan hubungan ekonomi, budaya dan ilmiah mereka.

Triyono menegaskan dalam konteks mempromosikan suatu negara, tidak masalah bagi gedung perwakilan negara asing diselenggarakan kegiatan semacam kursus atau acara lainnya yang memungut biaya. Hal itu dikarenakan tagihan ongkos seperti biaya kursus biasanya hanya untuk meng-cover kebutuhan administratif semata dan bukan untuk mencari keuntungan. Bahkan, Kedutaan Indonesia sendiri kerap kali menampilkan produk nasional pada gedung perwakilan.

Dia melanjutkan perihal section kedua tentang imunitas dan keistimewaan pejabat perwakilan negara asing. Menurutnya, tidak begitu banyak perbedaan dalam konteks hak yang diberikan kepada pejabat diplomatik ataupun pejabat konsuler. Hanya saja, yang paling mencolok terletak pada perbedaan hak istimewa yang diberikan.

“Dalam pengalaman saya, memang pejabat diplomatik baik yang diplomatic mission atau yang UN (United Nations/Persatuan Bangsa-Bangsa) mission yang bertugas di New York itu memang berbeda dengan pejabat yang bekerja di konsulat. Kalau hak kekebalannya sama. Dalam hak istimewanya, misalnya di dalam hal perpajakan, kalau berbelanja itu bebas pajak (bagi pejabat diplomatik).”

Ia mencontohkan praktik yang terjadi di Amerika Serikat. Para pejabat perwakilan negara asing akan diberikan kartu identitas diplomatik dengan garis berbeda. Garis biru pada kartu menjadi penanda pejabat diplomatik yang berarti pemegang kartu tersebut akan dibebaskan dari pajak apa pun. Sedangkan, garis merah diperuntukan bagi pejabat konsulat yang tidak seluruhnya bebas dari pajak. Sehingga untuk hal-hal tertentu pemegang kartu bergaris merah (konsulat) harus membayar.

"Itu tadi hanya pembedaan saja ya, tapi prinsipnya sama. Kekebalannya sama, tidak ada bedanya, jadi hanya hak istimewa saja yang berbeda.”

Tags:

Berita Terkait