Begini Kekhususan Pembuktian dalam Perkara TPPO
Utama

Begini Kekhususan Pembuktian dalam Perkara TPPO

Dalam tindak pidana perdagangan orang, proses pembuktian diatur spesifik dalam Pasal 29-40 UU TPPO selain KUHAP.

Oleh:
CR-28
Bacaan 4 Menit
Hakim Agung Kamar Pidana MA, Suharto, saat pemaparan materi pelatihan kerja sama MA dengan IOM dengan topik 'Pembuktian Perkara TPPO' di Novotel Hotel Tangerang City, Rabu (15/12/2021). Foto: CR-28
Hakim Agung Kamar Pidana MA, Suharto, saat pemaparan materi pelatihan kerja sama MA dengan IOM dengan topik 'Pembuktian Perkara TPPO' di Novotel Hotel Tangerang City, Rabu (15/12/2021). Foto: CR-28

Terbitnya UU No.21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam pelaksanaan Protokol Palermo Tahun 2000 yang merupakan instrumen pelengkap dari United Nations Convention against Transnational Organized Crime. UU tersebut ditujukan bagi setiap orang tanpa terkecuali yang melaksanakan perdagangan orang di wilayah NKRI.

Hal ini untuk menyikapi maraknya kasus TPPO yang diperkirakan terjadi atas faktor seperti ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan kesempatan. Ada kecenderungan perkara TPPO yang naik dari tahun ke tahun yang ditangani pengadilan. Selama ini tentang hukum acara yang TPPO yang diterapkan mengacu pada KUHAP, kecuali diatur lain. Dalam tindak pidana perdagangan orang, proses pembuktian diatur spesifik dalam Pasal 29-40 UU TPPO.

“Tetapi nanti kekuatan pembuktian konteksualnya pada hakim yang menentukan,” ujar Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung RI, Suharto, dalam pemaparan materinya pada pelatihan kerja sama MA dengan IOM dengan topik “Pembuktian Perkara TPPO” di Novotel Hotel Tangerang City, Rabu (15/12/2021). (Baca Juga: Ketua Kamar Pidana MA Ini Beberakan Seluk Beluk Penanganan TPPO)

Dia mengatakan pentingnya pemahaman fakta-fakta yang disuguhkan selama persidangan bagi hakim terutama dalam proses pembuktian yang merupakan suatu usaha untuk menunjukkan benar atau tidaknya kesalahan terdakwa. Pembuktian akan menjadi pijakan bagi hakim memberi kepastian atas kebenaran suatu peristiwa sebagaimana pandangan Sudikno Mertokusumo.

"Kita tahu ada teori pembuktian negative wettelijk theory, positive wettelijk theory, keyakinan hakim saja, ada juga keyakinan atas dasar alasan dapat diterima akal sehat. Namun di negara kita, sistem pembuktian pidana itu negative wettelijk theory, dua alat bukti dan keyakinan hakim. Keyakinan itu dibangun atas alat bukti ya bukan intuisi. Barulah nanti hakim sendiri yang akan memiliah relevan atau tidak bukti itu," kata Suharto.

Ketentuan jenis alat bukti sendiri terdiri atas saksi, ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa sesuai Pasal 184 KUHAP. Sedangkan sebagai tambahan dalam perkara perdagangan orang, bukti lain seperti beberapa bukti elektronik sesuai Pasal 29 UU TPPO. Selain itu, pada Pasal 30 UU TPPO dijelaskan keterangan seorang saksi korban sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa jika disertai dengan setidaknya satu alat bukti sah lain yang mendukung.

Pasal 29 UU TPPO

Alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa:

a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada: 1) tulisan, suara, atau gambar; 2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau 3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Tags:

Berita Terkait