Beragam Indikasi Ruang Gerak Kebebasan Sipil Makin Sempit
Utama

Beragam Indikasi Ruang Gerak Kebebasan Sipil Makin Sempit

Indeks demokrasi Indonesia makin turun sejak 2016 dimana Indonesia menempati urutan 48 dari 167 negara dan tahun 2018 merosot ke peringkat 64. Tahun 2020, posisi indeks demokrasi Indonesia masih rendah, berada di peringkat 61. Disarankan organisasi masyarakat sipil merumuskan strategi baru menghadapi potensi menyempitnya ruang partisipasi publik.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Bentuk serangan lain yang dialami warga di ranah digital yakni serangan siber terarah dengan target kelompok berisiko seperti jurnalis, pembela HAM, dan akademisi. Damar mencatat masyarakat yang menolak RUU Cipta Kerja mengalami doxing atau data pribadinya disebar. Kemudian peretasan yang dialami juga kelompok masyarakat sipil seperti AMAN, Walhi, dan ICW.

Relawan Paramedis Jalanan, Alviani Sabillah, mengaku paramedis jalanan kerap mengalami tindakan represif oleh aparat keamanan. Bahkan, ada aparat yang melarang paramedis untuk membantu massa aksi. “Aparat meminta legalitas, menyeret, dan memukul paramedis,” ujarnya.

Demokrasi makin suram

Pengajar Kajian Indonesia University of Sydney, Tom Power, berpendapat fungsi masyarakat sipil dalam sistem demokrasi yakni menjaga akuntabilitas pemerintahan. Secara umum, Tom melihat arah demokrasi di Indonesia semakin suram. Indikasinya dapat dilihat dari terbitnya beragam kebijakan yang melemahkan demokrasi, seperti revisi UU KPK, Perppu Ormas, UU Cipta Kerja dan Perpres Jabatan Fungsional TNI. Bahkan, pada saat Pemilu 2019 ada upaya dari pemerintah untuk menghidupkan peran partisan PNS dan aparat keamanan.

“Ini beberapa contoh kebijakan yang mengancam demokrasi di Indonesia dan ini semakin parah. Saya khawatir kebijakan seperti ini akan berlangsung terus ke depan,” kata dia.

Peneliti Senior Pusat Studi Hukum Kebijakan Indonesia (PSHK) sekaligus pengajar STH Indonesia Jentera, Eryanto Nugroho, menilai menyempitnya ruang kebebasan sipil telah berlangsung lama dan semakin meningkat dalam satu dasawarsa terakhir. Pandemi Covid-19 menambah tantangan dan potensi penyempitan ruang kebebasan sipil. Dia melihat di Indonesia terjadi pasang-surut ruang kebebasan sipil termasuk kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul dalam setiap rezim pemerintahan.

Eryanto mencontohkan pada masa orde lama pemerintah menerbitkan Peraturan Panglima Perang Tertinggi No.3 Tahun 1961 dan Keppres No.264 Tahun 1962 yang intinya melarang organisasi yang tidak mau menerima/mempertahankan manifesto politik. Beberapa organisasi yang dilarang, antara lain Liga Demokrasi dan Rotary Club.

Pada masa orde baru terbit UU No.8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), SK Mendagri No.120 dan No.121 Tahun 1987. Regulasi yang terbit pada masa orde baru ini membuat Pelajar Islam Indonesia dan Gerakan Pemuda Marhaen tidak diakui keberadaannya dan kegiatannya sempat dilarang karena dianggap tidak menyesuaikan dengan UU Ormas.

Pada masa Presiden Joko Widodo terbit Perppu Ormas No.2 Tahun 2017. Kemudian Kementerian Hukum dan HAM mencabut status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 10 Juli 2017 dan perkumpulan ILUNI-UI pada 15 Agustus 2017. “Persamaan dari ketiga era itu semua pembubaran ormas tersebut tidak melalui proses pengadilan,” kata Eryanto.

Menghadapi tantangan ke depan, Eryanto menyarankan organisasi masyarakat sipil untuk merumuskan strategi baru menghadapi potensi menyempitnya ruang partisipasi publik. Misalnya, mengembangkan inovasi dan akses pada sumber daya; membenahi kerangka hukum dan kebijakan yang mengancam kebebasan sipil; melaksanakan konsolidasi; refleksi; dan reorientasi agar terus relevan dan efektif dalam memberikan kontribusinya. “Selain itu meningkatkan kepercayaan publik dan pemanfaatan teknologi.”

Tags:

Berita Terkait