Beragam Usulan Cara Mengatasi Defisit BPJS Kesehatan
Berita

Beragam Usulan Cara Mengatasi Defisit BPJS Kesehatan

Mulai mengoptimalisasikan pembayaran iuran dari peserta, subsidi silang dari cukai rokok, cost sharing, mendorong pemerintah mengevaluasi penetapan kelas rumah sakit, hingga menindaklanjuti verifikasi klaim untuk mengatasi fraud atau kecurangan di lapangan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: Hol
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: Hol

Pemerintah nampaknya masih gusar dengan kondisi keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Suntikan dana belasan triliunan rupiah, nyatanya belum mampu mendongkrak stabilitas keuangan BPJS Kesehatan guna memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat secara optimal. Terlebih, setelah keluarnya putusan uji materi Perpres No. 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

 

Sepertinya, perlu cara “radikal” dan tepat untuk mengatasi keterpurukan defisit dana BPJS Kesehatan, terutama di tengah penyebaran wabah Covid-19 saat ini. Dalam keterangannya, Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan mengatakan sejumlah cara sistematis dan terukur untuk mengatasi kondisi defisit BPJS Kesehatan secara cepat. Jika tidak, bakal berdampak besar terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

 

Dia mengatakan pemerintah dan BPJS Kesehatan harus bersinergi dan berpacu dengan waktu di tengah situasi darurat kesehatan. Dia mengusulkan ada beberapa cara agar pemerintah dan BPJS Kesehatan bisa mengatasi/menutup defisit dana BPJS Kesehatan sebesar Rp15,5 triliun pada 2019.   Pertama, mengoptimalkan pembayaran iuran dari peserta. Berdasarkan data, BPJS Kesehatan mencatat jumlah kepesertaan baru mencapi 224,1 juta atau 83 persen dari penduduk Indonesia yang berjumlah 269 juta orang per 27 Desember 2019.

 

Kepesertaan BPJS Kesehatan terdiri dari peserta penerima bantuan iuran (PBI) anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN). Sedangkan peserta PBI anggaran penerimaan belanja daerah (APBD) 38,8 juta orang; pekerja penerima upah (PPU) Pegawai Negeri Sipil (PNS) 14,7 juta orang. Kemudian PPU TNI sebanyak 1,57 juta orang; PPU Polri sebanyak 1,28 juta orang; dan PPU Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebanyak 1,57 juta.

 

Sementara PPU Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebanyak 210 ribu peserta; PPU swasta 34,1 juta; dan PPU Pekerja Mandiri 30,2 juta; dan Peserta bukan pekerja mencapai 5,01 juta peserta. Saat ini kepatuhan peserta mandiri dalam membayar iuran baru mencapai 62 persen. “Masih ada sisa 38 persen yang harus dikejar iurannya,” ujarnya. Baca Juga: Pasca Putusan MA, Aturan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Harus Dievaluasi  

 

Kedua, subsidi silang dari cukai rokok. Menurutnya, penerimaan cukai periode 2019 mencapai Rp 172,33 triliun atau tumbuh 8 persen dari target yang ditetapkan Rp 165,5 triliun. Sementara cukai hasil tembakau menyumbang penerimaan terbesar yakni Rp 164,87 triliun. Sementara dari cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) sebesar Rp 7,3 triliun. Sedangkan cukai etil alkohol (EA) sebesar Rp 120 miliar.

 

Ketiga, cost sharing atau urun biaya khusus untuk penyakit katastropik dan diderita oleh peserta mandiri. Heri melihat  banyak negara di belahan dunia menerapkan cost sharing. Seperti Jerman dan Amerika Serikat. Menurutnya, cost charing diterapkan lantaran jenis penyakit katastropik seperti jantung, stroke, cuci darah, dan lainnya. “Ada sembilan penyakit, menjadi penyumbang klaim terbesar BPJS Kesehatan dan berasal dari peserta mandiri,” bebernya.

Tags:

Berita Terkait