Bismar Siregar, Hakim Kontroversial yang Berhati Nurani
Mengenang Bismar:

Bismar Siregar, Hakim Kontroversial yang Berhati Nurani

Bismar adalah representasi hakim yang punya watak, yang tak mau terkungkung oleh kekakuan hukum di atas kertas, hakim yang mengutamakan keadilan daripada kepastian hukum.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Sebuah plakat berisi pesan mulia di kediaman (alm) Bismar Siregar, Jakarta. Foto: RES
Sebuah plakat berisi pesan mulia di kediaman (alm) Bismar Siregar, Jakarta. Foto: RES
Akademisi dan praktisi hukum di Indonesia sangat sering mengutip kata-kata Bernardus Maria Taverne (1874-1944). “Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun”. Geef me goede rechter, goede rechter commissarisen, goede officieren van justitien, goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboeken van strafprocessrecht het geode beruken.

Pernyataan B.M Taverne memperlihatkan bahwa dalam penegakan hukum bukan undang-undang yang menentukan, melainkan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh manusianya. Dinamika penegakan hukum di Indonesia memperlihatkan kebenaran pernyataan Taverne. Warna penegakan hukum banyak ditentukan komitmen dan sosok pribadi orang yang menjadi polisi, jaksa, hakim dan advokat.   

“Dalam catatan penegakan hukum di Indonesia terdapat beberapa kisah ahli hukum yang dianggap tidak lazim dipandang dari hegemoni cara berhukum pada eranya. Salah satunya adalah kisah hakim Bismar Siregar. Sikap, tindakan, dan pemikiran orang-orang seperti Bismar dalam menerobos kebuntuan sistem hukum dalam mewujudkan keadilan memperlihatkan potret penegakan hukum progresif”.

Kalimat di atas adalah intisari ceramah pembuka dasar-dasar hukum progresif yang disampaikan Aloysius Wisnubroto di Yogyakarta, 18 November 2014 lalu. Nama Bismar berkali-kali disebut dosen Universitas Katholik Atmajaya Yogyakarta itu ketika memberikan contoh penegak hukum yang progresif dalam Sekolah Hukum Progresif.

Hukumonline berkesempatan hadir dalam perhelatan itu, dan mendengarkan nama Bismar berkali-kali disebut ketika berbicara tentang berhukum dengan hati nurani. Bismar adalah representasi hakim yang punya watak, yang tak mau terkungkung oleh kekakuan hukum di atas kertas, hakim yang mengutamakan keadilan daripada kepastian hukum. Nama Bismar pula yang muncul dalam sebuah diskusi informal terbatas di Jakarta yang dihadiri sejumlah hakim beberapa bulan sebelumnya.

Penyebutan nama Bismar berkali-kali semakin mendorong niat kami di hukumonline untuk mengenal lebih dekat Pendekar Hukum itu. Niat untuk menuliskan gagasan dan sepak terjang Bismar di bidang hukum sebenarnya sudah lama muncul. Terutama setelah mantan hakim agung itu menghembuskan nafas terakhir pada 19 April 2012. Ketika mendengar Pak Bismar sakit dan dirawat di RS Fatmawati, kami langsung mengirimkan jurnalis dan juru foto.

Sayang, niat untuk membuat tulisan panjang kiprahnya  dalam penegakan hukum tak kesampaian juga hingga menjelang tiga tahun peringatan wafatnya Pak Bismar.  Meskipun demikian, kami terus berusaha mengumpulkan bahan-bahan mengenai almarhum, baik yang ditulis sendiri oleh Pak Bismar, maupun oleh orang lain. Semakin lama semakin banyak dokumentasi yang berhasil kami kumpulkan, dan semakin memberikan keyakinan kami untuk mulai membuat tulisan.

Dari banyak referensi itu, Pak Bismar digambarkan sebagai sosok hakim yang kontroversial. Putusannya seringkali melawan arus. “Selama menjadi hakim, beliau telah memutuskan perkara dengan pertimbangan-pertimbangan yang ‘tidak biasa’ dilakukan oleh penegak hukum saat itu,” tulis Guru Besar UIN Jakarta, M. Bambang Pramono, beberapa hari setelah Pak Bismar wafat.

Prof. Bustahunl Arifin, senior sekaligus kolega Bismar di Mahkamah Agung, pun tak ketinggalan memberikan pujian. “Apapun yang dilakukan Bismar, dilakukannya dengan keimanan yang kukuh”. Bismar, tulis Prof. Burtanul Arifin di Varia Peradilan edisi Mei 2009, adalah orang yang istiqomah.

“Dia tidak segan mengeluarkan pendapat yang berbeda dari pendapat mainstream,” kata advokat senior Todung Mulya Lubis.

Semasa hidupnya Pak Bismar sering mengirimkan tulisan ke media massa. Melacak semua tulisan Pak Bismar sama sulitnya dengan memastikan berapa sebenarnya jumlah artikel dan paper yang pernah Pak Bismar hasilkan semasa hidupnya. Ini juga tak mudah karena tulisan Pak Bismar  tak semuanya terekam di media massa. Kali lain, Pak Bismar membuat tulisan untuk kebutuhan khutbah dan seminar, ada pula untuk kebutuhan mengajar di beberapa kampus. Bahkan beberapa di antaranya adalah ‘testimoni’ Pak Bismar untuk tokoh hukum, atau kata pengantar dalam buku tertentu.

Karena itu, membuat tulisan tentang sosok, gagasan, dan sepak terjang Bismar dalam tulisan panjang berseri tentu bukan pekerjaan mudah. Sebagian besar jurnalis yang meliput bukanlah generasi yang hidup pada masa Pak Bismar menjalankan profesinya sebagai hakim. Kami beruntung Pak Bismar meninggalkan warisan kekayaan intelektual yang tak terhingga. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa, termasuk majalah ilmiah yang terbit pada dekade 1970 sampai 1980-an. Sebagian tulisan-tulisan Pak Bismar kemudian dibukukan.  

Dalam upaya memahami lebih dekat hakim yang pelukis itu,  kami sangat banyak terbantu oleh karya-karyanya dan karya orang lain yang menyinggung Pak Bismar. Pekerjaan besarnya adalah bagaimana memilah-milah informasi dari karya itu agar layak dituliskan ulang dalam tulisan panjang berseri di hukumonline. Apalagi, gagasan dan sepak terjang Pak Bismar bukan hanya ada di lapangan hukum, tetapi juga bidang seni, pendidikan, dan sosial budaya.

Kami mencoba menggunakan semua karya Pak Bismar yang berhasil dikumpulkan, dan karya-karya orang lain yang relevan. Satu per satu dipilah dan dipilih sesuai dengan karakteristik pemberitaan hukumonline. Untunglah sebagian besar tulisan Pak Bismar berkaitan dengan hukum, lapangan yang ia geluti sejak menjadi jaksa pada 1957 hingga pensiun dari jabatan hakim agung pada 1995. 

Seberapa banyak pun referensi tertulis yang berhasil dikumpulkan, belum lengkap rasanya tanpa mewawancarai keluarga Pak Bismar. Setelah berkali-kali kontak dengan anak-anaknya, kami akhirnya mewawancarai Kemalsjah Siregar dan Irwan H. Siregar, dua anak Pak Bismar yang berprofesi di bidang hukum. Kesempatan itu juga kami gunakan untuk sowan dan memberitahukan rencana menulis panjang lebar tentang jejak langkah Pak Bismar sekaligus melihat-lihat dari dekat sanggar lukis Pak Bismar di rumahnya.

Alhamdulillah kami bukan saja diterima dengan baik, tetapi juga mendapatkan ‘kekayaan’ lain dari ruang kerja Pak Bismar. Ditemani teh manis hangat, risoles dan makaroni panggang saat berbuka puasa, obrolan kami sekitar tiga jam berlangsung santai.

Selain itu, kami mencoba menelusuri orang-orang yang selama ini mengenal dekat atau berinteraksi dengan Pak Bismar. Tak semua narasumber orang yang intens punya hubungan kerja; demikian pula, tak semua pula orang yang dekat dengan almarhum bisa kami wawancarai. Namun keterangan dan catatan mereka tentang Pak Bismar layak dimasukkan. Kami bersyukur berhasil menemui dan mewawancarai Antonius Sudirman di Makassar, Sulawesi Selatan. Ia seorang akademisi yang pernah menulis khusus Pak Bismar.

Tidak ada gading yang tak retak. Tulisan-tulisan panjang dan berseri mengenai Bismar ini tak akan luput dari kelemahan dan kesalahan. Mungkin saja ada penggalan kisah yang terlewat, atau pemahaman yang belum tentu benar.

Di atas semua itu, kami selalu ingat petuah Pak Bismar ketika menulis tentang ketokohan seseorang. “Memperingati seorang bukan hendak menyanjung dan memuja. Bukan! Jauhlah keinginan dari yang demikian”. Tulisan-tulisan mengenang Bismar Siregar ini juga tak dimaksudkan demikian.
Tags:

Berita Terkait