Cegah Mafia Peradilan, MA Perlu Lakukan Langkah-Langkah Ini
Utama

Cegah Mafia Peradilan, MA Perlu Lakukan Langkah-Langkah Ini

MA berperan penting melakukan pembenahan di lembaga peradilan. Prinsip transparansi dan akuntabilitas harus dijalankan secara konsisten.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi publik ILUNI FHUI  dengan tema Upaya Memberantas Mafia Peradilan di Danlev Library, Selasa (31/5). Foto: ILUNI FHUI
Acara diskusi publik ILUNI FHUI dengan tema Upaya Memberantas Mafia Peradilan di Danlev Library, Selasa (31/5). Foto: ILUNI FHUI
Beberapa waktu lalu masyarakat dikejutkan dengan penyitaan uang sekitar Rp1,7 miliar oleh KPK terhadap Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi. Ditambah lagi, kejadian terakhir adalah terjeratnya bebrapa hakim dan seorang panitera di Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu, dalam kasus dugaan korupsi membuat masyarakat semakin prihatin terhadap dunia peradilan di Indonesia.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Astriyani Achmad, mengatakan ada beberapa hal yang bisa dilakukan MA untuk mencegah mafia peradilan. Salah satunya, MA perlu membuka diri terhadap instansi terkait yang bertugas melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan seperti KPK, Ombudsman, Komisi Yudisial (KY) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sebagai terobosan, Astri mengusulkan informasi yang diperoleh dari hasil pengawasan perlu diteruskan sesuai proses peradilan pidana.

Kemudian, Astri menilai MA harus konsisten menerapkan good governance terutama soal transparansi dan akuntabilitas. Ia melihat pembaruan yang dilakukan MA selama ini belum dilakukan secara menyeluruh. Penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas belum tercapai, misalnya hasil-hasil pengawasan oleh internal dan eksternal belum digunakan sebagai acuan untuk melakukan promosi dan mutasi jabatan.

“Transparansi dan akuntabilitas khususnya dalam proses promosi dan mutasi jabatan di lingkungan MA itu penting, selama ini yang bisa diketahui hanya hasilnya saja,” kata Astri dalam diskusi dengan tema "Upaya Memberantas Mafia Peradilan” yang diselenggarakan oleh ILUNI FHUI di Perpustakaan Daniel S. Lev, Jakarta, Selasa (31/5).

Dalam mengambil kebijakan, Astri mengatakan pimpinan MA harus partisipatif tapi tidak memberi ruang kompromi yang besar untuk mengakomodasi resistensi internal terhadap perubahan. Ia menilai perubahan yang bergulir bisa jadi menimbulkan gejolak di internal MA. Misalnya, majelis dan panitera yang menangani perkara ditunjuk secara acak.

Untuk mencapai perubahan yang menyeluruh pimpinan MA dituntut berani tegas dan punya pemahaman yang baik serta tidak kompromis secara berlebihan. Astri yakin berbagai upaya itu bisa memperkecil peluang mafia peradilan untuk “memainkan” perkara. Dampaknya bukan saja dirasakan di lingkungan MA tapi juga lembaga pengadilan yang ada di bawahnya.

Ketua Komite Penelitian dan Pendidikan ILUNI FHUI, Bivitri Susanti mengatakan, MA harus melakukan banyak pembenahan dalam rangka memberantas mafia peradilan. Menurutnya, MA harus membuka diri terhadap lembaga lain yang melakukan pengawasan untuk menganalisis masalah apa saja yang perlu jadi fokus pembenahan.

“MA juga bisa melakukan langkah konkret misalnya menyederhanakan prosedur penanganan putusan. Panjangnya birokrasi yang menangani perkara di MA membuka peluang mafia perkara,” ucapnya.

Pengawasan internal MA menurut Bivitri menjadi hal penting yang harus diperhatikan karena strategis dalam mencegah mafia peradilan. Ironisnya, saat ini Kepala Badan Pengawasan MA masih dijabat oleh pejabat yang statusnya sementara. Ia mengusulkan agar Ketua Badan Pengawas MA yang definitif segera dilantik.

Bivitri mengusulkan, ke depan struktur organisasi Badan Pengawasan MA tidak berada di bawah Sekretaris MA. Menurutnya hal itu membuat posisi Badan Pengawasan MA tidak optimal dalam menjalankan tugasnya. Terbukti saat ini aktor-aktor yang bisa “memainkan” perkara di MA bukan saja hakim tapi juga panitera bahkan staf administrasi. “MA harus membenahi sistem internalnya untuk menutup peluang korupsi,” urainya.

Mantan Komisioner KPK, Chandra M Hamzah, melihat isu mafia peradilan sudah berkembang sejak 1970. Secara umum lembaga peradilan sudah melakukan perbaikan tapi dirasa tidak cukup. Salah satu yang perlu dibenahi yakni manajemen perkara. Sekalipun sistem sudah dibenahi tapi tidak dibarengi dengan perbaikan perilaku maka peluang korupsi masih ada. “Perilaku hakim itu jadi hal yang penting untuk diawasi,” ujarnya.

Bagi Chandra, selama ini KY belum maksimal menjalankan tugasnya mengawasi perilaku hakim. Padahal, menjaga agar perilaku hakim itu baik sangat penting karena diyakini berpengaruh pada putusan yang dihasilkan. “KY mestinya bisa melakukan investigasi kalau ada perilaku hakim yang mencurigakan,” tukasnya.

Koordinator Bantuan Hukum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Julius Ibrani, menyebutkan persoalan yang dihadapi MA diantaranya sistem manajemen perkara. Ia mencatat satu perkara harus melalui 27 tahap birokrasi di MA. Rata-rata MA membutuhkan waktu 256 hari untuk menyelesaikan satu perkara. Untuk memangkas birokrasi, harusnya urusan perkara harus ditangani oleh kepaniteraan.

Julius melihat salah satu penyebab panjangnya rantai birokrasi di MA yaitu sejak diterbitkannya keputusan Sekretaris MA di tahun 2005-2006 yang intinya melibatkan banyak bidang di internal MA dalam menangani perkara. “Padahal semakin panjang birokrasi membuka ruang besar untuk terjadinya korupsi,” paparnya.

Pengalaman itu kerap dialami YLBHI saat menjalankan advokasi. Misalnya, April 2016 YLBHI mendaftarkan uji materi terhadap Peraturan Menteri Perindustrian tentang rokok ke MA. Sampai sekarang YLBHI belum bisa mendapat nomor perkara dan siapa anggota majelis yang menangani perkara yang diajukan itu.
Tags:

Berita Terkait