Cegah Praktik Penyiksaan, Pelajaran dari Putusan Kasus Sarmidi
Berita

Cegah Praktik Penyiksaan, Pelajaran dari Putusan Kasus Sarmidi

Mahkamah Agung: “Tidak dibenarkan adanya penegakan hukum dengan cara penjebakan dan rekayasa kasus”.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 3 Menit
Kutipan pertimbangan dalam putusan Mahkamah Agung kasus Sarmidi. Kutipan dan ilustrasi: HGW
Kutipan pertimbangan dalam putusan Mahkamah Agung kasus Sarmidi. Kutipan dan ilustrasi: HGW

Kisah Sarmidi sebenarnya sudah lama terjadi. Kasusnya bisa menjadi contoh bagaimana penyiksaan dan rekayasa kasus dalam proses penegakan hukum berakhir antiklimaks. Pada Januari 2013 lalu, akhirnya Mahkamah Agung melepaskan buruh itu dari segala tuntutan hukum; memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnnya. Hakim kasasi menyatakan perbuatan Sarmidi, meskipun terbukti, bukanlah kejahatan atau pelanggaran.

Padahal, ancaman 5 tahun 4 builan penjara ada di depan mata. Penuntut umum juga meminta agar hakim menjatuhkan sanksi lain berupa denda satu miliar rupiah. Hakim tingkat pertama menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara, dan dikuatkan hakim tingkat banding. Sarmidi akhirnya lolos dari jerat hukum itu di tingkat kasasi.

Majelis hakim kasasi berpandangan Sarmidi dijebak oleh seorang informan (cepu) dan anggota kepolisian untuk membeli narkotika. Ia masuk dalam jebakan tim pembelian narkoba yang menyamar (undercover buy). Uang 120 ribu rupiah dipakai untuk menjebaknya. Ketika Sarmidi berhasil membeli narkoba, dan terjadi transaksi, yang ditangkap bukan penjualnya melainkan Sarmidi. Ia ditangkap kemudian dipaksa untuk mengakui narkoba itu miliknya. Majelis hakim menegaskan maksud atau kesengajaan membeli narkotika justru bukan lahir dari kehendak terdakwa. Uangnya pun berasal dari petugas yang menyamar.

(Baca juga: KUHAP Dinilai Belum Sepenuhnya Memberi Perlindungan HAM).

Dengan kalimat yang tegas, majelis hakim ‘menyindir’ cara menegakkan hukum yang dilakukan aparat dalam kasus ini. ”Siapapun yang masuk dalam skenario jebakan semacam ini tentu akan menjadi korban dari suatu penegakan hukum yang dilakukan dengan cara melanggar hukum. Bahwa di dalam negara hukum seperti Indonesia, tidak dibenarkan adanya penegakan hukum dengan cara melakukan penjebakan atau rekayasa kasus. Cara semacam ini melanggar sendi-sendi negara hukum”. Majelis juga menyindir mengapa hanya Sarmidi yang diproses dalam kasus ini, padahal polisi sudah mengetahui dimana tempat pembelian dan siapa yang menjual narkotika.

Hukumonline.com

Putusan kasus Sarmidi memang diwarnai dissenting opinion, tetapi sudah berkekuatan hukum tetap. Julius Ibrani, mengungkit kembali kasus Sarmidi dalam diskusi mencegah praktik penyiksaan, Jum’at (12/3). Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat PBHI itu menyebut kasus Sarmidi sebagai salah satu contoh penyiksaan yang dilakukan untuk mendapatkan pengakuan seseorang. “Ia mengaku karena disiksa dan dipaksa,” ujarnya.

Guna mengejar pengakuan orang yang diperiksa atau disidik, aparat penegak hukum diduga tidak jarang melakukan tindakan kekerasan yang menyebabkan siksaan fisik dan psikis. Penyiksaan diduga masih menjadi bagian teknik mendapatkan keterangan atau pengakuan dari seseorang yang diperiksa. Cara yang mengandung aksi kekerasan juga sering terlihat pada pembubaran demonstrasi menentang suatu rancangan kebijakan, seperti demonstrasi penolakan RUU Cipta Kerja –sebelum disahkan menjadi UU No. 11 Tahun 2020.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sarah Nuraini Siregar menjelaskan sejak era reformasi sebenarnya sudah banyak kebijakan dan program yang dijalankan untuk memperbaiki institusi kepolisian. Tindak kekerasan dalam menjalankan tugas adalah salah satu masalah yang masih muncul. Dalam konteks menekan tindakan kekerasan atau penyiksaan itulah lahir Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Tags: