DJSN Ingin Revisi UU SJSN dan UU BPJS
Berita

DJSN Ingin Revisi UU SJSN dan UU BPJS

DJSN sudah menyiapkan draft untuk dibahas bersama pemangku kepentingan dan ahli.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Kantor BPJS Ketenagakerjaan. Foto: RES
Kantor BPJS Ketenagakerjaan. Foto: RES
Program Jaminan Sosial yang diselenggarakan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan telah berjalan hampir 3 tahun. Dalam pelaksanaannya ditemukan banyak kendala seperti kepesertaan dan pelayanan. Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Ahmad Ansyori, mengatakan salah satu tugas lembaga yang digelutinya itu sebagaimana amanat UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yakni merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN.

Dalam penyelenggaraan SJSN termasuk pelaksanaan 5 program jaminan sosial yaitu Jaminan Kesehatan (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. 4 program lainnya digelar BPJS Ketenagakerjaan yaitu Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Kecelakaan Kerjas (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm). (Baca juga: Ingin Revisi Aturan Jaminan Hari Tua, Perhatikan Tiga Hal).

Ansyori menyebut dalam 3 tahun penyelenggaraan berbagai program jaminan sosial itu menghadapi banyak tantangan. Misalnya, dalam implementasi JKN, pelaksanaannya dinilai belum sesuai amanat UU SJSN. Masih ada peserta yang belum mendapat pelayanan kesehatan secara baik.

Oleh karena itu salah satu agenda kerja DJSN tahun 2017 yakni mengusulkan revisi UU SJSN dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Sebelum mengajukan usulan itu kepada Presiden dan DPR, Ansyori menyebut DJSN akan membahas hal tersebut bersama pemangku kepentingan dan ahli. “DJSN sudah menyiapkan draft revisi untuk dibahas,” katanya dalam acara Pojok SJSN ke-11 yang diselenggarakan DJSN bekerjasama dengan Elkape di Jakarta, Selasa (20/12).

Ansyori menyebut salah satu tujuan digelarnya SJSN khususnya program jaminan kesehatan agar masyarakat semakin mudah mengakses pelayanan kesehatan. Sayangnya, hal itu belum terwujud secara baik. Faktanya masih ada masyarakat yang terhambat menjadi peserta JKN karena belum memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Kemudian, masalah pencairan manfaat JHT yang tidak sesuai dengan UU SJSN yang mengamanatkan tujuan JHT untuk menjamin peserta menerima uang tunai ketika pensiun, mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia. Saat ini melalui PP No.60 Tahun 2015 tentang Perubahan PP No.46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan JHT serta diatur secara teknis lewat Permenaker No. 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaraan Manfaat JHT, pencairan JHT bisa dilakukan langsung oleh peserta yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). (Baca juga: Inilah Poin-Poin Perubahan PP Program JHT).

Mantan Ketua DJSN, Chazali Husni Situmorang, menyoroti kebijakan BPJS Kesehatan yang menerbitkan peraturan kontroversial di masyarakat. Seperti aturan tentang kewajiban pendaftaran peserta untuk 1 keluarga atau Virtual Account (VA) Keluarga. Alih-alih mendorong jumlah kepesertaan, kebijakan itu malah membuat peserta kesulitan membayar iuran. Pasalnya, iuran harus dibayar sekaligus untuk satu keluarga sebagaimana tercantum dalam kartu Keluarga (KK). Alhasil, tidak sedikit peserta yang menunggak iuran.

Chazali menilai selama ini BPJS kurang melaksanakan prinsip keterbukaan dan transparansi dalam menyelenggarakan program, terutama dalam merumuskan kebijakan. Sebagai lembaga publik, pembuatan kebijakan itu mestinya dibahas bersama pemangku kepentingan. Pasalnya, kebijakan itu mengikat kepada seluruh peserta. “Ini yang membuat ada kebijakan BPJS yang ‘ilegal’ karena diterbitkan tidak mengacu peraturan yang di atasnya, tapi karena kebutuhan lapangan,” urainya.
Tags:

Berita Terkait