DPR Didesak Segera Sahkan RUU Peradilan Militer
Berita

DPR Didesak Segera Sahkan RUU Peradilan Militer

Bukan hanya menekankan transparansi semata, tapi diperluasnya hak pelaku dan korban pelanggaran juga perlu diatur dalam revisi UU Peradilan Militer.

Oleh:
Fat
Bacaan 2 Menit
DPR Didesak Segera Sahkan RUU Peradilan Militer
Hukumonline

 

Hal senada juga dikatakan Wakil Koordinator Kontras Indria Fernida A. Ia mengatakan, polisi merupakan bagian dari penegakan hukum, dan polisi militer tidak memiliki ranah dalam wilayah tersebut. Indria menjelaskan, kedatangan mereka ke DPR untuk mendorong proses reformasi pengadilan militer lebih ditingkatkan. Hal tersebut belum bisa dilepaskan dari reformasi TNI secara keseluruhan, katanya.

 

Indria menegaskan, tidak ada alasan untuk menempatkan kembali militer dalam proses peradilan sipil. Menurutnya, koalisi LSM sendiri yang akan mendorong bahwa perselisihan sipil harus diselesaikan di tingkatan peradilan sipil. Sehingga polisi yang mempunyai kewenangan itu sebenarnya juga mengacu pada KUHAP yang berjalan, ujarnya.

 

Ia juga mendorong, dalam proses peradilan militer, hendaknya juga dimasukan proses tindakan kriminal sipil yang masuk ke dalam wilayah pidana umum. Hal ini berkaca dari pengalaman masa lalu, dimana pelaku dari kalangan militer hanya diadili dengan mekanisme pengadilan militer. Yang kita tahu memang dalam kenyataannya, kasus-kasus ini tidak pernah berhasil membawa pelaku yang paling bertanggung jawab. Jadi hanya pelaku yang hanya di tingkatan lapangan saja, katanya.

 

Indria melanjutkan, prinsip KUHAP dalam mengadili tindakan kriminal harus dijalankan. Seperti mendapatkan bantuan dari pengacara secara gratis, hak-hak untuk memberitahukan kepada keluarga, dan akses mengikuti proses pengadilan, sehingga mendapatkan keadilan. Indria mengatakan, sejauh ini untuk peradilan militer, prinsip tersebut merupakan prinsip yang sangat mendasar. Artinya, pengadilan militer yang diharapkan, dapat mengadili tindakan-tindakan administrasi di tingkatan militer.

 

Itu juga sebenarnya harus mengacu pada hal-hal yang sangat prinsipil, meskipun pelakunya militer, sehingga mereka juga tetap harus mendapatkan bantuan hukum yang layak, tanpa harus  Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) menawarkan diri menjadi pengacara sementara. Sebenarnya bantuan hukum itu harusnya bebas, siapapun bisa mendapatkan akses bantuan hukum, ujarnya.

 

Harus Dipisahkan

Ketua Pansus RUU Peradilan Militer Andreas Pareira mengatakan, harus ada pemisahan yang tegas dalam ranah penyidik. Untuk tindak pidana militer, yang menyidik adalah polisi militer. Sedangkan untuk tindak pidana umum, kepolisian yang menjadi penyidiknya.

 

Menurutnya, tidak perlu dibentuknya komisi khusus untuk mengawal UU Peradilan Militer. Alasannya, ketika masuk dalam wilayah tindak pidana umum, si tentara harus sama derajatnya dengan warga negara lain. Sebaliknya, jika masuk dalam tindak pidana militer, harus diadili di pengadilan militer. Jangan bikin lagi suatu previllage baru, justru kita menghindari itu, kalau tidak, tentara masuk kategori kelas I, sedangkan kita warga sipil masuk kategori di bawahnya, katanya.

 

Menurut Andreas, waktu pembahasan RUU tinggal sedikit lagi. Ia tidak bisa menjamin RUU tersebut bisa diselesaikan sebelum pergantian periode di DPR. Masalah inilah yang dikhawatirkan LSM. Jika tidak diselesaikan pada tahun ini, maka pembahasan RUU ini bisa dari nol lagi ketika ada pergantian anggota DPR. Artinya, apa yang dikerjakan DPR tiga tahun belakangan, akan sia-sia.

 

Tahapannya tinggal ini, kalau tidak ada jalan keluar kita bawa ke Paripurna, putuskan di Paripurna, dan voting saja di sana, pungkas Andreas.

Juni 2005, seluruh fraksi di DPR sepakat mengajukan hak inisiatif untuk mengamandemen UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Hingga saat ini, perjalanan pembahasan revisi UU tersebut telah berusia tiga tahun lebih. Namun, sampai sekarang belum menemui titik final.

 

Karena tak kunjung selesai, koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti Imparsial dan Kontras, akhirnya menyambangi DPR. Kedatangan mereka untuk mendorong panitia khusus (Pansus) RUU Peradilan Militer, segera menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

 

Koordinator Riset HAM Imparsial, Bhatara Ibnu Reza mengatakan, masalahnya terletak pada tarik ulur waktu pembahasan yang dilakukan pemerintah. Hal ini terlihat ketika pemerintah mempermasalahkan hal-hal yang telah menjadi prinsip dari peradilan militer. Diantaranya seperti perluasan pemeriksaan koneksitas terhadap warga sipil, serta tugas dan fungsi kedudukan polisi militer dalam memeriksa tindak pidana umum, katanya.

 

Menurut Bhatara, perluasan yurisdiksi peradilan militer terhadap sipil, terkait dengan koneksitas adalah sebuah pembuktian. Artinya, peradilan militer merupakan peradilan superior ketimbang peradilan umum. Hal tersebut akan menimbulkan dampak yang luar biasa bagi peradilan militer, terlebih jika berkaitan dengan tindak pidana makar. Di negara-negara demokrasi, tindak pidana makar merupakan yurikdisi penuh dari peradilan umum, meski melibatkan sejumlah militer, ujarnya.

 

Terkait tindak pidana umum, persoalan kedudukan polisi militer dinilai Bhatara mengganjal yurisidiksi peradilan umum. Ia mengatakan, DPR seharusnya menyatakan dengan tegas bahwa kendala psikologis yang selama ini diperdebatkan, tidak dijadikan alasan dalam upaya penegakan hukum. Bagaimanapun juga Kepolisian Negara RI, merupakan aktor utama pada sistem peradilan pidana (Integrated criminal justice system - ICJS) dalam penyelidikan tindak pidana umum, bukan polisi militer, katanya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: