Fenomena Penerbangan Sub-Orbital dan Kedaulatan Negara
Kolom

Fenomena Penerbangan Sub-Orbital dan Kedaulatan Negara

Permasalahan timbul ketika hukum tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi.

Bacaan 2 Menit
Ridha Aditya Nugraha. Foto: Istimewa
Ridha Aditya Nugraha. Foto: Istimewa
Pariwisata angkasa (space tourism) merupakan suatu hal baru dalam kegiatan keantariksaan. Inovasi dan perkembangan teknologi telah menyebabkan fenomena tersebut dapat terwujud; membawa siapapun yang sanggup membayar untuk mengunjungi International Space Station atau sekedar menerbangi orbit bumi (sub-orbital flights) demi melihat pemandangan menakjubkan.

Berbicara mengenai penerbangan sub-orbital, sejumlah perusahaan swasta tampil sebagai motor utama. Salah satunya adalah Virgin Galactic milik Richard Branson melalui SpaceShipTwo yang telah menerbangkan banyak turis ke luar angkasa. Keberhasilan evolusi penyelenggaraan penerbangan sub-orbital memang berpotensi untuk dikembangkan menjadi suatu lini bisnis baru, yaitu penerbangan komersial berjadwal; di mana rute London-Sydney atau London-Melbourne diproyeksikan dapat ditempuh dalam waktu hanya dua jam!

Namun seperti yang kerap terjadi, permasalahan timbul ketika hukum tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi. Masyarakat dunia belum berhasil menentukan batas antara ruang udara dan angkasa. Konvensi hukum udara terkait, the Chicago Convention of 1944, hanya memberikan definisi teknis akan pesawat, tetapi tidak mencantumkan dengan jelas pada ketinggian berapa ruang udara berakhir dan ruang angkasa dimulai.

Hal yang sama terjadi pada magna carta konvensi hukum angkasa, the Outer Space Treaty of 1967. Para perancangnya mungkin belum memikirkan konsekuensi absennya delimitasi antara udara dan angkasa; tidak mengherankan mengingat fenomena penerbangan sub-orbital bahkan belum terbayangkan saat itu.

Nyatanya penerbangan sub-orbital bersinggungan erat dengan kedaulatan negara. Mengingat ia hanya berlaku di ruang udara, maka penegakan hukum-pun mengikuti. Akan sangat menarik menyoroti pelanggaran terhadap wilayah udara suatu negara yang terjadi pada ketinggian sekitar 100 kilometer - dikenal sebagai garis von Kármán - berhubung angka tersebut masih diperdebatkan untuk menjadi batas resmi antara ruang udara dan angkasa.

Sejauh ini pendekatan spasial semacam garis von Kármán diasumsikan sebagai yang terbaik bagi negara berkembang mengingat keterbatasan teknologi mereka. Ekstrimnya, ada negara maju dengan teknologi jauh lebih canggih yang menginginkan batas kedaulatan negara adalah sejauh teknologi dapat menjangkau. Jika ini terjadi, maka kita akan menjumpai beberapa negara memiliki ruang udara yang begitu tinggi, sementara banyak negara lain kedaulatannya di bawah 100 kilometer - suatu ketimpangan yang akan mengganggu penerimaan terhadap perkembangan rezim hukum angkasa.

Upaya menentukan delimitasi sendiri didiskusikan melalui forum United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS) yang diselenggarakan setiap tahun. Menyadari tujuan utamanya adalah penerimaan banyak negara terhadap delimitasi ruang udara dan angkasa, maka metode konsensus menjadi dasar pengambilan keputusan pada forum tersebut. Alhasil, tanpa digunakannya opsi pemungutan suara atau voting, sesi UNCOPUOS membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Di Indonesia, salah satu yang berpotensi kebingungan terkena imbasnya adalah TNI Angkatan Udara. Sebagai pengawal langit Nusantara, mereka hanya berwenang mencegat pesawat yang berkeliaran di ruang udara, bukan ruang angkasa. Dalam beberapa tahun mendatang, ketika teknologi jauh lebih maju, bukan tidak mungkin pesawat akan dirancang agar dapat terbang lebih tinggi. Titik krusialnya adalah ketika pesawat tempur termutakhir atau SpaceShipTwo terbang mendekati garis von Kármán, apakah mereka dapat berkelit dengan mengatakan tidak berada di ruang udara sehingga tak melanggar kedaulatan negara sedikitpun?

Seandainya skenario ini terjadi, para pilot TNI Angkatan Udara hanya dapat gigit jari melihat langit Indonesia diterobos. Mengingat keterbatasan teknologi yang kita miliki, serta keberlakuan Pasal 3bis the Chicago Convention of 1944 yang telah menjadi hukum kebiasaan internasional (customary international law) - bahwa dilarang menggunakan senjata dalam mengintersepsi pesawat sipil; maka sebaiknya delimitasi tidak hanya berdasarkan komponen ketinggian (height).

Maksud awal penerbangan itu sendiri, tepatnya apakah hendak menerbangi ruang angkasa atau tidak, patut menjadi dasar pertimbangan. Urgensi delimitasi ruang udara dan angkasa telah menjelaskan kehadiran delegasi Indonesia di UNCOPUOS bukan sekedar asal tampil belaka, melainkan turut berperan aktif bersama negara-negara lain guna merumuskan batas kedaulatan negara.

Penerbangan sub-orbital juga menghasilkan para ‘astronot’ baru; suatu gelar yang diidamkan banyak orang termasuk para milioner dunia. Virgin Galactic bahkan secara terang-terangan menggunakan istilah itu sebagai alat promosi ketika menjual tiket senilai USD 250.000 per-kursi. Keadaan ini telah melahirkan urgensi berikutnya, yaitu mendefinisikan kembali siapakah astronot sesungguhnya.

Rezim hukum angkasa telah mendefinisikan astronot sebagai perwakilan umat manusia yang menjalankan tugas suci demi kemajuan peradaban manusia (envoys of mankind); artinya mereka lebih ‘mulia’ dari manusia biasa sehingga memperoleh kedudukan spesial. Astronot berupaya menjelaskan fenomena alam di luar sana, termasuk mencari material yang tidak ada di bumi (space mining). Mengingat pentingnya tugas mereka serta tingginya resiko penjelajahan antariksa setengah abad silam, suatu konvensi telah diciptakan guna melindungi para astronot, yakni the Rescue Agreement of 1968. Konvensi ini memuat kewajiban untuk menyelamatkan astronot yang membutuhkan bantuan, contohnya ketika kapsul astronot yang kembali dari luar angkasa terombang-ambing di perairan suatu negara atau bahkan samudera. Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi ini.

Sangat penting bagi Indonesia untuk menginisiasi pendefinisian ulang astronot, baik melalui forum internasional maupun instrumen hukum nasional. Kegagalan pengklasifikasian astronot secara jelas, tepatnya antara astronot profesional dan turis, berpotensi mengakibatkan uang rakyat terhamburkan sia-sia. Sebagai contoh, sangat mungkin para turis luar angkasa terdampar di perairan Indonesia atau sekitarnya ketika kembali menuju bumi. Imbasnya, operasi Search and Rescue (SAR) yang melibatkan TNI Angkatan Udara dan Angkatan Laut harus dilakukan demi menyelamatkan nyawa ‘astronot’ tersebut; butuh biaya dan tenaga yang tidak sedikit ditengah keterbatasan yang kita miliki. Masih banyak urgensi lain seperti mengawal perairan dari perompak dan teroris atau wilayah udara dari penerbangan gelap (black flight), lantas untuk apa buang tenaga?

Mengingat para turis luar angkasa bukanlah astronot atau envoys of mankind yang sesungguhnya, maka mekanisme pembayaran operasi SAR harus jelas. Komersialisasi astronot harus diimbangi dengan kewajiban asuransi dan re-asuransi melalui instrumen hukum. Jangan sampai pajak rakyat berujung untuk menyelamatkan para ‘astronot’ yang hanya berpelesir di sekitar atmosfer bumi.

Akhir kata, tantangan yang dihadapi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sebagai ujung tombak kedirgantaraan Indonesia sudah sangat nyata. Keberhasilan LAPAN dapat dimulai dari menghilangkan ego sektoral; yaitu menginisiasi kerjasama dengan Kementerian Luar Negeri dan TNI Angkatan Udara dalam porsi yang lebih besar. Akan lebih baik jika LAPAN menggandeng universitas guna memastikan Indonesia telah mengikuti irama perkembangan hukum angkasa.

*) Ridha Aditya Nugraha adalah Manajer riset Air Power Centre of Indonesia (APCI); anggota German Aviation Research Society (GARS). Alumnus International Institute of Air and Space Law, Universiteit Leiden dan penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia LPDP. Saat ini menjadi dosen tamu untuk mata kuliah hukum udara dan ruang angkasa di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags: