Nalar Keadilan Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian dalam Cerai Gugat
Kolom

Nalar Keadilan Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian dalam Cerai Gugat

Tidak setiap perkara cerai gugat dapat dibebankan kewajiban nafkah iddah dan mut’ah kepada pihak suami, namun harus memenuhi kondisi-kondisi tertentu.

Bacaan 4 Menit

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana argumentasi hukum untuk mewujudkan keadilan terkait pembebanan kewajiban nafkah iddah dan mut’ah dalam perkara cerai gugat? Dalam yurisprudensi putusan Mahkamah Agung RI nomor 137 K/AG/2007 tanggal 6 Februari 2008 terdapat kaidah hukum bahwa meski gugatan diajukan oleh istri, tetapi istri tidak berbuat nusyuz, pihak suami harus dihukum untuk memberikan nafkah iddah kepada istri, karena istri harus menjalani masa iddah yang antara lain bertujuan untuk mengetahui kebersihan rahim (istibra’) dan hal demikian terkait dengan kepentingan suami.

Sementara dalam doktrin hukum Islam atau pendapat ulama fikih, sebagaimana terdapat dalam kitab karya Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Cet. IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1983, juz II, hlm. 287, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan yang ditalak bain berhak mendapatkan nafkah seperti perempuan yang ditalak raj’i. Alasannya karena perempuan tersebut (mabtutah) harus menyelesaikan masa ‘iddah di rumah bekas suaminya, maka dia dianggap memiliki hak atas kewajiban yang dilakukannya;

Selain itu, terdapat ketentuan hukum yang dapat dijadikan analogi dalam hal hak nafkah bagi istri yang mengajukan perceraian yakni pada Pasal 8 ayat 6 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Intinya, dalam mana istri mengajukan cerai karena kesalahan dari pihak suami, maka istri tetap berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya.

Terkait dengan mut’ah, terdapat yurisprudensi putusan Mahkamah Agung RI Nomor 184 K/AG/1995 tanggal 30 September 1996 dan putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 276 K/AG/2010 tanggal 30 Juli 2010 yang mengandung kaidah hukum bahwa sekalipun perceraian karena gugatan istri atau talak yang dijatuhkan adalah talak bain sughra, namun penyebab perceraian karena kesalahan dari pihak suami, suami diwajibkan membayar mut’ah kepada istrinya.

Dari berbagai referensi hukum di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembebanan kewajiban nafkah iddah dan mut’ah kepada pihak suami (Tergugat) dalam perkara cerai gugat untuk mewujudkan keadilan dapat diberikan dalam hal istri tidak nusyuz (melakukan kesalahan yang menjadi sebab perceraian). Berdasarkan argumentasi hukum bahwa istri tetap wajib menyelesaikan masa iddah meski tidak dapat rujuk atas talak bain sughra yang dijatuhkan oleh pengadilan dalam cerai gugat, dan harus melakukan akad nikah baru apabila ingin kembali hidup bersama dengan mantan suami, dan istri mengajukan cerai karena kesalahan dari pihak suami.

Oleh karena itu, tidak setiap perkara cerai gugat dapat dibebankan kewajiban nafkah iddah dan mut’ah kepada pihak suami, namun harus memenuhi kondisi-kondisi di atas untuk dapat mewujudkan keadilan dan tidak semata-mata memberikan privilege kepada perempuan, yang justru akan bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender dan equality before the law dalam penegakan hukum.

Untuk itu, peran hakim dalam menggunakan kewenangan yang dimiliki karena jabatannya (ex-officio) menjadi sangat penting untuk mewujudkan keadilan dalam memeriksa dan mengadili perkara cerai gugat dengan pembebanan kewajiban nafkah iddah dan mut’ah terhadap pihak suami (Tergugat).

Dengan menggunakan nalar keadilan yang demikian, maka pembaruan hukum keluarga Islam melalui putusan pengadilan agama, termasuk dalam hal pembebanan kewajiban nafkah iddah dan mut’ah dalam perkara cerai gugat, diharapkan tetap mampu diwujudkan di tengah konstruksi hukum perceraian Islam yang masih sarat dengan bias budaya patriarki dalam hukum acara perceraian, yang membedakan kedudukan suami dan istri dalam perceraian, sehingga jenis perkara perceraian pun dibedakan antara cerai talak dengan cerai gugat.

*)Muhamad Isna Wahyudi, Alumni Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Program Studi Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Keluarga dan Wakil Ketua Pengadilan Agama Pelaihari Kelas IB, Kabupaten Tanah Laut, Banjarmasin.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait