Tiga belas tahun silam, ketika sohibnya (alm) Presiden Soeharto tumbang, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad tetap kukuh berkuasa. Tetapi, kekukuhan Mahathir sebenarnya bukannya tanpa guncangan. Dari dalam, orang nomor dua di Pemerintahan Malaysia justru tengah mulai melakukan perlawanan.
Orang itu, Datuk Seri Anwar Ibrahim terang-terangan mengkritik rencana kebijakan moneter yang akan diterapkan sang “bos”. Kritik itu tidak digubris, dan justru berbuah masalah bagi Anwar. Pria kelahiran Sungai Bakap, Seberang Perai Selatan, Pulau Pinang, Malaysia ini berkali-kali dituduh melakukan tindak pidana, mulai dari korupsi hingga sodomi.
Bertahun-tahun diterpa berbagai tuduhan hukum dan politik tetap tidak mampu memadamkan “api” perjuangan Anwar. Kini, dengan panji Partai Keadilan, perlawanan Anwar justru semakin kuat. Yang terbaru adalah ketika Anwar turut menggagas Gerakan Malaysia Bersih 2.0. Melalui gerakan ini, 9 Juli lalu, Anwar bahkan turun langsung berunjuk rasa bersama ribuan massa.
Gerakan ini dipastikan akan berlanjut. Penegasan ini disampaikan Anwar dalam acara Forum Publik “Access to Justice: Pengalaman Malaysia” yang digelar oleh hukumonline, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, dan Indonesia Jentera School of Law di Jakarta, Sabtu (30/7).
"Sekarang itu masih kita teruskan, kita berikan mereka beberapa bulan, kita beri kesempatan menilai dan menjawab secara positif. Tetapi kita juga beri kepastian bahwa kita akan ulang, seandainya ini tidak berlaku," tegasnya.
Dalam forum publik tersebut, Anwar tidak hanya bicara tentang Gerakan Bersih 2.0. Sesuai dengan temanya, Anwar juga berkisah tentang hukum, keadilan, dan politik di Malaysia. Terkait tiga aspek ini, hukumonline mendapatkan kesempatan wawancara khusus dengan Anwar di sebuah hotel ternama di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (30/7). Berikut petikan wawancaranya:
Dari kasus-kasus yang menimpa Anda, tampak jelas bagaimana hukum dan politik bersinggungan. Menurut Anda, bagaimana sebenarnya hubungan yang seharusnya terjadi antara hukum dan politik?
Pada prinsipnya, harus ada pembagian kekuasaan atau separation of power. Itu yang sebenarnya didahulukan dalam undang-undang dasar, dasar kenegaraan. (Prinsip) itu disepakati semua pihak, cuma dalam reality, dilacurkan oleh pimpinan yang korup. Karena itu, harus kembali kepada garis asal. (Separation of power, red) itu prinsip juga dalam asas syariah. Kalau tidak ada pembagian kekuasaan, harus ada percanggahan (konflik, red) antara masing-masing kekuasaan.
Dalam konteks check and balances, hukum harus menjalankan peran sebagai check and balances terhadap politik. Tetapi juga harus ada judicial activism yang dibicarakan Lord Denning*. Judicial activism itu untuk mempertahankan prinsip dasar dalam konstitusi. Begitu juga legislatif. Dengan begitu, ada keseimbangan. Bagi kami, solusinya reformasi menyeluruh, konstitusi dan sistem.
(*Lord Denning adalah orang yang memperkenalkan teori “judicial activism”. Hakim asal Inggris ini populer dengan pernyataan "Berikan saya hukum yang buruk dengan hakim-hakim yang baik, maka saya dapat memberikan keadilan. Tapi berikan saya hukum yang baik dengan hakim-hakim yang buruk, maka saya tak dapat melakukannya")
Judicial activism menekankan pada peran seorang hakim, tetapi sebagaimana Anda ceritakan dalam Forum Publik, hakim di Malaysia kan sudah terkontaminasi. Lalu, bagaimana caranya agar institusi peradilan steril dari intervensi kekuasaan?
Pertama, jaminan hukum berdasarkan undang-undang dasar. Ini memang yang mengkhawatirkan kita, perkembangan dalam negara demokrasi, yaitu ketika hukum tidak bebas dari kecurangan dan korupsi, terutama yg menjangkiti badan kehakiman. Independence of Judiciary ini masih menjadi isu besar di Malaysia. Ada memang jaminan di konstitusi tapi dilanggar oleh parlemen yang mayoritasnya UMNO** (United Malays Nation Organization). Seluruh laporan, baik ICJ (International Court of Justice), International Bar, dan lain-lain sepakat membuktikan adanya kecurangan dalam badan kehakiman di Malaysia.
(**UMNO adalah partai politik yang bertahun-tahun menguasai Pemerintahan Malaysia. Sebelum akhirnya beralih ke Partai Keadilan, Anwar pernah tercatat sebagai Wakil Presiden UMNO)
Di beberapa negara, independensi peradilan salah satunya dapat diukur melalui mekanisme rekrutmen. Bagaimana mekanisme yang berlaku di Malaysia?
Hakim di Malaysia direkrut oleh perdana menteri. Tidak ada keterlibatan parlemen. Parlemen di sana (Malaysia) jauh dengan (sistem) yang ada di Indonesia. Parlemen selalu jadi rubber stamp (alat stempel, red) dari perdana menteri.
Menurut Anda, dalam konteks penegakan hukum, mana yang lebih penting gun or man behind the gun (hukum atau orangnya)?
Dua-duanya. Undang-undang harus adil, tapi pembentuknya juga harus baik. Kalau undang-undang dibuat oleh orang yang tidak mampu, undang-undang itu tidak akan berjalan dengan baik. Undang-undang tidak baik, yang menjalankan korup, ini akan jadi sistemik.
Menurut Anda, dari pengalaman Indonesia, apa yang bisa dipelajari oleh negara-negara yang sedang tumbuh demokrasinya?
Ini (memang) belum perfect system, tapi demokrasi Indonesia itu berlaku secara aman dan memperlihatkan kesungguhan untuk letakkan institusi dan prinsip sesuai undang-undang dasar, separation of power. Masalah di Indonesia ini masih menghadapi korupsi, kesenjangan kaya dan miskin, miskin terpinggir, memang masih jadi persoalan. Tapi dari sudut sistem, Indonesia jauh maju ke depan. Pertumbuhan ekonominya juga baik. Malaysia sebenarnya ketinggalan.