Ini Akibat Hukum Jika Perusahaan BUMN Pailit
Utama

Ini Akibat Hukum Jika Perusahaan BUMN Pailit

Pada praktiknya kepailitan yang terjadi pada BUMN memiliki kompleksitas yang begitu tinggi, apalagi jika membahas mengenai tahapan eksekusi, yakni penyitaan dan pembagian aset.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 9 Menit

Terlepas dari adanya perbedaan pihak yang berwenang mengajukan permohonan kepailitan, pada prinsipnya syarat kepailitan tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UU 37/2004. Singkatnya, Hadi Subhan dalam materi yang dipaparkannya saat Webinar Hukumonline bertajuk Kupas Tuntas Rencana Moratorium Kepailitan dan PKPU menerangkan syarat permohonan pailit adalah: Utang yang tidak dibayar lunas, sudah jatuh waktu, dan dapat ditagih (Opeisbaar); terdapat minimal 2 kreditor; adanya pembuktian sederhana.

Adapun pembuktian sederhana ini berkaitan dengan bunyi Pasal 8 ayat (4) UU 37/2004 dan penjelasannya yaitu adanya fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana, yang maksudnya adalah adanya fakta dua atau lebih kreditur dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang dialihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.

Meski dapat dipailitkan, isu ‘BUMN Kebal Pailit’ masih ramai diperbincangkan, sebab Mahkamah Agung selalu bisa membatalkan kalau ada kepailitan BUMN, begitu yang disampaikan oleh Hadi Subhan sebagaimana dikutip dalam artikel Meski Pengadilan Nyatakan Pailit, Aset BUMN Tak Akan Mudah Disita (hal. 1).

Akibat Hukum bagi BUMN yang Pailit

Dalam hal BUMN dinyatakan pailit, maka ada beberapa akibat hukum terhadap debitur (BUMN) itu sendiri dan kreditur, serta akibat hukum terhadap negara.

Pertama, akibat hukum BUMN pailit terhadap debitur. Dalam Pasal 21 dan 22 UU 37/2004 kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan, namun tidak berlaku terhadap: a. benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitur dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 hari bagi debitur dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu; b. segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau c. uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.

Kemudian debitur kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk harta pailit sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan dan dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat (Pasal 24 ayat (1) dan (2) UU 37/2004), semua perikatan debitur yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit tidak lagi dapat dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan itu menguntungkan harta pailit (Pasal 25 UU 37/2004).

Dan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum debitur pailit yang merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Dalam hal ini harus dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, debitur dan pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum itu akan mengakibatkan kerugian kreditur. Namun terdapat pengecualian terhadap ketentuan pembatalan perbuatan hukum ini, yaitu jika perbuatan hukum tersebut wajib dilakukan oleh debitur berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang, seperti kewajiban pembayaran pajak (Pasal 41 dan penjelasannya UU 37/2004).

Tags:

Berita Terkait