Ini Poin-Poin Keterangan Romli di Pengujian UU KPK
Pemberhentian Sementara:

Ini Poin-Poin Keterangan Romli di Pengujian UU KPK

Aturan pemberhentian sementara bagi pimpinan KPK justru menjadi penyaring efektif ketika ada calon pimpinan KPK yang tidak bersih.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Prof Romli Atmasasmita. Foto: RES
Prof Romli Atmasasmita. Foto: RES
Ketentuan pemberhentian sementara bagi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika ditetapkan menjadi tersangka dianggap tidak diskriminatif. Sebab, prinsip persamaan hanya menyangkut persoalan ras, suku, agama, dan status sosial. Ketentuan itu justru bisa mencegah calon pimpinan KPK yang memiliki cela untuk tidak perlu melamar sebagai pimpinan KPK.

Hal itu disampaikan oleh Guru Besar Pidana Universitas Padjajaran Prof Romli Atmasasmita saat dimintai pandangannya sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU KPK di gedung MK. Ahli yang dihadirkan pemerintah ini menjelaskan KPK memiliki wewenang sangat luas jika dibandingkan dengan kepolisian dan kejaksaan. Misalnya, dengan alasan tertentu KPK bisa mengambil alih perkara korupsi yang ditangani kepolisian dan kejaksaan, kewenangan penyadapan, penyitaan, penggeledahan tanpa izin pengadilan.

“Merujuk pada wewenang yang sangat luas, KPK tentu perlu sosok pimpinan yang amanah, bertanggung jawab, dan memiliki kredibilitas sebagai negarawan,” ujar Romli dalam sidang uji materi UU KPK yang diketuai Arief Hidayat di gedung MK, Rabu (27/5).

Dijelaskan Romli, saat awal penyusunan RUU KPK, pasal yang dimohonkan pengujian tidak sedikit pun melanggar HAM bagi pimpinan KPK, sehingga tidak mendapat keberatan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sebab, ketentuan ini menjadi rambu peringatan bagi pimpinan KPK bahwa ada konsekuensi hukum yang akan dihadapi ketika ditetapkan sebagai tersangka sebagai akibat sebelum, selama atau setelah menjabat sebagai pimpinan KPK.

Lalu, sesuai prinsip keadilan distributif, setiap orang berhak dan bertanggung jawab sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat dan tidak dapat dipersamakan satu sama lain. Sehingga, wewenang dan tanggung jawab pimpinan KPK termasuk sanksi hukumnya memang tidak bisa disamakan dengan Polri dan kejaksaan.

Selain itu, mengacu Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (1948), asas persamaan hanya terkait dengan ras, warna kulit, bahasa, agama, politik, asal kebangsaan, sosial, dan status kelahiran. Sehingga penetapan tersangka pimpinan KPK ketika ditetapkan menjadi tersangka tidak bertentangan dengan prinsip asas persamaan di atas.

Menurut ahli pemerintah ini adanya anggapan dimungkinkannya terjadi kriminalisasi lantaran mentersangkakan seseorang hanya butuh satu bukti dan laporan polisi salah kaprah. Sebab sepanjang bukti permulaan cukup berdasarkan KUHAP, siapapun bisa ditetapkan sebagai tersangka, kecuali kalau dinyatakan tidak terbukti bersalah dalam sidang pengadilan yang terbuka umum.

Ditegaskan Romli, ketika KPK dibekali kewenangan yang luar biasa, maka tanggung jawab yang diemban juga menjadi luar biasa. Karena itu, pemberhentian sementara bagi pimpinan KPK ketika menjadi tersangka tidak sama mekanismenya dengan institusi lainnya. “Ini tidak berlebihan,” tegasnya.

Adanya aturan tersebut justru menjadi penyaring efektif bagi seseorang yang ingin melamar dan mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK ke depan. Soalnya, kalau memang seseorang memiliki sejarah dalam hidupnya terkait dengan pelanggaran pidana maka lebih baik memilih tidak melamar sebagai pimpinan KPK. “Ini masalah integritas, bukan persoalan hak semata-semata.”

Mantan Dirjen Administrasi Umum Kemenkumham ini melanjutkan saat pembahasan RUU KPK, pembuat UU tidak sampai mendiskusikan tentang klasifikasi jenis tindak pidana yang menjadi syarat pemberhentian sementara. Sebagai orang yang pernah terlibat dalam proses penyusunan UU KPK, Romli menanggap semua tindak pidana dianggap tidak boleh dilakukan pimpinan KPK tanpa terkecuali.

“Begitupun dengan rentang waktunya karena saat ini yang dipikirkan bagaimana pimpinan KPK bisa menjadi panutan bagi aparat penegak hukum lainnya,” harapnya.  

Sebelumnya, FKHK dan GMHJ memohon pengujian Pasal 32 ayat (2) UU KPK terkait pemberhentian pimpinan KPK yang terlibat kejahatan. Mereka menganggap ketentuan itu melanggar asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law) yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang dijamin Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sementara pemberhentian sementara tidak berlaku bagi pimpinan kepolisian dan kejaksaan. Sebab,  UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan tidak mengatur pemberhentian sementara jika pimpinan kedua institusi itu ditetapkan sebagai tersangka.

Menurutnya, berlakunya Pasal 32 ayat (2) UU KPK mengakibatkan fungsi KPK menjadi tidak efektif dan menghambat kinerja lembaga antirasuah itu memberantas korupsi di Indonesia. Terutama, setelah dua pimpinan KPK  Abraham Samad dan Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka terkait menyuruh memberikan keterangan palsu dan pemalsuan dokumen. Karenanya, pemohon minta MK menghapus Pasal 32 ayat (2) UU KPK itu karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) dan UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait