Jokowi Dinilai Merusak Sistem Ketatanegaraan
Berita

Jokowi Dinilai Merusak Sistem Ketatanegaraan

PAPPH mempertanyakan undang-undang mana yang digunakan Jokowi sebagai dasar hukum untuk melakukan penundaan pelantikan Budi Gunawan.

Oleh:
YOZ
Bacaan 2 Menit
Habiburokhman (tengah). Foto: SGP
Habiburokhman (tengah). Foto: SGP
Meski Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menunda pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri dan menetapkan Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai Pelaksana Tugas Kapolri, masalah belum selesai sampai di situ. Pusat Advokasi dan  Pengawasan Penegakan Hukum (PAPPH) menilai kebijakan Jokowi tersebut malah membuat rakyat kembali gigit jari.

“Kebijakan Jokowi hanya tersebut membuat negara tambah kacau,” ujar Direktur Pusat Advokasi dan Pengawasan Penegakan Hukum (PAPPH), Windu Wijaya.

Windu mengatakan bahwa rakyat jelas menginginkan agar Jokowi membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri, bukan justru menunda. Menurutnya, keputusan Jokowi tersebut telah merusak sistem ketatanegaraan. Dia mempertanyakan undang-undang mana yang digunakan Jokowi sebagai dasar hukum untuk melakukan penundaan. Sebaliknya, Jokowi akan dicap sebagai pemimpin yang telah menyahgunakan kewenangan.

“Rusak sistem ketatanegaraan kalau Jokowi mengelola bangsa seperti ini,” cetusnya.

Windu menjelaskan, sekalipun Jokowi bersikeras untuk mengangkat Komjen Budi Gunawan menjadi Kapolri maka secara yuridis sesuai dengan UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, mengharuskan presiden Jokowi untuk menghentikan kapolri sementara karena melanggar sumpah jabatan. Dia mengingatkan bahwa perbuatan yang disangkakan oleh KPK kepada Komjen Budi Gunawan masuk dalam kategori melanggar sumpah jabatan.

“Karena itu, penundaan bukanlah solusi. Jalan keluar terbaik adalah Jokowi harus membatalkan Komjen Budi Gunawan sebagai kapolri dan mengajukan nama calon kapolri baru ke DPR,” ujarnya.

Ketua DPP Gerindra Bidang Advokasi, Habiburokman, berpendapat keputusan Jokowi menunjuk  Badrodin Haiti sebagai Plt Kapolri secara jangka pendek mungkin mampu meredakan ketegangan. Namun, keputusan tersebut  sebenarnya kurang tepat dan justru  bermasalah.  Ada tiga alasan yang dipaparkan Habiburokhman mengapa keputusan tersebut bermasalah.

Pertama, alasan penunjukan Pelaksana Tugas Kapolri yang tidak tepat. Menurut Pasal 11 ayat (5) UU tentang Kepolisian, dalam keadaan mendesak Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan DPR. Namun, menurut penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan "dalam keadaan mendesak" ialah suatu keadaan yang secara yuridis mengharuskan presiden menghentikan sementara Kapolri karena melanggar sumpah jabatan dan membahayakan keselamatan negara.

“Di sinilah letak permasalahannya, Kapolri Sutarman sama sekali tidak melanggar sumpah jabatan dan juga tidak membahayakan keselamatan negara, sehingga  secara yuridis tidak tepat jika ia diberhentikan dan Presiden menunjuk seorang Plt,” katanya.

Kedua, pidato Jokowi yang menyebut Badrodin Haiti akan melaksanakan tugas dan wewenang Kapolri. Menurut Habiburokhman, pelimpahan tugas dan sekaligus wewenang ini melampaui apa yang diatur dalam  UU Kepolisian. Secara jelas istilah yang disebut oleh Pasal 11 ayat (5) UU Kepolisian, hanyalah “Pelaksana Tugas“ dan bukan “Pelaksana Tugas dan Wewenang”. Padahal, “tugas” dan “wewenang” Kapolri adalah dua hal yang sangat berbeda.

Ketiga, Jokowi tidak menyebutkan secara jelas jangka waktu penundaan.Bila penundaan tersebut dilakukan hingga proses hukum Budi Gunawan selesai dan dia diputus tidak bersalah oleh pengadilan maka penundaan ini paling tidak akan berlaku selama satu tahun enam bulan.

Perlu digarisbawahi, kata Habiburokhman, bahwa proses penyidikan di KPK tidak mengenal adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Artinya, kasus ini akan terus bergulir ke persidangan Pengadilan Tipikor, lalu banding ke Pengadilian Tinggi hingga berkekuatan hukum tetap di  Mahkamah Agung.

“Mengacu pada persidangan kasus-kasus Tipikor terdahulu, rata-rata satu perkara  selesai sampai tingkat kasasi paling cepat satu tahun enam bulan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Habiburokhman mengingatkan bahwa banyak sekali masalah yang harus diselesaikan seorang Kapolri. Namun karena sifatnya sementara, secara umum seorang Plt Kapolri tidak dapat melaksanakan semua portofolio yang diberikan pada jabatannya itu. Menurutnya, penunjukan hanya dilakukan demi kelancaran kegiatan administrasi sehari-hari.
Tags:

Berita Terkait