Kerangka Hukum Pemilu Harus Lengkap. Mengapa?
Berita

Kerangka Hukum Pemilu Harus Lengkap. Mengapa?

Kepatuhan dan penegakan hukum Pemilu jadi salah satu standar pemilu demokratis. Pemilu yang bebas dan adil terlihat dari penyelesaian terhadap setiap pelanggaran Pemilu.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS
Pemerintah diamanatkan untuk menyelenggarakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) secara serentak tahun 2019. Itu tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 14/PUU-XI/2013.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil mendorong pemerintah segera menyiapkan regulasi yang dibutuhkan agar Pemilu serentak 2019 berjalan baik. Koalisi yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Kodifikasi UU Pemilu mendorong agar DPR dan pemerintah segera membenahi berbagai UU terkait Pemilu dengan cara melakukan kodifikasi sehingga dihasilkan satu UU Pemilu.

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mengatakan pemilu demokratis yang sesuai standar internasional bisa dilihat dari terlaksananya kepatuhan dan penegakan hukum pemilu. Standar itu penting karena kerangka hukum harus menyediakan mekanisme efektif dan baik bagi kepatuhan hukum dan hak-hak pemilu, serta memberi hukuman bagi pelaku-pelaku tindak pidana pemilu. “Kerangka hukum pemilu harus diatur sedetail mungkin untuk melindungi hak-hak sipil,” kata Titi dalam diskusi di Jakarta, Jumat (27/5).

Titi menekankan agar pemerintah dan DPR segera membahas UU Pemilu. Apalagi ketentuan yang menyangkut hukum pemilu, harus dibahas secara serius. Melihat pembahasan UU Pemilu sebelumnya, DPR dan pemerintah baru membahas ketentuan yang menyangkut hukum pemilu di saat terakhir sehingga terburu-buru. Itu berdampak buruk pada penegakan dan hukum pemilu.

Ada beberapa prinsip dalam penyelesaian sengketa dan masalah hukum pemilu menurut International IDEA (International Institute for Democracy and Electoral Assistance) seperti pengaturan yang transparan, jelas dan sederhana, mekanisme yang efektif dan komprehensif, ketepatan waktu penegakan hukum dan keputusan; dan konsistensi dalam penafsiran dan penerapan hukum Pemilu.

Titi menyebut hukum pemilu perlu mengatur tentang pelanggaran dan perselisihan yang terjadi dalam proses pemilu. Pelanggaran meliputi kode etik, administrasi dan tindak pidana. Perselisihan seperti administrasi dan hasil.

Untuk penyelesaian perselisihan administrasi Titi mengusulkan agar sengketa diselesaikan oleh majelis ad hoc Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan Tinggi (PT). Sebelum sampai ke MA dan PT, penanganan pertama harus dilakukan lewat mekanisme sidang sanggahan di KPU, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Yang bisa disengketakan yaitu semua keputusan KPU mulai dari pusat sampai daerah. “Untuk pemilu nasional perselisihan administrasi pemilu ditangani hakim ad hoc pemilu yang dibentuk MA dan PT untuk pemilu daerah,” ujarnya.

Titi mengusulkan majelis hakim ad hoc pemilu di MA dan PT terdiri dari 1 hakim karir yang diangkat oleh Ketua MA dan 2 hakim non karir yang dipilih oleh Komisi Yudisial (KY). Hakim karir yang dipilih syaratnya harus berpengalaman sekurang-kurangnya 10 tahun. Hakim non karir berasal dari akademisi, tokoh masyarakat yang bukan anggota partai politik (parpol), memiliki integritas yang kuat, jujur, adil dan memiliki pengetahuan tentang penyelenggaraan pemilu.

Guru besar FHUI, Topo Santoso, mengatakan semua negara memiliki mekanisme penyelesaian pelanggaran dan sengketa pemilu. Namun, tidak ada satu mekanisme yang bisa diterapkan untuk seluruh negara. Ia melihat setiap negara punya keunikan dalam menyelenggarakan Pemilu. Tapi yang jelas, mekanisme penyelesaian pelanggaran dan sengketa pemilu itu jadi salah satu standar internasional untuk menilai apakah pemilu yang diselenggarakan terlaksana dengan bebas dan adil atau tidak.

Penting diingat, dikatakan Topo, bukan berarti adanya pelanggaran dalam pemilu menunjukan kelemahan sistem pemilu yang digunakan. Dalam setiap pemilu, pelanggaran pasti terjadi oleh karenanya harus ada mekanisme penyelesaian pelanggaran dan sengketa sehingga hak yang terlanggar bisa dipulihkan.

Salah satu yang disorot Topo dalam hukum pemilu di Indonesia terkait dengan penanganan tindak pidana pemilu yang dibatasi dalam jangka waktu tertentu. Padahal, penanganan tindak pidana itu tujuannya mencari kebenaran materil sehingga dibutuhkan waktu yang cukup untuk menyelesaikannya misalnya satu tahun.

Selama ini penanganan tindak pidana pemilu dibatasi dalam waktu yang sangat singkat. Topo menilai ketentuan itu bisa jadi penyebab pelaku pidana pemilu lepas dari jerat hukum. “Pelaku pidana pemilu bisa bebas kalo jangka waktu yang ditetapkan untuk menyelesaikan kasus itu sudah lewat. Walau tujuannya mempercepat proses tapi itu tidak mendorong terciptanya pemilu yang free and fair,” urainya.

Topo berpendapat ada tiga isu fundamental dalam penyelesaian sengketa dan pelanggaran pemilu. Pertama, validitas hasil. Hasil pemilu harus valid dan diperoleh dari proses yang benar. Bisa saja ada pihak yang merasa dirugikan dalam proses itu seperti jatah kursinya diserobot atau suaranya dicurangi. Harus ada ruang bagi pihak yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan.

Kedua, penyelesaian sengketa administrasi. Harus ada mekanisme agar penyelenggara pemilu bisa mengoreksi masalah yang terjadi sehingga memulihkan hak peserta yang dilanggar. Ketiga, penuntutan pidana kepada mereka yang melakukan tindak pidana pemilu.

Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu tidak jadi persoalan di negara maju. Biasanya, para penyelenggara pemilu yang terpilih sudah terjamin kepatuhannya terhadap kode etik. Ironisnya di Indonesia kode etik penyelenggara pemilu jadi isu besar oleh karenanya dibentuk DKPP. Menurutnya itu sah-sah saja untuk dilakukan karena tidak ada model tunggal penyelenggaraan pemilu yang cocok diterapkan untuk semua negara.
Tags:

Berita Terkait