Hal itu terungkap ketika Wakil Ketua KPK Alexander Marwata ketika memberikan penjelasan banyaknya laporan pengaduan masyarakat di KPK. Termasuk alur laporan masyarakat yang masuk di KPK. Laporan yang masuk bakal diklarifikasi untuk memastikan validitas laporan pengaduan yang bersangkutan. Belum selesai memberikan penjelasan alur kerja di Direktorat Pengaduan Masyarakat (Dumas), Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo menyelak.
“Kalau kasus (dugaan koruspi) Sumber Waras itu masuk atau masuk laci?” tanya Bambang dalam Rapat Dengar Pendapat lanjutan antara KPK dan Komisi III di Gedung DPR Jakarta, Selasa (12/9). Baca Juga: Pasca Penyelidikan KPK, Kelebihan Bayar Sumber Waras Masih Terkatung
Marwata menerangkan kasus RS Sumber Waras masih terus didalami. Statusnya pun masih tahap penyelidikan. Menurutnya, penyelidik mengusulkan ke penyidik agar dilakukan gelar perkara. Namun, masing-masing penyelidik, penyidik, dan penuntut umum berpendapat belum memenuhi syarat untuk dinaikan ke tingkat penyidikan. Meski begitu, kasus tersebut belum dihentikan. “Masih didalami,” ujar Marwata.
Bambang Soesatyo lanjut bertanya, “Temuan BPK itu bukan alat bukti?”
Marwata mengaku penanganan kasus RS Sumber Waras, KPK menggunakan jasa tim appraisal alias tim penilai (independen). Ia memastikan konsultan jasa penilai itu bersifat independen. Bahkan, KPK pun membayar jasa konsultan penilai tersebut. Dengan begitu, hasil audit BPK dilakukan penilaian kembali oleh tim appraisal tersebut.
Anggota Komisi III Wenny Warrow mencecar lagi. Menurutnya BPK sebagai lembaga yang diberikan amanat oleh konstitusi, mestinya KPK menjadikan hasil audit BPK menjadi temuan alat bukti. Menurutnya, merujuk UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK, hasil penilaian kerugian negara BPK dijadikan dasar penegak hukum dalam melakukan penyidikan.
Anggota Komisi III lain, Jhon Kennedy Aziz mengingatkan keberadaan BPK dalam sistem ketatanegaraan sangat kuat karena diatur dalam konstitusi. Apalagi diatur lebih lanjut dalam UU BPK mulai Pasal 1 sampai dengan Pasal 12. Karena itu, menjadi pertanyaan serius bagaimana penilaian KPK terhadap hasil audit BPK. “Bagaimana KPK menilai hasil audit BPK?”
Melengkapi jawaban Marwata, Wakil Ketua KPK lainnya Laode Muhammad Syarif mengatakan pimpinan KPK di era sebelumnya sudah meminta perhitungan adanya potensi dugaan kerugian negara melalui audit investigatif. Menurutnya adanya laporan dari BPK DKI Jakarta yang ujungnya disampaikan ke pimpinan KPK di era sebelumnya.
“Pimpinan -kala itu pelaksana tugas pimpinan KPK Taufiqurrahman Ruki – sudah meminta BPK melakukan audit investigasi,” ujarnya.
Laode mengakui hasil audit BPK itu menerbitkan nilai dugaan kerugian negara. Nah setelah adanya indikasi, KPK biasanya melakukan penyelidikan. Bila ingin naik ke tahap penyidikan, KPK meminta BPK dan BPKP untuk menghitung dugaan kerugian negara. Namun saat digelar perkara sebanyak tiga kali, pihak penyidik dan penuntut tidak meyakini beberapa hal. Salah satunya, unsur perbuatan melawan hukum dari kasus RS Sumber Waras belum terlalu kelihatan.
“Tim penyidik dan penuntut umum meminta penyelidikan (dengan) melakukan pengembangan,” ujarnya.
Perbedaan perhitungan BPK dan appraisal
Lebih lanjut Laode mengatakan, setiap kasus mesti dilihat ada tidaknya mens area (niat jahat), memperkaya tidaknya seseorang untuk diri sendiri. Nah, setelah dilakukan gelar perkara, ternyata belum juga meyakinkan penyidik dan penuntut umum. Ia memastikan bila terdapat alat bukti lain yang mendukung (kasus RS Sumber Waras) bakal dinaikkan ke tahap penyidikan.
“Kalau nanti, ada bukti tambahan yang mendukung untuk bisa dinaikkan menjadi penyidikan, maka pasti akan dilanjutkan,” ujarnya.
Laode melanjutkan menyikapi hasil audit BPK, KPK tak percaya begitu saja. Makanya, KPK mengundang asosiasi yang dibayar jasanya untuk menilai hasil audit BPK. Setidaknya, KPK melakukan kroscek ulang terhadap hasil perhitungan dugaan kerugian negara dalam kasus RS Sumber Waras ini.
Menurutnya setelah dilakukan penelaahan, ternyata harga tanah pembanding yang digunakan BPK berbeda. Misalnya, soal alamat yang di Kyai Tapa dan Tomang. Sebab, tanah yang berada di jalan Kyai Tapa mesti mengikuti NJOP harga tanah di jalan Kyai Tapa. “Soal penafsiran harga yang dipakai, apakah tahun itu atau tahun sebelumnya. Sehingga dicek lagi dengan beberapa properti di sekitar itu. Bukan kami meragukan, tapi penyidik dan penuntut belum firm (yakin),” katanya.
Bahkan adanya selisih perhitungan antara asosiasi jasa penilai dengan perhitungan BPK. Tak tanggung-tanggung, selisih perhitungan mencapai ratusan miliar. “Tidak ada yang signifikan kerugian negaranya,” katanya.