Koalisi LSM akan Awali Sidang Perdana Mahkamah Konstitusi
Utama

Koalisi LSM akan Awali Sidang Perdana Mahkamah Konstitusi

Ketiga perkara yang pertama kali akan disidangkan di Mahkamah Konstitusi pada hari ini adalah permohonan hak uji materiil terhadap tiga undang-undang. Ketiganya diajukan oleh koalisi LSM dan serikat buruh.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
Koalisi LSM akan Awali Sidang Perdana Mahkamah Konstitusi
Hukumonline

Ketua APHI Lambok Gultom mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan berbagai persiapan menjelang persidangannya. "Kami telah berdiskusi dengan teman-teman di PT PLN dan PT Pertamina," ujarnya saat dihubungi hukumonline.

Ketiga undang-undang yang diajukan permohonan hak uji materiil tersebut boleh dikatakan sebagai undang-undang yang pernah menjadi kontroversi di masyarakat. Undang-undang No.24 Tahun 2002 misalnya, Undang-undang tersebut oleh Kampak dianggap telah mensahkan surat utang yang dikeluarkan negara senilai lebih dari Rp650 triliun.

Padahal, dengan begitu berarti pemerintah telah melegalisasi penyelewengan keuangan negara amat besar yang telah terjadi. Ini berarti, pemerintah melegalisasi kejahatan ekonomi yang dilakukan oleh para koruptor penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)

Minderheidsnota

Undang-undang No.20 Tahun 2002 disahkan pada 23 September 2002. Pada saat disetujui dalam rapat paripurna DPR pada 4 September 2002, beberapa anggota dewan mengajukan minderheidsnota atas RUU Ketenagalistrikan. Para penandatangan minderheidsnota tersebut diantaranya alm. Hartono Mardjono, Permadi, Abdul Kadir Djaelani, Sayuti Rahawarin.

Mereka menolak menyetujui RUU Ketenagalistrikan karena pembahasan RUU Ketenagalistrikan hanya melibatkan salah satu alat kelengkapan DPR yang membidangi masalah industrial saja. Padahal, RUU tersebut menyangkut berbagai aspek lainnya yaitu keamanan dan aspek hukum.

Undang-undang No.22 Tahun 2001 disahkan pada 23 September 2001. Pengambilan keputusan terhadap RUU Migas di DPR pada 23 Oktober 2001 juga diwarnai dengan minderheidsnota dari alm. Hartono Mardjono. Ia menilai RUU Migas bertentangan atau sekurang-kurangnya tidak sesuai dengan jiwa pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.

Sedangkan, Undang-undang No.24 Tahun 2002 disahkan pada 20 Januari 2003. Pengambilan keputusan terhadap RUU Surat Utang Negara dalam rapat paripurna DPR dilakukan tidak lama setelah RUU Migas atau tepatnya pada 24 September 2002.

Pengambilan keputusan terhadap RUU Surat Utang Negara juga tak lepas dari protes sebagian fraksi di DPR. Fraksi Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Reformasi saat itu menolak RUU tersebut disetujui. Fraksi Reformasi bahkan meminta agar diadakan penambahan kata dalam Pasal 20 RUU tersebut, yang akhirnya tidak disetujui.

Tiga undang-undang yang di-judicial review adalah Undang-undang No.20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, Undang-undang No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan Undang-undang No.24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara.

Judicial review terhadap ketiga undang-undang tersebut diajukan oleh pihak yang sama, yaitu sejumlah LSM dan serikat buruh yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Anti Kenaikan Harga (Kampak). Mereka diantaranya terdiri dari Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), dan Indonesian Center For Environmental Law (ICEL).

APHI yang menjadi koordinator Kampak, pertama kali memasukan permohonan hak uji materiil terhadap Undang-undang No.20 Tahun 2002 pada 20 Desember 2002. Kemudian, Kampak memasukkan judicial review Undang-undang No.22 Tahun 2001 pada 14 Januari 2003, dan judicial review Undang-undang No.24 Tahun 2002 pada 20 Januari 2003.

Saat ketiga permohonan itu diajukan, kewenangan Mahkamah Konstitusi masih dipegang oleh Mahkamah Agung berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2002.

Halaman Selanjutnya:
Tags: