Kontrak TKI Berhasil, UU SJSN Gagal
Pengujian UU:

Kontrak TKI Berhasil, UU SJSN Gagal

Penyebab gagal: argumentasi permohonan tidak jelas dan kabur.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Kontrak TKI Berhasil, UU SJSN Gagal
Hukumonline
Lain buruh migran, lain pula nasib 12 pengurus Serikat Pekerja (SP). Buruh migran berhasil meyakinkan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pasal perjangan kontrak TKI sehingga Pasal 59 UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dibatalkan.

Sebaliknya, permohonan 12 pengurus SP terhadap sejumlah pasal UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) kandas. Permohonan mereka dianggap tidak jelas dan kabur, sehingga tak dapat diterima. Putusan atas permohonan ke-12 pengurus SP dibacakan majelis hakim MK dalam sidang, Kamis (16/10). “Menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” tegas Ketua MK Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 101/PUU-XI/2013 itu.

Sebelumnya, 12 pengurus serikat pekerja memohon pengujian Pasal Pasal 1 angka 5, Pasal 14 ayat (2), Pasal 17 ayat (1), (2), (4), (5), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 30, Pasal 36, Pasal 40, Pasal 44 UU SJSN terkait kepesertaan wajib jaminan sosial (jamsos). Mereka menilai UU SJSN menimbulkan pergeseran paradigma sistem jamsos yang sesuai konstitusi sebagai hak warga negara menjadi kewajiban warga negara. Padahal, jamsos ini merupakan kewajiban negara memenuhinya.

Pasal 17 UU SJSN telah mewajibkan setiap peserta jamsos untuk membayar iuran yang ditetapkan pihak lain (swasta/pemerintah), bukan oleh peserta jamsos itu sendiri. Bagi pemohon, paradigma wajib dalam pasal itu telah menggeser kewajiban negara menghormati hak sosial rakyat yang diwujudkan dalam bentuk asuransi, bukan jamsos. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menemukan ketentuan yang tertuang pada pasal, ayat, atau frasa yang dimohonkan para pemohon sebagian telah pernah diuji konstitusionalitasnya, dan sebagian lagi belum pernah diajukan pengujian. Mencermati  permohonan ini, Mahkamah tidak menemukan argumentasi hukum yang jelas dan mendalam mengenai inkonstitusionalitas ketentuan UU SJSN itu.

Pada bagian “Alasan Permohonan Pengujian” sebagai posita, hanya disebutkan beberapa ketentuan baik pasal maupun ayat yang dimohonkan pengujian para Pemohon. Namun sebagian ketentuan lain tidak disebutkan, dan tidak disertai argumentasi hukum yang dapat menguatkan alasan inkonstitusionalitasnya ketentuan yang dimohonkan pengujian.

Mahkamah mengakui para pemohon telah menyampaikan perbaikan permohonan 18 Desember 2013. Namun, perbaikan permohonan tersebut Mahkamah tidak menemukan posita yang dapat mendukung petitum mengenai inkonstitusionalitas ketentuan-ketentuan dimaksud, sehingga menimbulkan kekaburan pada permohonan para pemohon.

Ini mengakibatkan Mahkamah tidak memiliki titik pijak memberi penilaian atau pertimbangan hukum mengenai inkonstitusionalitas ketentuan dimaksud. Oleh karena tidak adanya posita mengakibatkan kekaburan atau ketidakjelasan dan ketidakcermatan permohonan, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut.

“Mahkamah berpendapat pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 5, Pasal 14 ayat (2), Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (4), Pasal 17 ayat (5), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 30, Pasal 36, Pasal 40, dan Pasal 44 UU No. 40 Tahun 2004 yang dimohonkan oleh para Pemohon tidak jelas atau kabur,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan pertimbangan.
Tags:

Berita Terkait