Lembaga Eksaminasi, Cara 'Menghukum' Hakim Nakal
Utama

Lembaga Eksaminasi, Cara 'Menghukum' Hakim Nakal

Lembaga eksaminasi putusan pengadilan tidak mengubah putusan majelis hakim. Tetapi majelis hakim yang salah memutuskan dapat dikenakan sanksi.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Gayus Lumbuun (baju putih) bersama para dekan FH se-Indonesia yang tergabung dalam APPTHI. Foto: NNP
Gayus Lumbuun (baju putih) bersama para dekan FH se-Indonesia yang tergabung dalam APPTHI. Foto: NNP
Terkuaknya Operasi Tangkat Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Ketua PN Kepahiang, Bengkulu, Janner Purba semakin menambah carut marutnya masalah di lembaga peradilan. Kondisi demikianlah yang menggugah forum perkumpulam Dekan Fakultas Hukum se-Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) menyumbangkan pemikiran agar Mahkamah Agung (MA) lebih berakuntabilitas.

Ketua Umum APPTHI Laksanto Utomo mengatakan, keprihatinan terhadap lembaga peradilan belakangan ini mengerucut pada satu gagasan pembentukan Lembaga Eksaminasi terhadap putusan-putusan MA. Salah satu tujuan dibentuknya lembaga ini agar MA dapat membaca keadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Tak cuma hal itu, yang terpenting adalah lembaga ini dapat menjatuhkan sanksi pada majelis hakim yang memutuskan suatu perkara tanpa kredibilitas yang baik.

“Kita tidak melihat hakim itu salah atau benar. Tetapi kredibel atau tidak,” ujarnya dalam acara peluncuran buku berjudul “Akuntabilitas Mahkamah Agung” di Jakarta, Senin (30/5).

Namun, salah satu tantangan yang dihadapi oleh lembaga ini adalah menunggu ‘restu’ dari Presiden Joko Widodo terkait persetujuan pembentukan lembaga ini. Tanpa menjadi lembaga negara baru, Lembaga Eksaminasi ini hanya akan meneliti putusan-putusan pengadilan tanpa adanya kekuatan mengikat kepada para hakim.

Kepada hukumonline, Laksanto bercerita bahwa gagasan ini muncul pertama kali dalam Kongres APPTHI yang digelar di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada Rabu (25/5) kemarin. Dari pertemuan sekitar 150 Dekan Fakultas Hukum itu juga telah dibentuk Tim Eksaminasi yang diketuai oleh Laksanto sendiri dan dibantu beberapa wakil dari wilayah barat, wilayah tengah, dan wilayah timur.

Untuk wilayah barat, dikoordinatori oleh Dekan FH Untag Semarang Edy Lisdiyono. Untuk wilayah tengah oleh Dekan FH UMI Makassar Syarief Nuh, dan wilayah timur oleh Dekan FH STIH Manokwari Roberth dan Dekan UMM Sulardi. “Unsur-unsurnya dari akademisi murni. Kita baru mau minta waktu secara resmi untuk audiensi (dengan Presiden Jokowi). Tim sudah kita bentuk untuk ajukan usulan itu. Setuju atau tidak, kita akan tetap berjalan. Ini bentuk tanggung jawab sebagai pendidik,” katanya.

Laksanto mengatakan, apabila tim eksaminasi yang memutuskan seorang hakim tidak kredibel saat memutus perkara, maka MA wajib tunduk terhadap rekomendasi yang diputuskan tim eksaminasi untuk selanjutnya menjatuhkan sanksi kepada hakim yang bersangkutan. Ia berharap, Presiden Jokowi dapat menerima gagasan ini.

“Jika Tim Eksaminasi memutuskan seorang hakim tidak kredibel berarti MA harus juga tunduk karena kita mewakili kepentingan masyarakat akademisi,” tutupnya.

Langkah pembentukan Lembaga Eksaminasi ini mendapat respon positif dari salah seorang Hakim Agung, Gayus Lumbuun. Hadir sebagai keynote speaker, Gayus mengatakan bahwa sudah saatnya MA membenahi tata kelola organisasi. Menurutnya, salah satu pembenahan bisa dilakukan dengan pembentukan lembaga tersebut, melalui tim eksaminasi yang mengukur kredibilitas hakim dalam memutus perkara.

“Putusan hakim tidak bisa dipermasalahkan. Tapi hakimnya harus dipersoalkan. Tidak membatalkan putusan hakim tapi mempersoalkan hakim-hakim yang tidak kredibel dan berkualitas,” katanya.

Selain itu, Gayus juga mendorong agar Lembaga Eksaminasi ini dapat menjadi lembaga negara agar hasil temuan yang didapatkan ketika melakukan eksaminasi putusan yang telah inkracht dapat mengikat pihak terkait. Alasannya, lembaga yang sudah ada seperti Komisi Yudisial (KY) saat ini terbatas pada perilaku hakim di luar konteks non yustisial.

Satu hal yang terpenting, tim eksaminasi mesti berhati-hati dalam melakukan eksaminasi terhadap putusan pengadilan tertentu. Mereka mesti melihat putusan secara utuh mulai dari pertimbangan majelis hakim, amar putusan, serta aspek lain yang terkait. “Hakim harus diawasi. Siapa yang awasi hakim? Komisi Yudisial hanya terkait perilaku. Lalu sistem kamar-kamar pada MA juga tak bisa awasi teknis yudisial perlu ada sebuah lembaga eksaminasi,” katanya.

Bagi Gayus, putusan pengadilan merupakan mahkota seorang hakim. Jika putusan tersebut diterima oleh banyak pihak maka tidak perlu ada eksaminasi putusan. Sementara, ketika ada putusan yang dinilai kontroversial, maka Tim Eksaminasi wajib menelusuri dan segera menentukan apakah putusan tersebut dibuat secara kredibel atau tidak.

“Pemerintah akan tentukan apa perlu undang-undang. Kalau ini tidak diakui sebagai lembaga nasional, tetap berjalan saja lembaga ini .Tetapi tidak bisa mempersoalkan hakim. Kalau ini lembaga nasional, maka tentu perlu ada pendukung seperti undang-undang, Kepres, atau Perpres yang bisa mempersoalkan hakim yang dianggap salah. Sekali lagi, tidak mengubah putusan tapi mempersalahkan pemutus perkara itu,” pungkasnya.
Tags: