Lima Dampak Covid-19 yang Dikhawatirkan Serikat Pekerja
Berita

Lima Dampak Covid-19 yang Dikhawatirkan Serikat Pekerja

Diantaranya ancaman terhadap kesehatan, kehilangan pekerjaan (PHK), pemotongan upah.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Lima Dampak Covid-19 yang Dikhawatirkan Serikat Pekerja
Hukumonline

Pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan untuk menangani penyebaran coronavirus disease (Covid-19). Namun, kalangan serikat buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menilai kebijakan pemerintah dalam menangani Covid-19 berpotensi menjadikan buruh sebagai tumbal. Gebrak terdiri dari serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil, seperti KASBI, KPBI, SGBN, KSN, dan Pergerakan Pelaut Indonesia.

 

Ketua Umum KASBI Nining Elitos menilai pemerintah lalai dalam mencegah dan menanggulangi krisis akibat Covid-19, sehingga tingkat kematian akibat Covid-19 di Indonesia termasuk tertinggi di dunia. Untuk memutus rantai penularan Covid-19, pemerintah perlu menerapkan karantina wilayah sebagaimana diamanatkan UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

 

Karantina wilayah ini, menurut Nining penting untuk menyelamatkan rakyat, khususnya petani di desa agar mereka tetap mampu memproduksi kebutuhan pangan. Nining menegaskan ketika menerapkan karantina wilayah pemerintah harus menjamin kebutuhan dasar yang dapat mudah dijangkau masyarakat.

 

“Memastikan tidak ada diskriminasi sosial selama proses karantina wilayah berlangsung,” kata dia ketika dikonfirmasi, Selasa (31/3/2020). Baca Juga: Dampak Covid-19, Legislator Ini Minta Pengusaha Tidak PHK Pekerja

 

Namun, kata Nining yang sejumlah hal yang dikhawatirkan dampak penyebaran Covid-19 bagi kalangan pekerja/buruh. Gebrak mencatat sedikitnya ada 5 hal yang menjadi kekhawatiran. Pertama, kalangan pekerja/buruh rentan terpapar Covid-19 akibat kelangkaan alat pelindung diri (APD). Gebrak mengapresiasi pekerja medis yang menangani pasien Covid-19 di tengah minimnya ketersediaan alat pelindung diri ini membuat puluhan tenaga medis terinfeksi Covid-19 dan sejumlah dokter meninggal.

 

Tak hanya pekerja di sektor kesehatan, Nining melihat buruh pabrik sampai saat ini masih ada yang bekerja seperti biasa tanpa perlindungan yang memadai untuk mencegah penularan Covid-19. “Sampai saat ini kami tidak melihat langkah tegas pemerintah terhadap perusahaan yang mengabaikan keselamatan buruhnya selama krisis Covid-19,” kata dia.

 

Kedua, Gebrak mengusulkan seluruh perusahaan untuk melakukan upaya semaksimal mungkin melindungi buruh dari penularan Covid-19. Nining menyebut upaya yang bisa dilakukan perusahaan misalnya mengurangi proses produksi dan tidak mengurangi hak buruh. Jika perusahaan tetap beroperasi seperti biasa tanpa ada perlindungan yang memadai untuk buruh, Gebrak mendesak buruh di perusahaan tersebut untuk melakukan lockdown pabrik.

 

Untuk perusahaan yang bergerak di sektor strategis dan esensial, Nining menegaskan negara harus menjamin pelaksanaan protokol kesehatan secara ketat di perusahaan untuk melindungi buruh. Misalnya, menjamin ketersediaan alat pelindung diri, hand sanitizer, manajemen physical distancing, perbaikan gizi, vitamin, serta memberikan insentif tambahan.

 

Ketiga, Gebrak mengkhawatirkan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat krisis Covid-19. Ketua KPBI Ilhamsyah mencatat sejumlah perusahaan yang bergerak di industri padat karya yang berorientasi ekspor seperti garmen, tekstil, dan alas kaki mulai melakukan PHK dengan alasan krisis Covid-19. Hampir sama seperti sektor industri lainnya yang secara umum mengalami penurunan permintaan dari negara tujuan ekspor.

 

Sayangnya, sampai saat ini pemerintah belum menerbitkan kebijakan yang melindungi buruh dari ancaman kehilangan pekerjaan. Kendati pemerintah sudah menerbitkan berbagai insentif ekonomi dalam rangka menghadapi pandemi Covid-19, Ilhamsyah yakin insentif itu tidak mampu menghentikan gelombang PHK.

 

“Pemerintah harus menjamin tidak ada PHK selama krisis Covid-19,” pintanya.

 

Keempat, Gebrak mencermati ada potensi pemotongan upah dan cuti secara sewenang-wenang dengan dalih krisis Covid-19. Alih-alih melindungi buruh dari pemotongan upah, Ilhamsyah melihat pemerintah malah membuka peluang pengusaha untuk melakukan tindakan tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan No.M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19.

 

Ilhamsyah mengatakan SE Menaker itu mengizinkan perubahan dan waktu pembayaran upah sesuai kesepakatan antara pengusaha dan buruh. Faktanya, ketentuan ini dimaknai sebagai “pemaksaan keinginan pengusaha dan buruh harus menerimanya.” Menurut Ilhamsyah hal ini terjadi karena posisi tawar buruh dan pengusaha tidak seimbang.

 

“Gebrak mendesak Menteri Ketenagakerjaan untuk mencabut surat edaran itu!"

 

Kelima, pemerintah perlu menerbitkan insentif bagi buruh harian, berpenghasilan rendah, dan korban PHK. Mengacu aduan yang diterima posko Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) per 25 Maret 2020 Ilhamsyah mencatat lebih dari 110 pekerja lepas kehilangan pekerjaan akibat krisis Covid-19.

 

Gebrak mengusulkan pemerintah menerbitkan insentif bagi buruh harian lepas, berpenghasilan rendah, dan korban PHK. Bentuknya antara lain pembebasan tagihan listrik, gas, air bersih, iuran JKN dan BPJS Ketenagakerjaan, relaksasi kredit KPR, dan kredit kendaraan.

 

Sebelumnya, Kadisnaker DKI Jakarta, Andri Yansyah, telah menerbitkan Surat Edaran No.3590/SE/2020 tentang Tindak Lanjut Seruan Gubernur No.6 Tahun 2020 tentang Penghentian Sementara Kegiatan Perkantoran Dalam Rangka Mencegah Penyebaran Wabah Covid-19.

 

Surat Edaran itu mengimbau seluruh perusahaan di Jakarta untuk melaksanakan SE Gubernur Jakarta No.6 Tahun 2020 yang intinya agar menerapkan mekanisme kerja dari rumah (Work From Home). Tercatat per 31 Maret 2020 jumlah perusahaan di Jakarta yang sudah melakukan langkah pencegahan Covid-19 mencapai 2.612 perusahaan dengan total 1.026.518 pekerja.

Tags:

Berita Terkait