Manfaatkan UU Desa untuk Pelayanan TKI
Berita

Manfaatkan UU Desa untuk Pelayanan TKI

UU Desa mendorong desa berperan melindungi warganya. Bisa dipakai untuk melayani warga desa yang ingin jadi TKI.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Manfaatkan UU Desa untuk Pelayanan TKI
Hukumonline
Desa bisa dijadikan ujung tombak pelayanan TKI. Perekrutan yang legal dan memenuhi standar bisa dimulai dari tingkat desa. Karena itu, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa bisa dimanfaatkan untuk memperkuat basis pelayanan TKI karena mereka umumnya direkrut di desa-desa.

Warga desa yang direkrut jadi TKI umumnya minim informasi, kurang memahami seluk beluk bekerja di luar negeri, termasuk hak-hak hukum dan kewajiban mereka. Minimnya informasi itulah yang dimanfaatkan calo, sehingga banyak TKI tertipu atau terjebak dalam pusaran perdagangan orang.

Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, mengatakan persoalan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) ada di hilir yakni absennya perlindungan terhadap TKI. UU PPILN harus membenahi itu sehingga negara bisa memberi pelayanan publik terbaik bagi warganya yang mau bekerja ke luar negeri. Jangan sampai calon TKI terjebak utang.

Desa bisa menjadi terobosan dalam memberikan pelayanan publik terhadap TKI dengan memanfaatkan UU Desa. Dari desa, pelayanan dilanjutkan ke tingkat kabupaten karena di sinilah biasanya ada  Balai Latihan Kerja (BLK).

Berdasarkan pemantauan Migrant Care, saat ini ada sejumlah Desa yang menjalankan program Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi) yakni Desa yang memberikan pelayanan terhadap warganya yang ingin bekerja ke luar negeri. UU PPILN diharapkan memuat ketentuan yang memberi kewenangan terhadap Desa dalam rangka melayani calon TKI.

“Desbumi bisa menjadi terobosan dalam pelayanan publik. Selama ini kan yang berperan calo, mereka itu kan kepanjangan tangan PJTKI.” kata Anis dalam rapat dengar pendapat dengan Panja RUU PPILN di ruang sidang Komisi IX di gedung MPR/DPR, Rabu (17/2).

Sekretariat Nasional Jaringan Buruh Migran, Savitri Wisnuwardhani, menilai pemerintah selama ini tidak mampu menghentikan proses perekrutan calon TKI yang dilakukan calo di desa-desa. Ia berharap RUU PPILN mendorong perbaikan sehingga negara mampu menghadirkan perlindungan terhadap buruh migran. “Kami ingin perlindungan terhadap buruh migran Indonesia dikembalikan kepada negara, bukan lagi diserahkan kepada swasta,” tegasnya.

Selain itu Savitri mengusulkan agar RUU PPILN diselaraskan dengan berbagai UU seperti UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Harmoni antarlegislasi itu dibutuhkan agar TKI tidak terjebak sindikat perdagangan orang dan resiko kerja yang dihadapi bisa dijamin BPJS.

Satu Pintu
Ketua Komite Tetap Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Nofel Saleh Hilabi, mengatakan pengusaha berharap agar pelayanan untuk penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri dilakukan lewat satu pintu. Selama ini pengusaha bingung karena ada dua lembaga pemerintah yang mengurusi hal tersebut yakni Kementerian Ketenagakerjaan dan BNP2TKI. Misalnya, SIUP diterbitkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan SIP oleh BNP2TKI. “Itu menjadi kendala yang selama ini dihadapi pengusaha,” pungkasnya.

Jaminan Sosial
Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, melihat selama ini TKI belum mendapat jaminan sosial. Mengacu pasal 68 UU PPTKILN, TKI hanya diikutsertakan dalam program asuransi. Mengingat DPR dan pemerintah sedang membahas RUU PPILN, maka bisa dimasukkan ketentuan yang mengamanatkan agar TKI ikut dalam program jaminan sosial, terutama Jaminan Kematian (JKm), Kecelakaan Kerja (JKK) dan Hari Tua (JHT).

Jika hubungan antara TKI dengan PJTKI/PPTKIS dikategorikan hubungan kerja maka bisa didaftarkan program Jaminan Pensiun (JP) BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, iuran JP ditanggung oleh pekerja dan pemberi kerja. “Untuk program JKK, JKm dan JHT TKI bisa mendaftar sebagai peserta dengan skema pekerja informal,” urainya.

Namun, untuk ikut program Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan BPJS Kesehatan menurut Timboel sulit diimplementasikan terhadap TKI. Pasalnya, BPJS Kesehatan hanya diamanatkan untuk menjalin kerjasama dengan RS di dalam negeri. Tapi jika TKI mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) di negara penempatan maka ketika kembali ke Indonesia dia bisa menjadi peserta penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan secara otomatis. “Sesuai pasal 11 ayat (7) PP No. 76 Tahun 2015 tentang PBI,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait