Memahami Traktat Perdagangan Senjata
Terbaru

Memahami Traktat Perdagangan Senjata

Indonesia belum meratifikasi.

Oleh:
INU
Bacaan 2 Menit
Seminar Perjanjian Internasional tentang Perdagangan Senjata yang diselenggarakan oleh Ditjen AHU. Foto: http://ditjenahu.kemenkumham.go.id/
Seminar Perjanjian Internasional tentang Perdagangan Senjata yang diselenggarakan oleh Ditjen AHU. Foto: http://ditjenahu.kemenkumham.go.id/

Mendengar untuk memahami. Begitulah yang dilakukan puluhan orang di satu ruang besar di lantai 6 Gedung Direktorat Jenderal Administrasi Hukum dan Umum, Rabu (19/6).

Mereka mendengarkan pemaparan dari perwakilan Regional Legal Adviser International Committee of the Red Cross (ICRC) Christoper B Harland. Dia memaparkan mengenai traktat terbaru Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu Traktat Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty).

Plt Direktur Hukum Internasional dan Otoritas Pusat Ditjen AHU, Cahyo Rahardian Muzhar pada kesempatan tersebut mengutarakan, gelaran acara ini dimaksudkan mengatahui traktat terbaru. Kemudian, menganalisa bersama kementerian terkait akan isu utama dalam traktat tersebut sebelum menentukan sikap selanjutnya.

“Indonesia dalam posisi belum meratifikasi traktat tersebut, ini juga yang harus di dengar kementerian terkait, mengapa sikap itu yang dipilih pemerintah,” tutur Cahyo.

Konferensi diplomatik tentang ATT diadakan di markas besar PBB, New York pada 18-28 Maret 2013. Setelah sembilan hari negosiasi, negara anggota PBB gagal menyetujui naskah traktat ini dengan konsensus. Namun, Majelis Umum PBB menyetujui traktat itu dengan pemungutan suara pada 2 April 2013. Sebanyak 152 negara menyetujui traktat tersebut, tiga negara menolak dan 23 negara abstain termasuk Indonesia. Per 19 Juni 2013, sudah 72 negara yang menandatangani traktat tersebut.

Harland pada kesempatan itu menjabarkan secara singkat dan padat mengenai traktat ini. Baik latar belakang kelahiran hingga hal-hal utama yang diatur dalam traktat ini. “Senjata dibuat manusia untuk menyakiti manusia, sehingga memang perlu ada pengaturan, itu ide traktat ini,” tuturnya.

Karena minim pengaturan, maka perdagangan senjata secara langsung memunculkan banyak penderitaan manusia. Traktat ini mengatur perdagangan senjata internasional, yaitu jenis tank, kendaraan tempur lapis baja, senjata artileri kaliber besar, pesawat tempur, helikopter tempur, kapal perang, rudal dan peluncur rudal, senjata genggam dan senjata ringan.

PBB yakin perjanjian itu akan mendorong perdamaian dan keamanan di dunia. Sekaligus menghentikan arus senjata ke daerah konflik.

Tentu saja, akan mencegah pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum perang. Sekaligus memangkas perdagangan senjata untuk kegiatan bajak laut, kejahatan terorganisir, serta terorisme.

Meski demikian, Cahyo mengutarakan, Indonesia sebagai negara berdaulat, perlu memikirkan matang-matang sebelum meratifikasi traktat ini. “Apa untung dan rugi bagi Indonesia, karena itu acara ini digelar supaya menguatkan sikap jangan tergesa-gesa meratifikasi kesepakatan PBB,” lanjutnya.

Tags: