Mengenal “Hukum Represif” dari Kasus Wadas
Utama

Mengenal “Hukum Represif” dari Kasus Wadas

Dalam hukum represif, kritik rakyat dianggap sebagai ketidakpatuhan dan bisa berakibat pada pelanggaran hukum.

Oleh:
CR-27
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi kekerasan sebagai wujud hukum represif. Ilustrator: HOL
Ilustrasi kekerasan sebagai wujud hukum represif. Ilustrator: HOL

Sejumlah kalangan menilai insiden penangkapan puluhan warga Desa Wadas Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo Jawa Tengah memperlihatkan bekerjanya hukum represif. Warga yang mempertahankan hak-hak mereka justru ditangkap, ditahan, dan beberapa mengalami kekerasan. Proses pengukuran lahan warga justru mendapatkan pengawalan yang berlebihan.

"Peristiwa ini mengindikasikan belum adanya reformasi di tubuh Polri yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Seharusnya konsistensi penghormatan terhadap hak asasi manusia menjadi landasan pokok Polri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya yang mengusung Polri presisi," ujar Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso kepada hukumonline.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi), Halik Sandera, juga tegas mengatakan aksi represif anggota kepolisian ini tidak dibenarkan. "Tindakan sewenang-wenang kepolisian terhadap warga Desa Wadas sama sekali tidak menunjukkan komitmen semangat perlindungan HAM dan sikap humanis," ungkapnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Herlambang P. Wiratraman, menilai kasus kekerasan aparat di Desa Wadas memperlihatkan bekerjanya hukum represif. “Kita tahu hukum represif itu cukup dikenal,” ujarnya dalam diskusi daring, Sabtu (12/2). Herlambang menyebut nama Moh. Mahfud MD sebagai salah seorang akademisi di Indonesia yang memperkenalkan tipe hukum represif.

Sebagai Menko Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, menyebutkan pemerintah tidak melanggar hukum dalam pembangunan bendungan Bener dan penambangan batu andesit di Desa Wadas. Ia juga menyangkal adanya aksi kekerasan oleh aparat keamanan. “Penolakan sebagian masyarakat tidak akan berpengaruh secara hukum,” tegasnya kepada pers.

Dalam disertasinya yang kemudian dibukukan, Mahfud merujuk pandangan Philippe Nonet dan Philip Selznick ketika membahas kaitan antara hukum dan penindasan. Dikutip dari bukunya Politik Hukum di Indonesia (1998), Mahfud menulis: masuknya pemerintah ke dalam pola kekuasaan yang bersifat menindas, melalui hukum, berhubungan erat dengan dengan masalah kemiskinan sumber daya pada elit pemerintah. Penggunaan kekuasaan yang bersifat menindas, terdapat pada masyarakat yang masih berada pada tahap pembentukan tatanan politik tertentu. Hukum berkaitan erat dengan kekuasaan karena tata hukum senantiasa terikat pada status quo”. Salah satu karakteristik tipe hukum yang menindas adalah ‘hukum ditundukkan pada politik kekuasaan’.

Ciri Hukum Represif

Merujuk pandangan Nonet dan Selznick, Herlambang menyebutkan tiga tipe hukum dalam masyarakat: hukum yang represif, hukum otonom, dan hukum responsif. Dijelaskan Herlambang, hukum represif berada dalam rezim yang represif, yakni rezim yang menempatkan segala tindakannya dengan tujuan merawat kepentingan kekuasaan. Tertib sosial dan hukum dalam masyarakat dikendalikan dengan cara-cara kekerasan, paksaan dan intimidatif. Hukum represif diperuntukkan hanya melanggengkan keadilan kelas, terutama kelas yang berkuasa. Hukum otonom tampil sebaliknya. Lahir sebagai reaksi dan sekaligus untuk menjinakkan hukum represif. Hukum represif bersandar pada kuasa orang (rule by law), sedangkan hukum otonom bersandar pada kuasa sistem negara hukum (rule of law).

Hukum represif adalah hukum sebagai alat kekuasaan represif dari penguasa negara atau rezim yang berkuasa dalam pemerintahan. Hukum represif dikembangkan sebagai bagian dari sistem kekuasaan absolut yang bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan status quo. Umumnya, cara kerja hukum represif adalah keras dan terperinci terhadap rakyat, dan sebaliknya lunak terhadap pembuat peraturan dan penguasa negara karena hukum tunduk pada politik kekuasaan. Tujuan hukum represif dalam memaksakan kepatuhan dan ketundukan penuh rakyat terhadap penguasa. Sebaliknya, kritik rakyat terhadap penguasa dianggap sebagai wujud ketidakpatuhan atau pelanggaran hukum. Hukum dalam wujudnya yang nyata tertekan oleh kekuasaan, bahkan hukum menjadi ‘instrumen’ untuk mempertahankan kekuasaan tersebut.

Secara akademis, umumnya ada beberapa ciri hukum represif. Pertama, ketertiban merupakan tujuan pokok/utama hukum. Kedua, legitimasi atau dasar kekuatan mengikat hukum tersebut adalah kekuasaan negara. Ketiga, peraturan perundang-undangan yang dirumuskan secara rinci bersifat keras (represif) mengikat rakyat, tetapi lunak terhadap penguasa. Keempat, alasan pembuatan hukumnya bersifat ad-hoc sesuai keinginan sewenang-wenang (arbiter) penguasa. Kelima, kesempatan bertindak bersifat serba meresap sesuai kesempatan. Keenam, pemaksaan serba mencakupi tanpa batas yang jelas. Ketujuh, moralitas yang dituntut dari masyarakat adalah pengendalian diri. Kedelapan,, kekuasaan menempati posisi di atas hukum. Kesembilan, kepatuhan masyarakat harus tanpa syarat, dan ketidakpatuhan dihukum sebagai kejahatan. Kesepuluh, partisipasi masyarakat diizinkan lewat penundukan diri, sedangkan kritik dipahami sebagai pembangkangan.

Tags:

Berita Terkait