MK Tegaskan Hutan Adat Bukan Milik Negara
Utama

MK Tegaskan Hutan Adat Bukan Milik Negara

Masyarakat adat tetap berhak mengelola hutan adat.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit

Dengan demikian, hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi dua yaitu hutan negara dan hutan hak. Adapun hutan hak dibedakan antara hutan adat (hak ulayat) dan hutan perseorangan/badan hukum. Ketiga status hutan tersebut pada tingkatan yang tertinggi seluruhnya dikuasai oleh negara.

“Setelah dibedakan antara hutan negara dan hutan hak, maka tidak dimungkinkan hutan hak berada dalam wilayah hutan negara. Atau sebaliknya hutan negara dalam wilayah hutan hak seperti dinyatakan Pasal 5 ayat (2) dan hutan hak ulayat dalam hutan negara,” lanjut Alim.

Usai sidang, Sekjen AMAN Abdon Nababan menyambut baik putusan MK ini. Pasalnya, dengan putusan ini masyarakat hukum adat dapat kembali memperoleh haknya yang dijamin konstitusi. “Pengeloaan hutan ada ada ditangan masyarakat adat, ini mendorong proses rekonsiliasi sesungguhnya. Selama ini ribuan masyarakat adat masuk penjara gara-gara soal ini,” kata Abdon.

Meski begitu, dengan adanya putusan MK ini bukan serta merta masyarakat adat berhak mengelola hutannya tanpa adanya aturan dari pemerintah (Kementerian Kehutanan). Karena itu,  Abdon meminta pemerintah segera menindaklanjuti putusan MK ini dengan membuat peraturan pengelolaan hutan adat berikut pemetaannya.

“Dengan adanya putusan ini, hutan adat bukan lagi hutan negara. Harus ada pakem (aturan) hukum yang mengaturnya, pemerintah tidak bisa lepas tangan. Pemerintah harus tetap memastikan fungsi ekologis hutan adat,” pintanya.

Menurutnya, jika pemerintah tidak segera mengeluarkan ketentuan yang mengatur tentang pengelolaan maupun pemetaan hutan adat, akan muncul masalah baru. Sebab, MK hanya mengembalikan keberadaan hutan adat seperti dalam UUD 1945, bukan membuat regulasi baru.

“Tanpa adanya aturan hutan adat, statusnya masih belum bisa dibedakan, mana yang hutan adat dan mana yang bukan. Dalam data Kementerian Kehutanan pun, belum ada peta yang menegaskan daerah mana saja yang termasuk dalam hutan adat. Ini agar tidak ada konflik baru yang dimanfaatkan pihak lain,” lanjutnya.

Sebelumnya, para pemohon menguji Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan sepanjang mengenai kata “negara”, Pasal 4 ayat (3) sepanjang frasa “dan diakui keberadaannya serta tidak bertentangan kepentingan nasional”, Pasal 5 ayat (1) sepanjang frasa “hutan berdasarkan statusnya terdiri dari (a) hutan negara, (b) hutan hak,” ayat (2) dan sepanjang frasa “pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2) dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”, dan ayat (4), Pasal 67 UU Kehutanan.

Pemohon menilai sejak berlakunya  UU Kehutanan terbukti sebagai alat negara untuk mengambil alih hutan hak kesatuan masyarakat adat dalam mengelola hutan yang kemudian dijadikan hutan negara. Atas nama negara, hutan (adat) dijual/diserahkan kepada pemilik modal dieksploitasi tanpa memperhatikan hak dan kearifan lokal masyarakat adat di wilayah itu. Tak jarang, hal ini menyulut konflik antar masyarakat hukum adat dengan pengelola baru atas hutan adat mereka.

Karena itu, mereka meminta MK agar mengubah dan membatalkan beberapa pasal dalam UU Kehutanan itu karena bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (3), UUD 1945.

Tags: