MK Undang Banyak Tokoh dalam Pengujian UU Perkawinan
Berita

MK Undang Banyak Tokoh dalam Pengujian UU Perkawinan

MK akan berhati-hati dalam memeriksa dan memutus permohonan pengujian UU Perkawinan ini.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ketua MK Hamdan Zoelva. Foto: RES
Ketua MK Hamdan Zoelva. Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) memastikan akan mengundang sejumlah tokoh untuk didengar keterangannya terkait pengujian UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait konstitusionalitas kawin beda agama dan batas usia pernikahan. Pasalnya, proses pengujian UU Perkawinan itu cukup menarik perhatian publik.

“Saya akan undang banyak tokoh karena menyangkut hajat hidup orang banyak, bukan hanya (kepentingan) para pemohon,” ujar Ketua MK, Hamdan Zoelva beberapa waktu lalu di gedung MK.

Hamdan menjelaskan kedua pengujian UU Perkawinan mengenai pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan terkait keabsahan perkawinan dari sisi perkawinan beda agama. Juga ketentuan batas usia perkawinan (Pasal 7 UU Perkawinan). “Begitu juga dengan aturan umur pernikahan. Saya akan undang banyak pihak juga karena terkait masalah agama yang sensitive, makanya kita juga harus hati-hati,” kata Hamdan.

MK telah menjadwalkan sidang lanjutan pengujian Pasal 2 ayat (1) UU pada Selasa (14/10). Agendanya mendengarkan keterangan pemerintah, DPR, dan pihak terkait serta Kementerian Agama.

Untuk diketahui, sejumlah mahasiswa dan alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) mempersoalkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Mereka meminta MK membuat tafsir agar perkawinan beda agama menjadi legal di Indonesia.   

Pemohon beralasan beberapa kasus kawin beda agama menimbulkan ekses penyelundupan hukum. Pasangan yang melangsungkan kawin beda agama ini kerap menyiasati berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Pernikahan model ini juga berdampak pada aspek hukum lain seperti status anak dan masalah waris.

Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin dan Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak mempersoalkan batas usia perkawinan bagi wanita, yakni 16 tahun melalui pengujian Pasal 7 ayat (1), (2) UU Perkawinan. Proses persidangan pengujian pasal itu sudah memasuki pemeriksaan saksi atau ahli.

Mereka berpandangan norma Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan konstitusi karena menjadi landasan dan dasar hukum dibenarkannya adanya perkawinan anak dalam hal ini anak perempuan yang belum mencapai 18 tahun. Padahal, usia kedewasaan jika seseorang sudah mencapai usia 18 tahun sesuai Pasal 26 UU Perlindungan Anak dan Pasal 131 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Karenanya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) khususnya frasa “16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai atau dibaca “18 tahun (delapan belas) tahun”. Namun, pemohon Koalisi Indonesia meminta MK membatalkan Pasal 7 ayat (2) karena bertentangan UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait